Tampilkan postingan dengan label JURNALISME. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label JURNALISME. Tampilkan semua postingan

12 Oktober 2008

Menkominfo: Media Massa Jadi Tempat Strategis Kampanye

PURWOREJO -- Menteri Kominfo, Muhammad Nuh, mengakui bahwa media massa menjadi tempat yang strategis untuk melakukan kampanye pemilihan umum (pemilu)."Media tempat strategis untuk kampanye, dan Depkominfo akan mengaturnya," katanya di sela-sela silaturahmi Keluarga Besar Yamisda Al-Ihsan Kediri, Cabang Purworejo, di Pendopo Rumah Dinas Wakil Bupati Purworejo, Minggu.

Ia mengatakan, pengaturan kampanye di media massa sebagai bagian kontrol pemerintah, agar pemanfaatan media massa baik cetak maupun elektronika untuk kampanya pemilu sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

Ia menjelaskan, Depkominfo akan menjalin kerja sama dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam bentuk penandatanganan nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) menyangkut kontrol kampanye pemilu di media massa."MoU itu sebagai aturan hukum bagi Depkominfo dalam mengontrol pemanfaatan media untuk kampanye," katanya.

Ia menjelaskan, MoU antara Depkominfo dengan KPU bukan mengatur soal isi kampanye melainkan porsi media yang bisa dioptimalkan untuk kampanye."Kalau isi kampanye merupakan kewenangan KPU," katanya.

Nuh mencontohkan tentang pengaturan tayangan iklan kampanye di televisi yang harus secara jelas."Sekarang ini iklan kampanye di televisi dampaknya luar biasa, kalau media cetak kita sudah tahu lama," katanya.

Ia juga menyatakan, pengaturan kampanye pemilu melalui telepon seluler (ponsel) atau telepon genggam (Handphone/HP) yang diatur dalam MoU tersebut."Kita atur juga. HP itu privasi, nanti kita atur juga," katanya

Pengaturan kampanye melalui telepon seluler, antara lain menyangkut batasan pengiriman layanan pesan singkat tentang kampanye pemilu dalam sehari.Hingga saat ini rancangan MoU antara Depkominfo dengan KPU untuk pengaturan kampanye di media massa masih disiapkan, kata Muhammad Nuh menambahkan.ant/kp

http://www.republika.co.id/launcher/view/mid/19/news_id/7214

11 Oktober 2008

Perkara Korupsi di Layar Kaca

Dok TransTV / Kompas Images Rekaman penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan oleh petugas Komisi Pemberantasan Korupsi. Rekaman dengan sisi dramatis seperti ini banyak dimanfaatkan TransTV untuk program Kumpulan Perkara Korupsi. Acara ini ditayangkan setiap Senin malam.


Budi Suwarna

Apakah para calon koruptor takut melihat begitu banyak koruptor ditelanjangi habis-habisan dalam program berita di layar kaca? Jika tidak, mungkin mereka tinggal menunggu waktu untuk "tampil" di episode-episode berikutnya sebagai tokoh pesakitan.

Kasus korupsi beberapa tahun belakangan menjadi santapan empuk pengelola stasiun televisi. Tidak hanya karena isu tersebut penting untuk diketahui khalayak luas, melainkan juga karena pengungkapan kasus korupsi, terutama oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kian dramatis.

Melalui penyadapan telepon dan pengambilan gambar dengan kamera tersembunyi oleh KPK, kita bisa mengetahui secara rinci bagaimana modus korupsi di Indonesia. Kita mendapat gambaran utuh bagaimana lembaga ini menangkap seorang jaksa bobrok yang baru saja menjemput uang suap dari seorang broker kasus.

Bagi pengelola stasiun televisi, unsur-unsur dramatis itu sangat menggairahkan untuk dieksploitasi, kemudian dikawinkan dengan fakta-fakta dan dikemas jadi berita yang enak ditonton.

Tengoklah acara KPK: Kumpulan Perkara Korupsi di TransTV setiap Senin malam (pengelola acara ini sengaja menamai programnya dengan akronim KPK, lembaga yang sedang giat memberantas korupsi). Program yang tayang sejak Juli 2008 ini berusaha memfilmkan kasus korupsi, mulai dari penyelidikan, penyidikan, proses pengadilan, hingga sang koruptor masuk penjara.

Salah satu kasus yang digarap adalah kasus suap yang melibatkan jaksa Urip Tri Gunawan dan Artalyta Suryani. Acara ini menggambarkan secara rinci bagaimana Urip disergap anggota KPK, lengkap dengan adegan meronta-ronta dan teriakan-teriakan panik Urip saat akan diborgol. Acara ini juga membeberkan bagaimana kasus suap itu terungkap sedikit demi sedikit.

"Pengungkapan kasus korupsi sekarang alurnya sudah membentuk cerita yang lengkap. Di situ juga ada 'unsur sinetron' (unsur dramatis), seperti adegan terdakwa korupsi menangis tersedu-sedu begitu mendengar vonis hakim," ujar M Rizki Arafat, produser program KPK TransTV, Kamis (9/10) malam.

Program KPK TransTV itu diramu dari gambar dan fakta yang diambil wartawan di ruang pengadilan, kantor KPK, hingga lokasi kejadian. Gambar dan fakta itu dirangkai menjadi cerita utuh sehingga berbentuk seperti film semidokumenter lengkap dengan narasi yang kuat, grafis, dan sound-bite (suara-suara yang membangun suasana tertentu).

Jika kru TransTV tidak memiliki gambar untuk menjelaskan satu bagian cerita, mereka mengakalinya dengan merekonstruksi ulang adegan yang diperankan para model. Reka ulang adegan, kata Rizki, dibuat berdasarkan pengakuan saksi- saksi, keterangan otoritas, dan fakta pengadilan.

Di layar kaca, rekaman gambar reka ulang oleh model diberi tulisan "Diperankan Model" untuk membedakan dengan gambar yang diambil dari hasil liputan.

Rizki mengatakan, pihaknya menggunakan gambar reka ulang sekadar untuk mengisi bagian cerita korupsi yang tak tersedia dokumentasi gambarnya.

Pada akhirnya, menyaksikan KPK TransTV seperti sedang menonton adegan dalam film gangster Hongkong atau Hollywood lengkap dengan kejutan- kejutannya.

Selain TransTV, di TVOne ada program Kerah Putih dan di Metro TV ada Metro Realitas. Berbeda dengan KPK TransTV, Metro Realitas dan Kerah Putih berbentuk liputan investigasi.

"Kami tidak memfilmkan kasus korupsi yang sudah terungkap. Kami memaparkan investigasi kami atas kasus korupsi," ujar Ecep Suwardani Yasa, Produser Eksekutif Program Investigasi TVOne, Sabtu. Pernyataan senada disampaikan Swasti Astra, Manajer News Magazine MetroTV.

Format ringan

Gaya penyajian berita di televisi Indonesia memang memperlihatkan banyak perubahan sejak 10 tahun terakhir. Dulu, penyajian berita semata fokus pada pemaparan informasi oleh pembaca berita dan penayangan gambar kejadian.

Kini, penyajian berita dilengkapi dengan grafis, sound-bite, logo, reka ulang oleh model, pendapat khalayak, bahkan interaksi dengan pemirsa. Pengelola televisi juga meningkatkan tempo penyuntingan gambar sehingga alur cerita bergerak cepat dan mencolok. Satu hal lain yang tidak dilupakan adalah "pemasangan" pembaca berita yang menarik.

Ini semua membuat program berita menjadi tidak tampak serius. Sebaliknya, program tersebut bisa menyenangkan pemirsa kendati isu yang disampaikan tergolong seram, mulai dari pembunuhan dengan mutilasi, korupsi, ancaman krisis finansial, hingga pengumuman kenaikan harga bahan bakar minyak.

Jika program berita dilepas begitu saja tanpa dikemas terlebih dahulu, Rizki yakin program itu tidak akan ditonton banyak pemirsa.

Ketua Jurusan Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Herlina Agustin, Sabtu, menilai, bagaimanapun, pengemasan berita berpotensi memunculkan bias. Dia mencontohkan, metode reka ulang, seperti yang digunakan KPK TransTV, sebenarnya bukan kegiatan jurnalistik. "Reka ulang itu biasa digunakan dalam film dokumenter," katanya.

Dia menambahkan, kegiatan jurnalistik mendasarkan diri pada fakta, sementara reka ulang berdasarkan pada interpretasi. "Kalaupun KPK TransTV terpaksa menggunakan reka ulang, mereka harus memiliki informan kunci yang bisa menjelaskan kepada penonton bahwa reka ulang itu mendekati kenyataan," katanya.

Herlina juga mengingatkan, program KPK TransTV berpotensi menghakimi orang, terutama pada kasus-kasus korupsi yang belum diputus pengadilan.

Terlepas dari adanya bias, program semacam KPK TransTV tetap memiliki pengaruh dalam membentuk persepsi publik. Pasalnya, kekuatan berita di televisi bukan pada kemampuannya memproduksi berita yang minim bias, melainkan pada kemampuannya menggiring khalayak untuk menerima konstruksi realitas yang mereka bentuk.

Artinya, kalaupun beritanya mengandung bias, sebagian khalayak tetap akan menjadikannya sebagai referensi pengetahuan. Hal itulah yang sebenarnya ditakuti banyak pihak, termasuk koruptor.

Rizki mengatakan, sebagian koruptor atau tersangka koruptor dan keluarganya keberatan kasusnya ditayangkan dalam program KPK TransTV. "Ada yang mengirim surat keberatan atau mengancam akan menyomasi. Kami tidak mundur sebab kami merasa liputan kami berdasarkan fakta dan berimbang," ujarnya.

Rizki menegaskan, sikap itu diambil karena pihaknya ingin jadi bagian dari gerakan pemberantasan korupsi di negeri ini.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/12/0213564/perkara.korupsi.di.layar.kaca

09 Oktober 2008

"NY Times" dan "IHT" Galang Kekuatan

[WASHINGTON] Surat kabar The New York Times (NYTimes) bersama International Herald Tribune (IHT) meluruskan jalan untuk menggabungkan website masing-masing menjadi satu, dan akan beroperasi di bawah satu bendera NYTimes.com.

Menurut pengumuman yang dilansir oleh New York Times, Rabu (8/10) di New York Amerika Serikat, langkah yang dilakukan International Herald Tribune dan New York Times Media Group itu, dirancang untuk sekaligus menggabungkan dua unsur, yaitu di bidang keahlian pengelolaan teknologi digital dan pengadaan sumber berita yang dimiliki NYT dengan kepakaran penilaian dan pemilihan berita-berita internasional yang dikuasai oleh IHT.

Dengan langkah yang dilakukan kelompok usaha itu, dengan sendirinya, mereka ingin meraih jumlah pembaca melalui internet lebih banyak dan jangkauannya lebih luas lagi.

"Dengan menggabungkan website, New York Times Media Group dengan sendirinya menyatukan pula kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh IHT dan website Times supaya bisa menciptakan kedinamisan yang terkait dengan dasar kebutuhan internasional," ujar kelompok usaha tersebut.

Merger ini juga akan menciptakan sebuah co-branded baru bagi International Herald Tribune/New York Times khusus untuk homepage yang berlaku secara global. Selain itu juga, website tersebut juga bisa lebih fokus pada berita-berita bisnis, kebudayaan, olahraga, gaya hidup, opini, dan travel secara internasional.

Para pembaca setia kedua media ini akan dengan mudah membaca berita dalam "edisi global" langsung melalui website iht.com atau melalui NYTimes.com. Di dua situs itu pembaca bisa pula langsung memilih berita sesuai kawasan yang diinginkan seperti Amerika Serikat atau mencarinya melalui edisi global. Untuk kebutuhan selanjutnya, kelompok usaha itu akan merancang ulang para staf website. [AFP/E-4]

http://www.suarapembaruan.com/News/2008/10/09/index.html

08 Oktober 2008

BLOG - "Kompasiana" Menulis Tanpa Editor

Oleh PEPIH NUGRAHA

Kita mulai tulisan ini dengan kutipan dari blogger Kompasiana, Anton Wisnu Nugroho, wartawan harian ini yang sehari-hari meliput di Istana Negara, Jakarta.

dari sekitar satu jam tampil di mimbar menyampaikan "sepuluh perintah yudhoyono", pak beye terlihat tidak pede saat menyampaikan perintah keenam.

Sebelum membacakan perintah keenam itu, pak beye menelan ludah dan mengambil nafas. mungkin berat menyampaikan perintah itu. perintah keenam adalah sebuah perintah klise seperti diakui pak beye. perintah itu sudah diujarkan berulang-ulang sejak orde baru berkuasa. perintah itu berbunyi, "mari kita lakukan (lagi) kampanye besar-besaran untuk mengkonsumsi produk dalam negeri".

Perhatikan tulisan yang aslinya terdiri dari tiga alinea ini! Tidak ada huruf kapital meski di awal kalimat, di awal kutipan, atau nama orang. Tanpa tanda tanda baca pun, pesannya tetap sampai dan bisa dimengerti pembaca. Bisakah dibayangkan jika penulisan seperti itu termuat di media masa cetak setelah melalui tangan sensor editor, penyunting, dan penyelaras bahasa?

Mari kita simak isi tulisan itu. Bisakah dibayangkan sebuah media massa yang biasanya santun, penuh tata krama dan etika, menulis berita seperti kutipan di atas, padahal penulisnya adalah jurnalis arus utama dan bukan seorang pewarta warga?

Pada zaman Orde Baru yang penuh tekanan, seluruh media massa cetak harus menulis Presiden Soeharto secara seragam. Tidak boleh menulis "Pak Harto", "Soeharto", atau "Presiden Suharto". Semua harus menulis "Presiden Soeharto". Pada tulisan di atas, si penulis dengan enteng menulis "pak beye". Melecehkan? Tidak! Ini menunjukkan keakraban saja—karena si wartawan sehari-hari meliput di lingkungan Istana.

Kutipan alinea berikutnya:

selain karena alasan pemerintah sudah klise, pak beye enggak pede lantaran perintah itu paling berat dilakukan. lihat saja apa yang melekat dari ujung kaki sampai ujung kepala para pejabat. berani bertaruh, berapa persen barang-barang yang melekat di tubuh para pejabat itu adalah produk dalam negeri?

Jika masih penasaran dengan konflik, ironi, dan klimaks tulisan itu, silakan membuka alamat http://kompasiana.com atau langsung ke blog penulisnya di http://wisnunugroho.kompasiana.com.

Sentilan

Tulisan yang penuh sentilan itu bukan isapan jempol belaka. Itu fakta. Bahwa ada semacam opini penulis di dalamnya, misalnya dengan mengatakan "pak beye nggak pede", itu karena konflik batin yang bisa jadi terjadi saat Presiden meminta semua rakyat Indonesia mencintai dan menggunakan produk dalam negeri. Mengapa? Pada saat bersamaan, salah seorang menterinya, seorang ibu menteri, justru menyandang tas Louis Vuitton. Sebuah tas yang harganya puluhan juta rupiah—bukan produksi Tanggulangin atau Bogor!

"Inside story" atau "behind the scene" ini tak mungkin akan ditemukan di media arus utama yang penuh etika ketat. Namun, di blog Kompasiana yang baru diperkenalkan awal September lalu dan masih dalam versi awal, semua bisa terbaca dengan jelas dan lugas. Kompasiana sudah diujicobakan dan bahkan langsung dapat diakses. Nantinya, Kompasiana akan jadi bagian tak terpisahkan dari http://kompas.com yang bisa diakses lebih luas.

Saat ini baru 57 blogger yang juga jurnalis Kompas dan jurnalis di lingkungan Kompas-Gramedia yang sudah memiliki halaman sendiri di Kompasiana, selain blogger tamu.

Bukan pemberontakan

Menjadi pertanyaan umum, mengapa wartawan harus ngeblog? Mengapa media massa arus utama seperti The New York Times dan kini Kompas harus memiliki blog jurnalis? Haramkah jurnalis beropini?

Pertanyaan ini masuk akal mengingat kredibilitas blog dan pewarta warga (citizen journalist) kini tengah dipertanyakan akibat kasus "kebobolannya" CNN oleh salah seorang pewarta warga baru-baru ini. Pekan lalu, CNN lewat iReport—dimaksudkan menampung berita dari warga—menulis berita mengenai "serangan jantung yang dialami Steve Jobs". Harga saham Apple Inc turun 5,4 persen. Ini ternyata kabar bohong. Kredibilitas CNN dipertanyakan. Akhirnya, jaringan televisi milik Ted Turner ini menutup situs itu.

Blogger juga terkena getahnya. Mengapa? Karena hampir semua pewarta warga bermuasal dari seorang blogger. Mereka dipastikan punya blog sendiri-sendiri. Ketika CNN menyediakan iReport, mereka tidak menyia- nyiakannya. Sayang halaman ini mereka sia-siakan dengan menyiarkan berita bohong.

Apakah peristiwa sama, yakni berita bohong, bisa terjadi pada Kompasiana? Jawabannya hampir pasti tidak. Mengapa? Karena Kompasiana tidak menyediakan halaman khusus buat pewarta warga. Ada blogger tamu yang diberi tempat, tetapi mereka bukan "anonim". Mereka adalah blogger profesional seperti Budi Putra, Enda Nasution, dan Antyo Rentjoko. Ini halaman terbatas yang tidak diobral demi menjaga kredibilitas Kompasiana.

Menjadi editor

Kehadiran Kompasiana sejatinya menjadi tantangan tersendiri bagi para editor yang bekerja di media arus utama. Perlu formula baru yang tidak sekadar "asal memberitakan" sebuah peristiwa yang sudah basi agar tetap menarik. Adalah Juan Antonio Giner dari Innovation Media Consulting yang mengingatkan bahwa perusahaan media harus mampu menjadikan koran sebagai produk yang penting bagi siapa pun.

Menurut Giner, krisis koran adalah krisis konten. Koran adalah penyedia konten yang harus di-reinvented setiap saat.

Celakanya, hampir 99 persen konten berita koran adalah berita basi. "Ini krisis nyata di industri pers karena koran tidak cukup memuat berita eksklusif," katanya.

John Wilpers, juga dari Innovation Media Consulting, dalam situs Forum4editor, mengatakan, ikut sertakan blogger ke dalam media massa arus utama (koran) akan menjadikan koran itu sebagai "koran kita" dari sisi pembacanya.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/10/09/02314581/kompasiana.menulis.tanpa.editor

26 September 2008

RUU Pornografi sebagai Masalah Pers Oleh Agus Sudibyo *

MEDIA massa adalah locus publicus. Di sana aneka ekspresi budaya dari masyarakat yang plural dan multikultur bisa tampil setiap saat. Untuk kebutuhan produksi pemberitaan, talk show , variety show , iklan, dan lain-lain, media juga tak terelakkan mengangkat realitas-realitas yang barangkali bisa ditafsirkan mengandung muatan pornografi atau semacamnya.

Posisi media rentan terhadap sasaran kritik, kemarahan, bahkan kekerasan oleh kelompok tertentu yang menganggap media melanggar prinsip-prinsip kesusilaan dan kepantasan.

Dalam konteks itulah, RUU Pornografi harus dilihat sebagai masalah pers di Indonesia. Konstruksi berpikir yang dominan dalam RUU Pornografi dan dalam benak pendukungnya notabene merujuk pada asumsi, dugaan, dan fakta tentang pornografi dalam representasi media. Khususnya setelah term pornoaksi dihilangkan, jelas sekali porsi terbesar dalam RUU Pornografi sesungguhnya adalah regulasi tentang pornografi media.

Pasal 4 RUU Pornografi menjelaskan ruang lingkup pornografi adalah (1) produksi materi pornografi media, (2) penggandaan materi media massa atau media lain yang mengandung unsur pornografi, (3) penyebarluasan materi media massa atau media lain yang mengandung unsur pornografi, (4) penggunaan materi media massa atau media lain yang mengandung unsur pornografi, (5) penyandang dana, prasarana, sarana media dalam penyelenggaraan pornografi. Meski ketentuan itu mengatur materi dan medium yang luas cakupannya, semua kategori (produksi, penggandaan, penyebarluasan, penggunaan, dan penyelenggaraan) terfokus pada entitas media.

Persoalannya, RUU Pornografi belum mempertimbangkan kompleksitas media sebagai ruang publik sosial dengan nilai-nilai yang spesifik dan membutuhkan pendekatan sendiri.

Karena itu, definisi pornografi yang terlalu luas dan multitafsir sulit diterapkan dalam konteks kerja media. Pasal 1 RUU Pornografi menjelaskan,'' Pornografi adalah hasil karya manusia yang memuat materi seksualitas dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, syair, percakapan, atau bentuk-bentuk pesan komunikasi lain dan/atau melalui media yang dipertunjukkan di depan umum dan/atau dapat membangkitkan hasrat seksual serta melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat dan/atau menimbulkan berkembangnya pornoaksi dalam masyarakat ."

Kompleksitas

Sejauh mana batasan membangkitkan hasrat seksual, melanggar nilai-nilai kesusilaan, dan menimbulkan berkembangnya pornoaksi di sini? Lingkup moralitas masyarakat manakah yang digunakan? Jika pasal itu diloloskan, hampir pasti akan timbul kompleksitas tersendiri bagi proses produksi media.

Dapat dibayangkan betapa sulitnya secara teknis jika media harus memaksa selebritis yang muncul sebagai sumber berita atau bintang sinetron untuk menggunakan pakaian jenis tertentu yang lebih ''aman pornografi". Sebab, sesungguhnya belum ada kesepakatan apa itu ''aman pornografi", bagaimana implementasinya secara spesifik dalam dunia media.

Lebih tidak realistis lagi jika media harus meminta warga Papua atau Bali menanggalkan pakaian keseharian mereka dan menggantinya dengan pakaian tertentu dengan alasan agar ''tidak membangkitkan hasrat seksual dan pornoaksi". Yang tidak pantas bagi masyarakat Jawa mungkin bisa menjadi sesuatu yang biasa, bahkan menjadi adat kebiasaan, bagi masyarakat Papua atau Bali.

Apalagi pada sisi lain, media juga dikondisikan untuk memotret fakta secara apa adanya. Kerja jurnalistik terikat pada nilai faktualitas dan presisi. Menampilkan fakta secara faktual menjadi keutamaan karena media adalah ''cermin realitas sosial" yang harus mengeliminasi potensi reduksi, simplifikasi, ataupun pengaburan realitas.

Media massa juga dituntut lebih berorientasi pada realitas sosiologis yang berasal dari fakta di lapangan dan meminimalkan penggunaan realitas psikologis yang bersandar pada konstruksi subjektif narasumber.

Tak pelak, media massa adalah sasaran utama RUU Pornografi. Sanksi pidana bisa dikenakan ke media karena pelanggaran memproduksi, menyebarluaskan, menggunakan dan/atau menyelenggarakan hal-hal yang mengandung muatan pornografi atau barang pornografi dengan hukuman yang sangat memberatkan.

Bukan hanya berpotensi menimbulkan efek jera, sanksi itu juga bisa membunuh eksistensi media sebagai institusi sosial mapun institusi pemberitaan.

Penyebarluasan pornografi yang paling ringan dikenai pidana denda Rp 100 juta hingga Rp 500 juta dan/atau kerja sosial antara 2 hingga 7 tahun dan/atau pengasingan di daerah terpencil antara 2 hingga 7 tahun.

Sanksi pelanggaran pasal-pasal pornografi itu jelas tidak sesuai dengan konsensus untuk menjaga kebebasan pers yang bertanggung jawab. Sanksi yang lazim dikenakan untuk pelanggaran jurnalistik dan media penyiaran ialah sanksi yang menimbulkan efek jera namun tidak bersifat membunuh eksistensi media.

Dalam konteks ini, RUU Pornografi bisa ditempatkan dalam satu gugus dengan RUU lain yang juga berpotensi dan bertendensi membelenggu kebebasan pers seperti halnya RUU Rahasia Negara dan RUU KUHP.

* Agus Sudibyo , deputi direktur Yayasan Sains, Estetika, dan Teknologi (SET) Jakarta
http://www.jawapos.com/ 26 09 2008

22 September 2008

Kekerasan terhadap Jurnalis Dikecam

Jakarta, Kompas - Tiga organisasi profesi wartawan mengeluarkan pernyataan sikap bersama yang isinya antara lain mengecam kekerasan terhadap jurnalis. Mereka juga meminta agar segala persoalan yang berkaitan dengan kegiatan jurnalistik diselesaikan secara hukum dengan menggunakan Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 dan tidak melakukan kriminalisasi terhadap kegiatan jurnalistik.

Pernyataan sikap bersama ini ditandatangani pimpinan ketiga organisasi jurnalis tersebut di Jakarta, Senin (22/9). Ketiganya adalah Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Imam Wahyudi, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Heru Hendratmoko, dan Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat Margiono.

Dalam pernyataan sikap tersebut ketiganya mengecam aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh anggota aparat keamanan terhadap jurnalis peliput di lapangan. Diingat pula, dalam menjalankan tugas dan kewajiban jurnalistiknya, jurnalis dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Berdasarkan undang-undang tersebut, pihak yang menghambat atau menghalangi pelaksanaan tugas jurnalis bisa dipidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.

Berdasarkan catatan Lembaga Bantuan Hukum Pers, selama Januari-Desember 2007 tercatat 56 kasus kekerasan fisik dan 23 kasus kekerasan nonfisik terhadap jurnalis. Pada 2007 bahkan menjadi tahun paling fenomenal dalam konteks kriminalisasi terhadap kegiatan jurnalistik. Pada tahun inilah sejumlah jurnalis masuk penjara karena laporan jurnalistik yang dibuatnya.

Setelah dibuat pernyataan sikap bersama, rencananya akan dilakukan nota kesepahaman (MoU) antara PWI, IJTI, dan AJI dengan kepolisian, Kejaksaan Agung, serta Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia agar persoalan yang berkaitan dengan kegiatan jurnalistik diselesaikan dengan acuan Undang-Undang Pers. (THY)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/23/00384023/kekerasan.terhadap.jurnalis.dikecam

17 September 2008

Vonis yang Memasung Kebebasan Pers

Oleh M Sanusi

Putusan Majelis Hakim Jakarta Pusat, Selasa (9/9), yang mengabulkan sebagian gugatan perdata PT Asian Agri atas PT Tempo Inti Media dan Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Toriq Hadad mengentak kita semua.

Vonis berupa denda Rp 50 juta dan kewajiban tergugat meminta maaf selama tiga hari berturut-turut di majalah Tempo, Koran Tempo, dan harian Kompas, merupakan hukuman yang mengancam eksistensi institusi pers secara keseluruhan.

Kita ketahui, perusahaan agrobisnis Asian Agri menggugat pemberitaan majalah Tempo edisi 15-21 Januari 2007 karena dinilai mencemarkan nama baik Sukanto Tanoto, pemilik Asia Agri Group, yang diilustrasikan sedang berjingkrak di sampul majalah yang terbit awal tahun 2007 itu.

Majelis hakim yang diketuai Panusunan Harapan memenangkan gugatan Asian Agri karena tergugat dinilai melawan hukum mengabaikan asas praduga tak bersalah, dengan menurunkan berita sebelum ada putusan hukum tetap atas kasus dugaan penggelapan pajak PT Asian Agri (trial by the press).

Dengan vonis itu majalah Tempo menanggung dua beban sekaligus, beban material dan imaterial. Beban material berupa kewajiban membayar denda Rp 50 juta. Beban imaterial berupa keharusan memohon maaf resmi di tiga media skala nasional, yang harus dilakukan selama tiga hari berturut-turut.

Vonis keharusan membayar sejumlah uang mungkin bisa ditolerir saat pengadilan memutuskan memenangkan pihak penggugat. Namun, tuntutan permohonan maaf di media cetak itulah yang terasa tidak masuk akal. Tampak vonis itu ingin membatasi, bahkan merenggut, kebebasan pers yang belum begitu lama dinikmati bangsa ini.

Secara yuridis, indikasi destruktifnya vonis itu terlihat, tidak ada dasar hukum yang mengharuskan pers meralat atau memohon maaf atas pemberitaan karena terlalu kritis. Hukum Perdata dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers tidak mengatur keharusan meminta maaf itu. Jika dicermati, vonis yang mewajibkan majalah Tempo meminta maaf melalui medianya sendiri, terlebih media cetak lain, seperti seseorang dipaksa menjilat ludah sendiri.

Jika vonis imaterial itu benar-benar dilakukan, berita yang telah beredar luas akan menjadi sampah. Maka, berita itu akan tertolak akurasi dan validitasnya, yang pada gilirannya akan menyebabkan masyarakat mengalami krisis kepercayaan terhadap lembaga pers. Jika masyarakat telah kehilangan kepercayaan kepada institusi pers, pihak pertama yang rugi adalah masyarakat sendiri. Tanpa pers, masyarakat akan mudah dibohongi oleh pihak-pihak yang ingin mengambil kepentingan, bahkan masyarakat mudah dibohongi pemerintah sendiri. Akibat lebih jauh, demokrasi akan terhambat. Tak terbayangkan, bagaimana nasib rakyat jika pers lumpuh.

Dua pengkhianatan

Dengan demikian, vonis pengadilan berupa permintaan maaf telah memaksa majalah Tempo khususnya dan pers umumnya melakukan dua pengkhianatan sekaligus.

Pertama, pengkhianatan kepada prinsip kerja pers, yakni kebebasan menyajikan informasi, sejauh dibutuhkan publik.

Kedua, pengkhianatan kepada publik. Pengkhianatan pertama akan berakibat pada terpasungnya kebebasan pers, sementara pengkhianatan kedua berakibat munculnya krisis kepercayaan terhadap kepada lembaga pers, yang berarti lonceng kematian bagi lembaga pers sendiri.

Disebut lonceng kematian karena putusan Pengadilan Jakarta Pusat yang disambut negatif berbagai pihak akan menyebabkan industri pers tertekan. Kita tahu, hidup-matinya institusi pers tidak lepas dari pembacanya. Mustahil pers berkembang jika publik antipati terhadap eksistensi pers.

Sebagaimana dikatakan ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dikeluarkannya vonis kewajiban meminta maaf selama tiga hari berturut-turut akan menyebabkan nasib jurnalisme investigatif, seperti diterapkan majalah Tempo, terancam mati. Jika jurnalisme investigatif mati, masyarakat tak akan bisa menikmati sajian beragam informasi. Padahal, institusi pers merupakan pilar keempat demokrasi dan perannya dibutuhkan guna mengontrol, memonitor, dan mengungkap indikasi adanya penyimpangan dalam birokrasi dan pemerintahan. Mengingat vitalnya peran pers untuk mendorong kecerdasan masyarakat dan tegaknya demokrasi, vonis seperti itu seharusnya tidak terdengar lagi.

M Sanusi Peneliti pada Center for Social and Democracy Studies (CSDS) Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/18/00093735/vonis.yang.memasung.kebebasan.pers

12 September 2008

KPK Keberatan (Suara Pembaca)

Dimuatnya berita foto di Suara Pembaruan edisi 10 September 2008, pada halaman 1 yang berjudul "Trimedya Tuding Antasari", Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan keberatan terhadap berita foto tersebut, karena dapat menimbulkan kesalahan persepsi masyarakat dan merusak citra KPK.

Berkaitan dengan hal tersebut, kami sampaikan beberapa hal yang perlu mendapat perhatian sebagai berikut:

Pertama, penulisan judul "Trimedya Tuding Antasari" pada berita foto tersebut menimbulkan kesan seakan-akan Ketua Komisi III DPR RI Trimedya Panjaitan sedang menuding Ketua KPK Antasari Azhar. Berita foto tersebut menimbulkan persepsi atau kesan tudingan ditujukan kepada Ketua KPK Antasari Azhar yang bermakna negatif dan menyesatkan dari kejadian yang sebenarnya.

Kedua, peristiwa yang terjadi sesungguhnya adalah terjadi dialog antara Ketua KPK Antasari Azhar dan Ketua Komisi III DPR RI membahas topik dalam Rapat Dengar Pendapat tersebut. Telunjuk yang diangkat oleh Ketua Komisi III merupakan ekspresi yang bersangkutan ketika sedang bercerita, sebelum dimulainya rapat pada tanggal 10 September 2008. Jadi tidak benar ada tudingan yang bermakna negatif.

Johan Budi SP

Hubungan Masyarakat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Jl HR Rasuna Said Kav C-1

http://www.suarapembaruan.com/News/2008/09/12/index.html

-----


Trimedya Tuding Antasari

SP/Charles Ulag

Ketua Komisi III DPR, Trimedya Pandjaitan (kiri) berbincang dengan menudingkan tangan ke Ketua KPK Antasari Azhar sebelum rapat dengar pendapat di Gedung MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (10/9). Dalam rapat tersebut PDI-P mempersilakan KPK untuk mengusut tuntas 400 cek perjalanan yang diberikan sebuah bank ke anggota PDI-P. Berita di halaman 2. (http://www.suarapembaruan.com/News/2008/09/10/index.html)

MUI Adukan Majalah Berbau Pornografi

JAKARTA - Majelis Ulama Indonesia mengadukan sejumlah majalah mengandung unsure pornografi ke Dewan pers.

Pada salinan surat sebanyak dua lembar yang dilayangkan MUI ke Dewan pers, dikatakan bahwa majalah - majalah tersebut beredar luas dan dijual bebas di jalanan, kios koran dan toko buku.

Sehingga siapapun dapat dengan mudah untuk membeli atau membacanya.

"MUI dengan ini menyampaikan pengaduan kepada dewan pers atas beredarnya majalah - majalah yang kami maksud," kata Ketua Komisi Infokom MUI Said Budairy, dalam Konfrensi Pers Evaluasi 10 hari pertama tayangan televisi Ramadan, di gedung Depkominfo, Jakarta, Jumat (12/09/08).

Menurut MUI, majalah tersebut telah menyebarkan pencabulan seperti majalah Playboy.

"Oleh karena itu, kami mendukung upaya FPI yang telah melaporkan pengelola dan model majalah playboy ke polisi," ujar Said.

Majalah - majalah yang diadukan yakni majalah Barbuk, X2, Maxim, Oke Magazine, ME Asia, Cosmopolitan, Fenomena Exo, FHM Indonesia dan Popular.

"Kami berharap dewan pers menggunakan kewenanganya untuk segera membahas dan mengambil keputusan sikap terhadap pengaduan kami. MUI juga tidak menginginkan reaksi yang anarkis terjadi di tengah masyarakat kita," pungkasnya. (rgi)
http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/09/12/1/145487/mui-adukan-majalah-berbau-pornografi

09 September 2008

Tempo Akan Mengajukan Banding

TEMPO Interaktif Jakarta, Selasa, 09 September 2008: Kuasa hukum Tempo akan mengajukan banding atas putusan majelis hakim yang memvonis pemberitaan majalah Tempo tentang dugaan penggelapan pajak Asian Agri Group. Pemberitaan itu dianggap hakim telah mencemarkan nama baik Sukanto Tanoto dan Asian Agri.

Menurut dia, majelis hakim tidak mempertimbangkan fakta-fakta dan saksi di persidangan. "Kesaksian dari Komisi Pemberantasan Korupsi tidak dijadikan pertimbangan majelis hakim," ujar Hendrayana, kuasa hukum Tempo.

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyatakan pemberitaan Majalah Tempo itu dianggap telah menyerang kehormatan dan nama baik Asian Agri Group. Karena itu, majalah Tempo diharuskan meminta maaf di majalah Tempo, Koran Tempo dan Kompas selama tiga hari berturut-turut.

"(Kami) Mengabulkan gugatan sebagian, menyatakan tergugat melakukan perbuatan melawan hukum telah melakukan penghinaan," kata Panusunan Harahap, Ketua Majelis Hakim, saat membacakan putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa(9/9).

Selain meminta maaf di media massa, Majelis hakim juga menghukum Tempo dan Toriq Hadad, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo membayar denda Rp 50 juta.

Hendrayana mengatakan, putusan itu adalah lonceng kematian kebebasan pers Indonesia. "Ini preseden buruk bagi kebebasan pers Indonesia dan bertentangan dengan semangat memberantas korupsi," kata dia.

Hendrayana juga membantah penilaian majelis hakim yang menyatakan pemberitaan Tempo subjektif dan tidak seimbang. "Ini fakta jurnalistik, ini investigasi ada data dan narasumber, kami juga memuat hak jawab. Berita itu juga berimbang, sudah dimuat dari Asian Agri," ujarnya.

Hakim juga menilai pemberitaan Tempo tersebut berupa kesimpulan dan opini yang melanggar asas praduga tak bersalah karena belum memiliki kekuatan hukum tetap.-- Sutarto

http://www.tempointeraktif.com/hg/fokus/2008/09/09/fks,20080909-100,id.html

07 September 2008

Capres Tak Sekadar Muda dan Manfaatkan Eforia Internet

Sudah kerap atraksi Barack Obama dibahas di pelbagai tulisan. Berulang kali, dari pelbagai sudut pandang, Obama seperti magnet. Yang ia lakukan selalu membuat orang takjub. Ia tak cuma menyedot perhatian masyarakat Amerika, media, tapi juga warga dunia, termasuk di Indonesia.

Tanggal 2 September dini hari pukul 01.52 waktu Indonesia, saya menerima e-mail blast dari Barack Obama. Karena memang sekian bulan lalu saya registrasi e-mail saya ke situs Web Obama. Secara rutin saya mendapat kiriman e-mail darinya.

Kali ini e-mail bersubjek "Help Gulf Coast Residents and first responders Hurricane Gustaf." Intinya ia mengajak pendukungnya untuk melakukan sesuatu bagi korban topan Gustaf dan memberikan donasi untuk meringankan beban para korban.

Ini soal kepekaan dalam melihat momen yang ada dan kecepatan Obama menjahit momen tersebut menjadi pesan sosial. Karena saat ini semua perhatian masyarakat Amerika tertuju pada bencana akibat topan Gustaf di wilayah New Orleans, Louisiana, Teluk Meksiko.

Dari awal kampanye Obama, yang menarik dicermati adalah kecerdasan tim sukses Obama menyiapkan strategi kampanye. Yakni menciptakan content dan context yang sesuai dengan public insight Amerika saat ini.

Hidup dengan internet dan jejaring sosial yang ada di dunia maya telah menjadi kebutuhan utama publik Amerika yang jadi target pemilih Obama. Dengan penetrasi internet di AS mencapai 69 persen, lebih tinggi dibanding rata-rata jumlah pemilih Pemilu AS yang kurang dari 50 persen. Maka tak disangsikan lagi bahwa di Amerika target pemilih bisa dikatakan cukup identik dengan pengguna internet. Tentu saja berbeda dengan Indonesia di mana pengguna internet bisa jadi bukan target pemilih saat ini.

Eforia digital

Selain menyiapkan kanal komunikasi yang sesuai dengan zamannya, tim sukses Obama juga menciptakan content—pesan yang kontekstual dengan situasi dan kebutuhan saat ini, yakni perubahan. Kunci pesan Obama adalah, "Change you can believe in". Pesan ini memang dimaksudkan menjawab tantangan Amerika yang sedang dirundung krisis ekonomi domestik. Dan, niat Obama adalah bagaimana perubahan yang ia tawarkan akan mengamankan masa depan Amerika.

Masyarakat AS, terutama kalangan mudanya, sedang meresahkan masa depan AS. Itulah yang dijawab Obama. Dia menjanjikan akan fokus pada penyelesaian masalah ekonomi riil dalam negeri yang antara lain karena masalah kredit konsumsi. Obama juga menjanjikan soal proteksi keamanan sosial untuk generasi mendatang. Karena, situasi yang melanda Amerika sekarang, memang sangat dikhawatirkan pengaruhnya bagi generasi mudanya yang memang sudah terbiasa menikmati kenyamanan.

Kemampuannya memetakan isu-isu penting bagi warga Amerika, kemudian mengemasnya dalam key messages (yang telah menyentuh emosi masyarakatnya), dan mendistribusikan melalui kanal-kanal komunikasi modern. Itulah kekuatan kampanye Obama.

Yang jelas, dengan strategi itu Obama telah merampungkan satu babak, dan ia berhasil lolos sebagai kandidat capres dari Partai Demokrat mengalahkan Hillary Clinton. Kini ia melaju ke babak selanjutnya, melawan McCain dari Partai Republik.

Eforia digital communications Obama memang telah melanda Indonesia. Beberapa kandidat capres memanfaatkan media modern ini. Di situs jejaring sosial Facebook, misalnya, muncul Rizal Mallarangeng, Fajroel Rahman, Wiranto, dan Soetrisno Bachir. Mereka memang sudah menjaring ratusan teman.

Persoalannya, teman yang terdaftar seolah hanya sebagai teman saja. Mereka tidak disuguhi nukilan persoalan-persoalan bangsa yang kemudian dikemas jadi pesan politik dan persoalan sosial yang menyentuh emosi publik.

Kehebatan komunikasi digital di era Web 2.0, untuk menjaring interaktivitas, memancing ketertarikan publik, serta menggali insight pemilih belum secara optimal dimanfaatkan. Mereka masih terkesan "meminta" publik untuk memahami pemikiran mereka. Bukan sebaliknya, menggali sebanyak mungkin persoalan dan unek-unek yang ada di masyarakat, lalu memilahnya menjadi pesan-pesan politik yang cantik serta mengajak masyarakat untuk terlibat menanganinya.

Kecepatan

Terinspirasi kesuksesan pola komunikasi Obama memang sah-sah saja, tapi yang perlu dicatat Obama telah membuktikan "tak sekadar muda dan berinternet." Tapi ia juga jeli dan peka menangkap persoalan bangsanya, mengemasnya menjadi pesan politik dan pesan sosial yang mengundang simpati publik. Apalagi penetrasi internet di Indonesia masih sekitar 9,8 persen, belum signifikan bila dibandingkan dengan jumlah pemilih.

"Teman-teman" yang terjaring para kandidat capres Indonesia di jejaring sosial dunia maya, bisa jadi bukanlah tipikal pemilih Indonesia. Karena mereka umumnya adalah kalangan terdidik dan kritis, yang memiliki keengganan memilih karena sudah muak dengan praktik politik yang ada selama ini.

Namun, bukan berarti mereka tak bisa dimanfaatkan. Bila mereka mendapatkan masukan pesan-pesan simpatik dan meyakininya, hal itu bisa menjadi virus perubahan, masyarakat digital akan dengan senang hati menyebarkan virus tersebut. Karena salah satu kekuatan komunikasi digital adalah kecepatan mengabarkan melalui word of mouth.

Menurut Mazen Nahawi, President News Group International, internet telah menjadi sumber informasi nomor satu untuk para jurnalis. Itu artinya, jika pesan-pesan yang ada di jejaring sosial dunia maya itu menarik perhatian, tentunya akan menjadi asupan bagi mainstream media yang masih dominan di Indonesia.

Nah, setelah muda dan "nge-net", sudah peka-kah para capres negeri ini melihat persoalan bangsa?

Ventura Elisawati Peminat Komunikasi Digital Blog: http://vlisa.com

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/08/01222592/capres.tak.sekadar.muda.dan.manfaatkan.eforia.internet

Jurnalisme Warga, Teknologi, dan Bebas Nilai (Teknologi Informasi)

Rene L Pattiradjawane

Dalam kemajuan teknologi komunikasi informasi, terutama dalam konteks Indonesia dengan lalu lintas data blog terbesar untuk ukuran global sebagai salah satu dari 30 kota dunia dengan blog yang paling sibuk, ada fenomena penting yang lolos dari perhatian kita.

Kemajuan teknologi memasuki abad informasi, ada upaya kita untuk tidak bisa memisahkan batasan- batasan yang berlaku sesuai kaidah hukum, seolah-olah menulis blog, melakukan aktivitas jurnalisme warga (citizien journalism), menjadi moderator, dan aktivitas di jejaring internet lainnya tidak bisa dihukum.

Dan fenomena ini muncul dalam kehidupan kita, ketika tuduhan terhadap seseorang melakukan korupsi di salah satu situs Web dimasukkan ke mailing list Forum Pembaca Kompas menyebabkan moderator forum dipanggil sebagai saksi oleh kepolisian untuk diperiksa. Persoalan muncul ketika terjadi pertanyaan apakah moderator mailing list tidak bertanggung jawab atas materi isi yang dibahas di forum tersebut dan bebas nilai?

Sebuah situs Web sejenis jurnalisme warga menulis laporan berdasarkan pengalamannya bertemu kenalannya, menyebutkan partai politik meminta uang kepada sebuah perusahaan agar tidak kena hak angket oleh DPR yang bisa menghambat jalannya initial public offering (IPO) perusahaan itu.

Tulisan ini juga menulis nama seorang anggota DPR dari partai yang meminta uang tersebut, yang datang ke perusahaan tersebut meminta uang dalam jumlah besar mulai dari Rp 6 miliar sampai turun ke jumlah Rp 1 miliar. Semua ditulis berdasarkan penuturan kenalan penulis.

Tulisan di situs Web jurnalisme warga ini kemudian diteruskan ke mailing list Forum Pembaca Kompas, kemudian diteruskan lagi oleh salah satu anggota forum ke anggota DPR yang disebut namanya. Akibatnya, anggota DPR ini menuntut penulis tulisan yang ada di situs Web dan forum tersebut, dan pihak kepolisian menjadikan moderator forum sebagai saksi.

Pipa dua arah

Ini persoalan rumit, melibatkan banyak aspek memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi informasi yang menghadirkan fenomena baru dan tanpa preseden sama sekali. Di sisi lain, persoalan ini menjadi ujian penting untuk Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)yang mengatur keseluruhan hidup dan aktivitas kita di jejaring internet.

Persoalan ini penting untuk mengukur apakah demokrasi yang kita jalankan di jejaring internet adalah bebas nilai yang semaunya mencemarkan nama baik, menuduh seseorang, atau memfitnah atas nama kebebasan berpendapat, berekspresi, dan mengemukakan kebenaran?

Setelah tergulingnya Orde Baru, demokrasi dan kemajuan teknologi komunikasi informasi adalah satu persoalan dalam dua sisi sebuah koin. Sisi pertama, demokrasi dan reformasi yang menggebu-gebu memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi informasi, serta menghadirkan empat presiden yang berbeda-beda, ternyata tidak mampu mengusir kezaliman dan kejahatan diri kita semua dalam cara berpikir dan korupsi.

Artinya, campuran demokrasi dan kemajuan teknologi komunikasi informasi ternyata tidak mengubah apa-apa secara fundamental dalam kehidupan kita bernegara, berbangsa, dan berinformasi. Kita memang berhasil dalam menikmati kebebasan berpendapat seenaknya, lebih enak dari negara-negara Barat sebagai kampiun kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Sisi kedua, teknologi komunikasi informasi tercampur demokrasi-reformasi, menghasilkan apa yang disebut sebagai jurnalisme warga, yang secara definisi dirumuskan sebagai memainkan peranan aktif dalam proses pengumpulan, pelaporan, analisa, serta diseminiasi berita dan informasi.

Artinya, dalam era demokrasi-reformasi berbasis informasi sekarang ini semua warga di negara kepulauan Nusantara ini adalah konsumen, semua orang adalah distributor, semua warga menjadi agregator, dan semua orang adalah produser. Menurut CEO Reuters Tom Glocer, dari kantor berita Inggris ternama dan disegani di dunia, kita hidup dalam era pipa dua arah. Glocer menajamkan pengertiannya bahwa semua orang memiliki potensi sebagai mitra dan sekaligus sebagai kompetitor.

Kekisruhan informasi

Kita memahami sedalam-dalamnya, kemajuan teknologi komunikasi informasi yang sekarang menjadi bagian kehidupan digital kita sehari-hari memang telah menghadirkan pilihan baru mengakses informasi seluas-luasnya. Jejaring internet memungkinkan semua warga negara Indonesia untuk memberikan sumbangsih kepada jurnalisme tanpa pelatihan formal.

Jurnalisme warga yang sekarang didengung-dengungkan oleh siapa saja yang memanfaatkan kemajuan jejaring internet, baik memiliki situs Web sendiri dan situs blog yang menjadi fenomena penting kemajuan internet Indonesia, berkembang begitu liar dan berdalih dilindungi oleh undang-undang pers ketika terjadi kekisruhan diseminasi informasi seperti yang terjadi dalam kasus di atas.

Yang harus dipahami, dan ini tidak tercermin dalam perkembangan jurnalisme warga di Indonesia, jurnalisme akan selalu memiliki seperangkat prinsip- prinsip, seperti memeriksa ulang sumber informasi dan memisahkan komentar dan pelaporan. Pada media massa tradisional, kaidah ini mengalami penyaringan sangat ketat dengan berbagai mekanisme news room.

Pada jurnalisme warga, yang muncul seringkali adalah one reporter journalism yang tidak bisa membedakan melaporkan berita dan menjadi berita. Akibatnya, terjadinya tuduh menuduh yang berakibat tercemarnya nama baik seseorang. Ketika menjadi persoalan hukum, bagaimana mungkin one reporter journalism berdalih dan berlindung pada hak jawab yang diatur oleh undang-undang?

Yang tidak kalah menarik adalah tulisan dimuat di situs Web dianggap sebagai kebenaran hakiki dan tidak dimiliki oleh media tradisional. Padahal, mungkin saja informasi yang sama yang ditulis pada situs Web dimiliki oleh reporter di media tradisional, tetapi disimpan di komputer karena masih mentah dan belum layak disajikan sebagai konsumsi umum.

Menjaga kepercayaan

Kemajuan jejaring internet memang telah memberikan pilihan diseminasi informasi yang berlawanan dengan arus utama yang selama beberapa dekade dikuasai oleh media tradisional, mulai dari surat kabar, radio, sampai televisi. Internet menghadirkan tidak hanya jurnalisme warga yang berupaya untuk menjadi alternatif informasi mainstream, mulai dari blog yang masuk dalam kategori user-created-content (UCC).

Sesadar-sadarnya kita memahami pilihan diseminasi informasi dengan semakin luas dan cepat akses jejaring internet, menjadi ancaman penting bagi informasi mainstream yang bekerja dalam konteks industri informasi. Namun, ini tidak berarti bahwa pilihan informasi di jaringan internet bisa dikategorikan sebagai karya jurnalistik yang bebas nilai dan terlepas dari jerat hukum yang berlaku.

Oh Yeong-ho, pendiri Ohmynews sebagai pelopor utama citizen journalism di dunia asal Korea Selatan, secara tegas mengakui bahwa menulis sebuah berita membutuhkan waktu yang lebih lama dari hanya sekadar memberikan sebuah komentar atau melakukan posting pada situs blog.

Dalam pencemaran nama seseorang memang tidak ada pilihan untuk dilakukan pemeriksaan, karena "kerusakan sudah terjadi" dan harus ada yang bertanggung jawab atas kerusakan tersebut. Sekaligus menguji dan memperbaiki berbagai undang- undang dan peraturan hukum mengantisipasi kemajuan teknologi komunikasi informasi.

Memang menjadi persoalan, apakah moderator sebuah mailing list juga ikut terlibat di mata hukum ketika terjadi kerusakan tersebut? Apakah seorang moderator bisa masuk bui karena dituduh ikut menyebarkan pencemaran nama baik hanya karena memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi informasi?

Ketika UU ITE digelar, persoalan ini menjadi perdebatan hangat oleh siapa saja. Dan seharusnya perdebatan ini dilanjutkan untuk bisa mencapai apa yang kita sepakat satu-satunya bebas nilai itu adalah kebenaran yang hakiki. Di tengah kemajuan internet sekarang ini, informasi yang mana yang bisa dipercaya atau informasi bagaimana yang akurat? Kita tahu kalau kepercayaan pembaca itu sangat rentan sehingga perlu proses panjang untuk bisa menjaga kepercayaan itu.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/08/01250183/jurnalisme.warga.teknologi.dan.bebas.nilai

04 September 2008

Kampanye, dari Panggung ke Televisi (Opini Jeffrie Geovanie)

''Iklan politik dapat menyusup ke dalam suasana keakraban di rumah, dengan bersembunyi secara diam-diam di tengah acara yang digemari penonton trelevisi."

Arnold Steinberg (1981:4)

Kita sulit membantah pendapat Steinberg dan karena itu pula, munculnya banyak calon anggota legislatif (caleg) dari kalangan artis meresahkan kader-kader partai tempat sang artis mendaftarkan diri sebagai caleg. Mengapa demikian? Salah satu jawabannya, sang artis kerap muncul di televisi, baik sebagai bintang iklan, pemain sinetron, maupun presenter. Sering muncul di layar kaca identik dengan menjulangnya popularitas.

Seseorang dengan popularitas yang tinggi memang belum tentu menunjukkan kualitas yang tinggi pula karena popularitas tidak ekuivalen dengan kualitas. Namun, bagi seorang caleg, popularitas merupakan modal awal untuk menarik dukungan, terutama dari kalangan pemilih yang kurang kritis.

Karena itu, sangat wajar banyak kalangan -terutama yang punya kemauan keras untuk menjadi presiden misalnya- beriklan secara intensif di televisi. Tujuannya, mendongkrak popularitas. Menurut sejumlah survei, televisi merupakan media yang paling efektif dan efisien untuk mendongkrak popularitas.

Alami Peralihan

Melihat kenyataan itu, saya yakin, pola kampanye politisi akan mengalami peralihan yang signifikan, dari kampanye model lama (dengan mengadakan panggung hiburan di lapangan, reli di jalan-jalan, dan rapat akbar) ke kampanye model baru (beriklan di televisi).

Ada sejumlah kemudahan ketika seseorang beriklan melalui televisi. Pertama, bisa dibuat secara tepat sesuai kemauan. Karena tidak ditayangkan langsung (live), iklan bisa dirancang dan dilakukan proses perekaman yang berulang-ulang hingga menemukan cara dan gaya yang paling bagus.

Dalam iklan di televisi, para politisi bisa terhindar dari kesalahan-kesalahan yang mungkin mudah terjadi saat kampanye di panggung seperti keseleo lidah, tampilan yang kurang fit, dan gesture tubuh yang terkesan norak. Selain itu, dengan beriklan di televisi, wajah yang kurang menarik bisa dipoles dengan make-up memadai.

Kedua, lebih efisien. Meski pengambilan gambarnya (shooting) cuma sekali, iklan bisa ditayangkan berkali-kali dengan beragam variasi. Televisi terus-menerus mengiklankan sang politisi -sesuai kontrak tentunya-, meski sang politisi entah berada di mana. Bahkan pada saat sang politisi tidur nyenyak pun, iklan tetap jalan.

Murah

Ketiga, lebih murah. Banyak kalangan berpendapat, iklan di televisi bisa menghabiskan dana yang sangat besar. Pendapat itu benar tapi kurang tepat. Benar bahwa tarif iklan di televisi relatif mahal. Namun, jika dibandingkan dengan kegiatan kampanye di tengah lapangan dengan menghadirkan ratusan atau bahkan ribuan orang, iklan di televisi jauh lebih murah. Mau bukti? Mari kita hitung.

Tarif iklan di televisi dengan durasi 60 detik, misalnya, dibanderol Rp 40 juta. Jika menurut survei setiap tayangan televisi akan ditonton minimal 40 juta orang, harga per penonton sama dengan satu rupiah. Dengan beriklan di televisi, sang politisi (kandidat) bisa memasuki semua ruang (baik publik maupun privat) yang di situ terdapat televisi. Jika ditambah dengan ongkos produksi iklan Rp 25 juta, biaya keseluruhan ''hanya" Rp 65 juta.

Coba bandingkan, misalnya, dengan mengadakan kampanye di lapangan. Untuk menyelenggarakannya, dibutuhkan panitia yang siap bekerja keras. Untuk kesempurnaan acara, dibutuhkan waktu cukup untuk merancangnya. Jika yang akan hadir ditargetkan empat ribu orang, berapa ongkos yang dikeluarkan untuk transportasi dan konsumsi.

Jika untuk setiap orang dianggarkan Rp 25 ribu, akan ketemu biaya Rp 100.000.000 (Rp 25.000 x Rp 4.000). Itu baru biaya untuk menghadirkan peserta kampanye. Jika ditambah biaya sound system, atribut-atribut kampanye, dan honorarium panatia, bagian keamanan, tukang parkir, dan lain-lain, keseluruhan biaya bisa membengkak hingga Rp 150 juta.

Jika harus dihadirkan pula para artis untuk memeriahkan suasana, betapa besar biaya yang harus dikeluarkan untuk sekali kampanye yang ''hanya" dihadiri empat ribu orang!

Jika setiap kandidat menyadari sepenuhnya dengan kelebihan iklan di televisi, saya yakin, medan kampanye yang selama ini banyak terkonsentrasi di panggung hiburan, podium-podium, dan arak-arakan di jalan-jalan akan beralih ke ruang kantor, ruang tamu, mobil-mobil yang tengah berjalan, kamar-kamar hotel, kamar tidur, bahkan di setiap genggam para pemilih handphone televisi.

Melihat kenyataan demikian, wajar pada hari-hari ini banyak politisi yang beriklan di televisi seperti Soetrisno Bachir, Rizal Mallarangeng, dan Prabowo Subijanto. Calon kepala daerah (calon bupati, wali kota, gubernur) pun mulai intensif beriklan di layar kaca. Kesannya memang wah dan mahal. Padahal, jika dibandingkan dengan kampanye ''live" di panggung hiburan dan di jalan-jalan, ongkosnya jauh lebih murah, lebih efektif. --  * Jeffrie Geovanie , wakil direktur eksekutif Lembaga Pemenangan Pemilu DPP Partai Golkar
jawa pos, 05 September 2008 

31 Agustus 2008

Kebebasan Pers, Telematika, dan Nasionalisme (Opini Eddy Satriya Asdep Telematika dan Utilitas di Menko Perekonomian)

  Senin, 1 September 2008 - Menahan geram, saya terpaksa mengucapkan kata-kata yang tergolong kurang sopan sebagai jawaban getir atas pertanyaan seorang wartawan tentang penayangan rekaman percakapan yang diduga berasal dari kokpit pesawat Adam Air yang jatuh di Majene, awal tahun 2007.

Betapa tidak, rekaman teknis pilot dan kopilot yang semestinya digunakan kalangan sangat terbatas telah diberitakan sedemikian rupa di layar kaca tanpa menghiraukan dampaknya terhadap keluarga para penumpang dan awak pesawat. Ditambah dengan teknik editing dan kombinasi visual kepanikan di kokpit pesawat, tak pelak lagi tayangan itu semakin eyes catching, membuai penonton melupakan aspek kemanusiaan bagi keluarga korban. Apalagi, terhadap kepentingan umum yang lebih luas, seperti dampak ekonomi sanksi larangan terbang oleh Uni Eropa terhadap penerbangan nasional.

Seiring proses demokratisasi yang berjalan cepat, saat ini pers nasional memang sedang menikmati surga kebebasannya. Namun, selayaknya kebebasan itu juga disesuaikan dengan kepatutan dan hukum yang berlaku.

Penyebarluasan isi "black box" Adam Air tersebut menegaskan tingkat profesionalisme pers kita. Yang cukup mengherankan pula kenyataan bahwa hingga saat ini belum terdengar langkah konkret dari pihak kepolisian, Departemen Perhubungan, hingga Komisi Penyiaran Indonesia terhadap insiden ini.

Berlandaskan etika

Pemberitaan yang mengumbar kesedihan berlebihan serta berita tragis, seperti kasus Adam Air, bukan hanya sekali ini terjadi. Sudah sering. Dahulu ketika musibah tsunami melanda Aceh, jelas kita menyaksikan reporter dari sebuah stasiun teve berhasil "menggiring" seorang korban yang kehilangan anak gadis dan belasan anggota keluarga lainnya untuk menyanyikan lagu kesayangan sang anak. Belum puas, reporter tersebut masih membujuk sumber berita itu untuk menyanyikan satu bait lagu lagi yang tentu saja tak mampu dilanjutkan oleh sang ayah.

Di tengah kebebasan pers yang harus dijunjung tinggi, tidak ayal lagi rentetan kupasan kejadian musibah pesawat di Indonesia ini tentu saja patut diduga berkorelasi dengan dijatuhkannya berbagai travel ban oleh beberapa negara, bahkan hingga larangan terbang maskapai penerbangan nasional—tanpa kecuali—ke Benua Eropa.

Menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana seharusnya media massa dan insan pers menyikapi suatu bahan pemberitaan? Apakah memang sudah tidak ada lagi pertimbangan yang berlandaskan etika, kepatutan, hingga hukum tentang suatu kebenaran isi berita sebelum disebarluaskan?

Alasan pembenaran

Kemajuan dunia telematika atau sekarang dikenal juga dengan teknologi komunikasi informasi) memang menjanjikan berbagai kemudahan dan ketersediaan aplikasi yang sangat canggih. Saking canggihnya, terkadang bisa menggiring orang untuk lupa diri akan waktu, tanggung jawab, hingga kepatutan.

Kemudahan berselancar di internet serta tersedianya berbagai search engine dan portal berita media massa modern dunia di layar komputer, selain mempermudah tugas para wartawan, juga meningkatkan persaingan dalam bisnis berita ini.

Namun, ketatnya tingkat persaingan dan kemampuan berinovasi yang berkaitan erat dengan rating dan jumlah iklan, tentu saja tidak pantas menjadi alasan pembenaran untuk menyebarluaskan berita yang kurang pada tempatnya.

Saya mengalami kejadian cukup menegangkan pada Februari 2001 dalam penerbangan malam Jakarta-Singapura menggunakan Singapore Airlines (SQ). Meski tidak banyak penumpang di baris belakang yang melihat langsung percikan api di mesin sebelah kiri, proses berlangsungnya kebakaran yang dimulai ledakan itu jelas sangat menakutkan.

Jerit histeris seorang ibu kepada suaminya yang panik di depan saya ketika melihat percikan dan bunga-bunga api membuat suasana semakin mencekam, hingga akhirnya terdengar suara pilot yang mengumumkan bahwa mesin yang terbakar tersebut berhasil dipadamkan. Meski pesawat terlambat sekitar 30 menit dari jadwal, saya sendiri mengalami shock berat pertama kali yang membuat saya mematung di Bandara Changi sekitar 20 menit menunggu bagasi. Padahal, sudah lebih dari setengah jam koper yang saya cari-cari itu tergeletak dihadapan saya.

Namun, sungguh menakjubkan. Nyaris tidak ada pemberitaan menghebohkan tentang insiden terbakarnya mesin pesawat SQ itu keesokan harinya, apalagi tayangan berulang-ulang ala televisi di Indonesia.

Pembodohan

Bukan perkara mudah menyikapi kemajuan telematika yang bisa disalahgunakan tanpa mempertimbangkan rasa kemanusiaan di tengah kebebasan pers saat ini. Kemajuan telematika secara psikologis menggiring penggunanya untuk malas berpikir ulang serta melakukan check dan recheck karena semuanya serba mudah dan serba cepat.

Untuk kasus "black box" Adam Air seperti diuraikan di atas, bukan pribadi atau keluarga korban yang dirugikan, melainkan juga ekonomi dan martabat bangsa. Berbagai usaha perbaikan yang dilakukan Garuda Indonesia ataupun pemerintah menjadi sia-sia.

Pasar penumpang domestik dan luar negeri menjadi sasaran empuk berbagai penerbangan asing dengan kualitas layanan tidak selalu jauh lebih baik daripada Garuda atau maskapai penerbangan nasional lainnya.

Jebolnya ruangan penumpang pesawat Qantas yang terpaksa mendarat darurat di Manila serta jatuhnya Spanair sehabis tinggal landas baru-baru ini mengingatkan kita bahwa kecelakaan bisa mengintai dan terjadi di mana pun, baik di Medan, Yogyakarta, Madrid, atau di atas udara Hongkong. Di atas itu semua, nasionalisme sebaiknya tetap menjadi pertimbangan yang tidak boleh dilupakan dalam implementasi berbagai kebijakan.

Telematika dengan berbagai perangkat regulasi yang ada sekarang, termasuk Undang-Undang Penyiaran dan keberadaan Dewan Pers, hendaknya mampu meluruskan berbagai pelanggaran yang berlindung di balik kedok kebebasan pers.

Terkadang, seperti sering dihujat masyarakat, kebebasan itu juga sangat kental dengan pembodohan hingga usaha-usaha penipuan berupa undian melalui telepon atau SMS yang entah kapan akan ditertibkan. Semoga telematika bisa digunakan untuk kemajuan ekonomi dan meningkatkan martabat bangsa, bukan sebaliknya. -Eddy Satriya Asdep Telematika dan Utilitas di Menko Perekonomian. Dapat dihubungi di eddysatriya.wordpress.com

29 Agustus 2008

Sepakati Multitafsir Perjuangan Pers

Pers nasional masih dibekap dimensi paradoks. Di satu sisi harus mengedepankan idealisme dan agen pembaruan. Namun, di sisi lain, pers dinilai telah memberikan porsi berlebih kepada aspek materialistis (mementingkan bisnis). Kondisi itulah yang sedang diformulasikan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Dalam acara sarasehan pers nasional bertema ''mempertahankan roh perjuangan pers nasional di era globalisasi'', Ketua Umum PWI Pusat Margiono mengatakan, tantangan pers di era globalisasi makin berat. Bergulirnya era globalisasi ini, kata dia, mau tidak mau, mengharuskan pers menyeimbangkan posisinya. Yakni, tetap idealis sekaligus menjaga agar industri pers tetap sehat secara bisnis.

Pembicara dalam sarasehan tersebut, antara lain, Dahlan Iskan (chairman Jawa Pos), Jakob Oetama (pemimpin umum harian Kompas), Letjen (pur) Kiki Syahnarki (mantan Wakasad), dan Tjipta Lesmana (pemerhati pers dan guru besar komunikasi politik Universitas Pelita Harapan).

Jakob Oetama mengatakan, pers akan tertinggal jika kehilangan empat fundamen penting. Yaitu, trust (kepercayaan), tidak total bekerja sebagai pekerja pers (wartawan), tidak peduli dan tidak peka terhadap kondisi sekitar, dan tidak mempunyai frame dan falsafah dalam melaksanakan pekerjaan. ''Kini kecenderungannya, kepercayaan atau trust ini sudah sangat lemah. Kita lebih cenderung berprasangka terhadap orang,'' papar Jakob.

Pendiri majalah legendaris Intisari itu juga merisaukan hilangnya ketotalan dalam bekerja. ''Tidak ada lagi semangat bahwa bekerja adalah ibadah akan menurunkan wibawa pers,'' katanya. Kalau sudah begitu, lanjut dia, akan sulit pers bertahan di era globalisasi.

Soal suksesnya harian Kompas dengan kelompok Kompas Gramedianya, Jakob mengatakan tidak tepat menyebut dirinya pengusaha. Pria kelahiran 27 September 1931 itu lebih suka disebut orang yang bisa memimpin industri pers. ''Saya ini dulu hanya ingin menjadi guru. Namun, setelah menjadi wartawan dan kini bisa memimpin Kompas, saya mungkin termasuk orang yang bisa menjadi pimpinan,'' katanya.

Sementara itu, Dahlan Iskan mengatakan, Jawa Pos bisa besar, bahkan mengalami metamorfosis menjadi sebuah holding pers yang sangat besar, bukan karena dirancang khusus untuk menjadi konglomerasi. ''Jawa Pos mengalir saja sesuai dengan tuntutan globalisasi itu sendiri,'' kata Dahlan, yang pada usai 36 tahun mundur dari jabatan Pemred Jawa Pos.

Yang harus dilakukan, kata Dahlan, pers harus menambah kepemilikan saham untuk ikut terlibat aktif mengurusi negara. Sebab, selama ini peran mengurusi negara sudah didominasi parpol. ''Namun, kini porsi pengusaha yang akan ikut menanamkan saham mengurusi negara makin besar,'' tambah Dahlan, yang sempat menyatakan ingin mundur dari ketua umum Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) karena Margiono (direktur Jawa Pos) terpilih menjadi Ketum PWI Pusat. Namun, niat mundur Dahlan itu tidak diterima semua anggota SPS.

Dahlan juga berpendapat, pers memang tidak boleh memihak dan harus balance. Jika ketidakberpihakan dan mekanisme balancing itu justru memperlambat gerak pers dan mengancam fungsi kontrol secara cepat, lebih baik pers memihak saja.

''Untuk memberitakan pejabat yang korupsi, jika konfirmasi ke pejabat yang korupsi itu sulit, apa berita korupsi itu lantas tidak diturunkan hanya karena harus balace atau seimbang? Kan tidak seperti itu,'' katanya.(yun/iro)
[jawa pos,  Jum'at, 29 Agustus 2008 ]

28 Agustus 2008

Pers Nasional, Tujuan Kebebasan Media

Jakarta, Kompas - Tujuan kebebasan media massa saat ini perlu dipertanyakan. Setelah 10 tahun reformasi, pers yang seharusnya berperan menjadi salah satu pilar penegak demokrasi justru melemah fungsinya. Hal itu ditandai dengan berbagai penyimpangan, mulai dari keberpihakan hingga ketidakprofesionalan media.

Persoalan itu terungkap dalam sarasehan pers nasional bertemakan "Mempertahankan Roh Perjuangan Pers Nasional di Era Globalisasi" di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Kamis (28/8). Sarasehan itu diadakan Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dengan pembicara, antara lain, Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama, pemimpin Jawa Pos Group Dahlan Iskan, ahli komunikasi politik Tjipta Lesmana, pengamat militer Kiki Syahnakri, dan pengamat media Suradi.

Tjipta Lesmana menilai, saat ini pers cenderung kehilangan kekritisannya terhadap pemerintah. "Persoalan yang nyata adalah utang dalam negeri berupa surat utang negara yang mencapai Rp 4.400 triliun. Mana pers kita? Kok tidak mengkritisi," ujarnya.

Ia juga menyoroti kurangnya independensi media massa. Kadang pemberitaan atau penyiaran oleh pers cenderung bias. Bahkan, dia menemukan perumpamaan yang menjadi sindiran bagi media massa, yakni "jangan pernah menggigit tangan yang telah memberi makan kepada Anda".

Menurut Jakob Oetama, teori freedom from (bebas dari)-lah yang banyak dianut pers saat ini. Hal itu ditandai dengan keinginan kalangan pers bebas dari berbagai hal. Semangat "bebas dari" itu wajar terjadi dalam gegap gempita seusai berakhirnya Orde Baru. Namun, diakui masih ada celah yang mengganggu.

"Setelah pers mendapatkan kebebasan, pertanyaan selanjutnya adalah untuk apa kebebasan yang telah kita peroleh saat ini," ujar Jakob.

Perkembangan pun terjadi dan membuat pembaca serta pemirsa bertambah cerdas. Sebab itu, media massa seharusnya tidak hanya menyajikan hiburan, tetapi juga memberikan sesuatu yang bermutu, memberi alternatif, serta memperkaya sesuatu bagi khalayak. Hiburan bukan segala-galanya. "Hal yang bermutu dan laku bisa dipertentangkan. Laku belum tentu mutu, begitu juga sebaliknya," ujar Jakob.

Informasi yang disuguhkan juga tidak sekadar diinformasikan, tetapi juga dibingkai (frame). Frame yang menjadi perjuangan Indonesia.

Dahlan Iskan menambahkan, perjuangan seharusnya tidak hanya dilakukan pers. Masyarakat, pengusaha, bahkan partai politik mempunyai andil dalam perjuangan untuk mencapai kedewasaan demokrasi. (nit)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/29/00210358/tujuan.kebebasan.media

Friendster Serius Garap Indonesia

KOMPAS/AMIR SODIKIN / Kompas Images
David L Jones, Vice President Global Marketing Friendster, mau menggarap pasar pengakses internet di Indonesia.

Dengan hanya mengandalkan 65 pekerja, Friendster bisa menggenggam dunia. Sekarang Friendster atau FS telah menjadi properti web kesembilan terbesar di dunia.

Secara global, jumlah anggota situs pertemanan ini mencapai 75 juta dengan 57 juta pengunjung unik tiap bulan. Data itu berdasarkan comScore Media Metrik bulan Juni 2008. Salah satu penyumbang trafik FS ternyata datang dari Indonesia. Wuih....

Jadi, kalian sadar enggak sih kalau sebenarnya kalian sebagai abu-abuers benar-benar "tambang emas" bagi masa depan internet dunia? Dunia sedang melototin perilaku online kalian tuh, termasuk situs-situs apa saja yang sering kalian akses. Itu semua menjadi bahan diskusi serius yang akhirnya jadi kunci untuk menentukan strategi bisnis online.

Anehnya, yang sadar dan menganggap kalian sebagai "tambang emas" justru perusahaan-perusahaan luar Indonesia. Yup, banyak perusahaan besar di Indonesia belum yakin dengan potensi tambang online bangsanya sendiri.

Padahal, di mata dunia, kalian itu seksi. Maksudnya, potensi akses internet yang kalian lakukan itu benar-benar mengejutkan dan bisa mendatangkan pundi-pundi iklan. Siapa yang pintar menggarap potensi itu, dialah yang akan berkibar di dunia internet.

Salah satu yang serius melihat peluang itu adalah FS. Ini salah satu situs favorit kita kan? Hmm, apa ada di antara kita yang udah bosan dengan FS ya? Memang sih, FS usianya udah lumayan tua (diluncurkan 2003). Itu sebabnya beberapa orang mulai berpaling kepada situs-situs pertemanan lain, misalnya Facebook.

Tapi, ada yang unik lho dengan data pengunjung internet di Asia, khususnya di Filipina dan Indonesia. Di Asia, minat terhadap FS tetap tinggi. Bahkan, di Indonesia masih banyak di antara kita yang baru paham soal FS. Ini ditandai dengan terus meningkatnya anggota baru FS di Indonesia.

Dua kali lipat

Di Asia, pengunjung FS dua kali lipat dibandingkan dengan situs pertemanan lainnya. Jika FS memiliki 33 juta pengunjung unik per bulan di Asia, Facebook memiliki 21 juta, Multiply sebanyak 16 juta, gabungan MySpace.com dan MySpace.cn hanya 16 juta, CyWorld (Korea) 15 juta, Hi5 14 juta, Orkut 14 juta, Mixi (Jepang) 13 juta, 51.com (China) 9 juta, Xiaonei (China) 6 juta, serta Bebo 4 juta pengunjung unik per bulan.

Dalam sehari, masih ada 100.000 registrasi baru di Friendster atau satu registrasi per detik. Dari total anggota Friendster di seluruh dunia yang 75 juta itu, sekitar 12 juta di antaranya berasal dari Indonesia dan jumlah ini pun terus bertambah.

Oleh karena ulah kita yang keranjingan FS itu, beberapa hari lalu sampai-sampai salah satu bos FS, tepatnya Vice President Global Marketing Friendster David Jones datang ke Indonesia.

"Ini kedua kalinya saya datang ke Indonesia," kata Jones kepada Kompas MuDA.

Kedatangan pertama ia adalah beberapa bulan lalu untuk memperkenalkan FS edisi bahasa Indonesia. Kedatangan kedua, peluncuran mobile Friendster (m.friendster.com) yang bisa diakses melalui telepon seluler. Yup, kita sekarang bisa terus terhubung dengan FS. Caranya, dengan memanfaatkan akses internet di ponsel kamu.

"Istimewanya, bahasa Indonesia di Friendster adalah bahasa tambahan pertama yang kami buat selain bahasa Inggris," kata Jones.

Wuih... tuh kita boleh ge-er dong. Bukan bahasa China atau bahasa orang di Malaysia atau bahasa mereka di Filipina yang pertama kali diperhatikan FS, melainkan bahasa Indonesia karena kita penyumbang besar hits FS.

Data cukup mengejutkan itu menunjukkan, sekarang ini pengakses FS dari Asia paling banyak justru dari Indonesia setelah sebelumnya dipegang Filipina. Hmm, siapa lagi kalau bukan karena kita-kita ini yang betah nongkrongin FS.

"Bulan-bulan lalu, pengakses tertinggi dari Filipina sekarang mulai dari Indonesia," kata Jones.

Jones yakin, masa depan bisnis internet Indonesia sangat cerah. "Sangat fantastis. Kami yakin bisnis ini cerah di masa depan," ujarnya.

Bukan tidak mungkin, FS akan membuka kantornya di Indonesia untuk menggarap industri online Indonesia. Saat ini FS membuka lowongan tim pemasaran untuk menggarap fitur Fan Profiles dari FS. Wah, serius sekali!

Band, penyanyi, dan selebriti Indonesia akan dimaksimalkan untuk terus update informasi mereka di FS. Dari data FS, beberapa artis sudah memanfaatkannya.

Contohnya, Sandra Dewi (http://profiles.friendster.com/ 36882162) dengan 108.213 fans, Afgansyah Reza (http://profiles.friendster.com/afganfans) dengan 96.591 fans, RAN Band (http://profiles.friendster.com/ rfyl) dengan 69.067 fans, pesinetron Putri Titian (http://profiles.friendster.com/putrilibragirls) dengan 65.231 fans, dan Maliq and D'Essentials Band (http:// profiles.friendster.com/musicofmaliq ) dengan 56.297 fans. Data angka itu berdasarkan akses sampai Rabu (27/8).

Makin meraksasa

Walaupun sudah dianggap "veteran", dalam lima bulan terakhir, posisi FS meningkat dari posisi ke-12 ke posisi kesembilan. Posisi ini melampaui Cyworld (jaringan sosial di Korea), NHN Corporation (operator Naver, Web portal terbesar di Korea), Hi5 (jaringan sosial utama yang digunakan di Amerika Tengah/Selatan dan Eropa di luar Eropa Barat).

Pengguna FS dikenal loyal. Itulah yang membuat peringkat FS tinggi dalam kategori situs jaringan sosial yang paling sosial dan paling lama diakses. Pengguna rata-rata menghabiskan 215 menit per bulan di FS, bandingkan dengan Facebook yang hanya 184 menit, MySpace 157 menit, dan Hi5 103 menit. (comScore Media Metrik bulan Juni 2008).

Di Indonesia, loyalitas penggunanya sulit digoyahkan situs pertemanan lain. Uniknya, pengguna FS termasuk netral (tidak terlalu fanatik) posisinya dibandingkan dengan pengguna situs pertemanan lain, misalnya Blogger atau Multiply. Artinya, pengguna FS jarang berantem dengan blogger atau mp'ers.

Walau banyak yang memiliki "mainan" lain, seperti Blogger.com dan Multiply.com, kebanyakan masih "stay tune" di FS. Itu terjadi karena FS "melayani" dan menemani penggunanya di semua tahapan kehidupan, mulai dari kelahiran, jadi pengantin, punya anak, hingga peristiwa kematian.

Pengguna dari Indonesia ternyata juga menduduki nomor satu dunia untuk pengakses m.friendster.com. Ini benar-benar cerita mencengangkan karena selama ini kita menganggap kiblat aktivitas mobile itu ada di Korea dan China. Tentu saja ini pasar yang menggiurkan.

"Hanya dalam waktu satu bulan sejak diluncurkan, m.friendster.com tumbuh pesat dan populer di Asia, khususnya di Indonesia," kata Jones.

FS di Indonesia juga sudah dilengkapi text alerts yang memungkinkan pengguna mendapatkan pesan pendek (SMS) untuk tiap perubahan di akun FS.

Dengan lebih dari satu miliar pageview per bulan, mobile FS telah menjadi situs mobile terbesar di dunia berdasarkan trafik. Ingat, negara penyumbang trafik terbesar itu adalah INDONESIA! Selamat buat Friendster, siapa lagi yang akan menyusul menggarap Indonesia? (Amir Sodikin)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/29/02595691/friendster.serius.garap.indonesia

27 Agustus 2008

Stop Pemberedelan Gaya Baru! (Opini Agus Sudibyo)

Kamis 3 Juli 2008, sejarah digariskan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Jaksel). Gugatan perdata PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) atas Koran Tempo dalam kasus pencemaran nama baik dikabulkan. Melalui vonis itu, majelis hakim menghukum Koran Tempo untuk membayar ganti rugi Rp 220 juta, memuat hak jawab dan hak koreksi, menyatakan penyesalan, mencabut berita serta menyampaikan permohonan maaf di sebelas media cetak dan elektronik selama tujuh hari berturut-turut.

Kasus tersebut hendaknya ditempatkan sebagai masalah kebebasan pers Indonesia secara lebih luas. Apalagi, kita juga sedang menunggu vonis PN Jakarta Pusat atas gugatan pencemaran nama baik terhadap majalah Tempo oleh PT Asian Agri Group pada 4 September 2008.

Meski tidak menghentikan penerbitan media secara langsung, vonis PN Jakarta Selatan itu cukup efektif untuk membunuh eksistensi media. Ganti rugi Rp 220 juta bukan jumlah yang kecil. Kewajiban menyampaikan permohonan maaf di media berarti kewajiban memasang iklan permohonan maaf.

Bisa dibayangkan, berapa harga untuk memasang iklan permohonan maaf di sebelas media cetak dan elektronik selama tujuh hari berturut-turut? Lebih dari Rp 5 miliar! Di tengah lesunya bisnis media, di tengah rendahnya daya beli masyarakat, di tengah tingginya harga kertas dan biaya produksi saat ini, harga sebesar itu sangat memberatkan. Dampaknya bisa membunuh kelangsungan hidup media.

***

PN Jakarta Selatan juga tidak mempertimbangkan, media massa bukan hanya institusi ekonomi, tapi juga institusi sosial yang menjalankan kontrol terhadap penyelenggaraan kekuasaan. Media massa menjalankan fungsi alarm sosial: memberikan sinyal kepada masyarakat akan terjadinya penyimpangan: korupsi, penggelapan pajak, pembalakan liar, dan lain-lain.

Majelis hakim menafikan bahwa informasi-informasi tentang pembalakan liar dan korupsi harus segera diberitakan guna menghindarkan kerugian yang lebih besar pada kehidupan publik. Wartawan menulis berita, media memuat berita, tidak untuk kepentingan sendiri, tapi untuk memasok informasi, menyajikan diskursus sosial yang dibutuhkan masyarakat untuk secara rasional merespons realitas praktik pemerintahan.

Karena itu, sejauh pokok persengketaan adalah pemberitaan, pemidanaan dan pembungkaman terhadap institusi atau individu media tidak bisa dibenarkan. Sejauh berkaitan dengan produk jurnalistik, penegak hukum semestinya menjatuhkan vonis hukum yang tidak menyebabkan media berhenti beroperasi atau kehilangan keseimbangan dalam menjalankan fungsi kontrol. Jika pokok persengketaan di luar pemberitaan, institusi dan individu media diperlakukan sama dengan hamba hukum yang lain.

Apakah dengan demikian kesalahan jurnalistik tidak bisa dihukum? Bisa. UU Pers No 40/1999 telah mewadahi dan mengatur masalah tersebut. Persoalannya, vonis PN Jaksel mengabaikan mekanisme dalam (pasal 15) UU Pers, yakni Dewan Pers bertugas memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian sengketa pemberitaan pers.

Tidak jelas pula apakah PN Jaksel dalam memutus perkara merujuk pada UU Pers atau KUH Perdata. Jika benar UU Pers yang menjadi dasar, UU Pers hanya mengatur ketentuan denda, tidak mengatur kewajiban permohonan maaf, pencabutan berita, dan pernyataan penyesalan sebagaimana dijatuhkan kepada Koran Tempo.

***

Vonis PN Jakarta Selatan hendaknya dilihat sebagai masalah serius bagi kebebasan pers di Indonesia. Inilah model baru pemberedelan terhadap media, yang mungkin akan menjadi tren untuk membungkam media-media kritis dan independen. Hari ini Koran Tempo menjadi korban ketidakpahaman lembaga peradilan terhadap fungsi-fungsi sosial media dan kedudukan UU Pers No 40/1999. Namun, sangat mungkin hal yang sama akan menimpa media lain.

Di negeri ini, Koran Tempo jelas bukan satu-satunya media yang kritis dan independen. Sejak Reformasi 1998, kritisisme dan independensi adalah keutamaan credo seluruh institusi dan insan pers Indonesia.

Vonis PN Jakarta Selatan itu juga bukan murni problem kebebasan pers, tapi problem demokrasi secara lebih luas. Jika pers dibungkam lembaga peradilan, jika independensi media ditundukkan dependensi hukum terhadap partikularitas kepentingan eksternal, yang menderita bukan komunitas media semata. Unsur-unsur masyarakat akan kehilangan ruang publik yang selama ini memfasilitasi mereka untuk secara egaliter berinteraksi dengan kekuasaan.

Ruang publik media adalah medium kritik, evaluasi, dan diskusi yang selama ini tidak kalah efektif, bahkan sering lebih efektif daripada persidangan DPR, rapat-rapat kabinet dalam membicarakan dan memecahkan masalah-masalah publik.

Pemberedelan gaya baru harus dihentikan. Segenap unsur demokrasi di Indonesia harus memperhatikan benar proses banding Koran Tempo terhadap putusan PN Jakarta Selatan tersebut. Tidak kalah penting adalah vonis yang hendak diputus PN Jakarta Pusat terhadap majalah Tempo minggu depan, sekaligus signifikansinya bagi iklim kebebasan pers dan demokratisasi secara lebih luas.

---

Agus Sudibyo, deputi direktur Yayasan SET (Sains, Estetika, dan Teknologi) di Jakarta
http://www.jawapos.com/ 27-08-08

25 Agustus 2008

Pers Profesional Sulit Dipidana

Foto-foto: SP/Siprianus Edi HardumAmir Syamsuddin

Sampai saat ini masih terjadi silang pendapat mengenai UU 40/1999 tentang Pers. Sebagian mengatakan, UU Pers bukanlah lex specialis. Karena itu, kalau pers (wartawan) diduga bersalah harus diadili. Selain menggunakan UU Pers, juga Kitab hukum UU Pidana (KUHP). Artinya, pers bisa saja dipenjara kalau pemberitaannya tidak benar.

Namun, sebagian lagi, terutama kalangan pers, mengatakan UU Pers adalah lex specialis. Kalau pers diduga bersalah, dia hanya diadili dengan UU Pers, dan wartawan tidak boleh dipidana terkait pemberitaan.

Silang pendapat itu sejak lama menjadi perhatian pengacara papan atas Amir Syamsuddin. Amir membahasnya secara khusus dalam disertasi untuk meraih gelar doktor di Universitas Indonesia belum lama ini. Ia menyatakan, UU Pers bukanlah lex specialis. Karena itu, pers bisa dipidana.

Di sela-sela kesibukannya, Amir Syamsuddin menerima SP berbincang-bincang di kantornya di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, 12 Agustus lalu. Berikut petikan wawancaranya.

Bagaimana Anda melihat fungsi pers?

Fungsi pers sangat penting, seperti memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi. Karena sedemikian pentingnya, masalah-masalah yang dihadapi oleh pers tidak bisa eksklusif menjadi milik masyarakat pers sendiri, tetapi menjadi milik dari seluruh masyarakat. Masalah yang dihadapi pers itu adalah permasalahan seluruh masyarakat.

Dalam disertasi, Anda mengatakan, fungsi pers itu ada yang membuat orang terluka, ada yang membuat senang, bahkan menguntungkan?

Dalam menjalankan fungsi dan peranannya, pers memang kadang kala tidak berpegang teguh pada satu patokan, kriteria, dan persyaratan. Terbuka peluang yang besar pers bisa saja melukai anggota masyarakat. Tetapi, kalau dia menjalankan fungsi dan peranannya sesuai dengan patokan, kriteria, dan persyaratan, peluang untuk melukai tidak ada. Untuk melakukan apa yang dikenal sebagai niat jahat untuk melukai, itu akan sangat jauh kalau dia menjalankan fungsi dengan berpegang pada patokan, kriteria, dan sejumlah persyaratan.

Ada yang mengatakan fungsi pers Reformasi terlalu kebablasan?

Ya, sebetulnya kebablasan. Kita pernah mengalami satu era pemerintahan yang serba-mengendalikan. Kemudian, kita memasuki satu era kebebasan. Saya kira keba- blasan itu, ya, pengecualian dari beberapa pribadi jurnalis, perusahaan pers, penerbitan, atau apa pun namanya itu. Sekarang ini, penerbitan kan macam-macam, bisa tabloid, bisa harian. Soal kebablasan itu, saya kira, kembali karena kurangnya patokan, kriteria, dan persyaratan. Semua itu tidak dikuasai dengan baik.

Maksud Anda dengan kriteria?

Pers dalam menyampaikan informasi, ada kaitannya dengan memihak masyarakat. Kalau saya berbicara kriteria, pers itu harus berbicara mengenai kepentingan umum.

Kepentingan umum dalam pers, dapat ditafsirkan sebagai kepentingan dalam pemberitaan yang bertujuan dan bermanfaat bagi publik yang harus berisikan kebenaran, kualitas (profesional), kejujuran, objektivitas (keakuratan), ketidakberpihakan, keseimbangan, dan keterjangkauan.

Dengan memenuhi kriteria dan persyaratan di atas, sebuah pemberitaan pers jelas-jelas telah menjalankan fungsi dan perannya sebagai lembaga sosial dan ekonomi menurut aturan yang berlaku. Pemberitaan yang memenuhi semua persyaratan di atas, merupakan penjelmaan dari penerapan prinsip-prinsip kemerdekaan pers yang bertanggung jawab.

Kepentingan umum tidak dapat diwakili oleh pers apabila pemberitaannya yang dilakukan tidak jujur, tidak objektif, serta tidak profesional. Kepentingan umum tidak dapat diwakili oleh pers apabila pemberitaan pers telah memihak kelompok tertentu dan tidak seimbang.

Kepentingan umum tidak dapat diwakili pers, apabila pemberitaan pers tidak dijangkau secara luas oleh masyarakat. Kepentingan umum tidak dapat diwakili pers apabila pemberitaan pers tidak benar, berisikan kebohongan, ataupun tipu muslihat. Kepentingan umum tidak dapat diwakili pers jikalau pemberitaan pers itu tidak berkualitas. Artinya, tidak sesuai dengan amanat UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan Kode Etik Wartawan Indonesia.

Pada zaman Reformasi ini banyak jurnalis dihadapkan ke pengadilan. Kenapa?

Kalau kita perhatikan, pers-pers yang profesional pada umumnya tidak mudah bagi mereka dibawa ke pengadilan. Mereka tahu, mana berita yang membela kepentingan umum, mana yang tidak. Pers yang profesional menjalankan tugasnya secara profesional, menggali informasi, melakukan investigasi.
Kenapa pers sering digugat? Karena kita harus menyadari, pers yang profesional di negara kita belum mudah kita temukan. Kepentingan-kepentingan masih bisa menggunakan pers. Persaingan antara dua kekuatan pengusaha, misalnya, kadang-kadang bisa dengan segala cara mencoba menggunakan pers untuk menyuarakan kepentingannya. Sambut-menyambut kadang-kadang.

Tidak usah heran kalau grup pengusaha, umpamanya, melakukan satu action, bukan saja melalui hanya iklan, bahkan opini yang disajikan oleh media itu sendiri, kelihatan, silih berganti. Tapi, jangan lupa, ada juga faktor eksternal yang harus kita sadari.

Apa itu?

Kondisi peradilan kita yang memprihatinkan. Sudah menjadi pengetahuan umum, orang yang mempunyai ekonomi kuat mempunyai kecenderungan menang apabila berperkara di pengadilan.

Dalam disertasi, Anda juga mengatakan UU Pers harus direvisi. Kenapa?

Karena sudah terjadi pro dan kontra. Di satu sisi masyarakat selalu mengatakan UU 40/1949 itu lex specialis, sementara ahli pidana pada umumnya menganggap tidak. Masing-masing mempertahankan pendapatnya.

Saya meminta pemerintah dan DPR merevisi UU Pers, agar mencantumkan kriteria yang jelas tentang kepentingan umum di dalam penjelasan umum UU tersebut, dan mencantumkan kepentingan umum sebagai alasan penghapus pidana dalam ketentuan pidananya. Sebelum UU Pers direvisi, lembaga yang berwenang, seperti Mahkamah Agung (MA) dan Dewan Pers, perlu menetapkan kriteria kepentingan umum dalam pers agar bisa membantu masyarakat dan lembaga pers untuk terlepas dari hukuman pidana.

Saya meminta pemerintah dan DPR agar merevisi KUHP, khususnya yang berkaitan dengan delik penghinaan lainnya di luar Pasal 310 KUHP, sehingga dapat menggunakan konsep kepentingan umum sebagai alasan penghapus pidana. Revisi juga berkaitan dengan hukuman badan diganti hukuman denda bagi pers.

Pemerintah dan DPR juga harus melakukan revisi UU lain yang berkaitan dengan pers, seperti UU Internet, UU Informasi dan Teknologi, UU Penyiaran, dan sebagainya. Jangan sampai pers tidak dilindungi dalam menjalankan tugas dan perannya demi kepentingan umum.

Pasal 310 ayat (3) KUHP berbunyi, "Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan terang dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk bela diri". Doktrin dan yurisprudensi menyatakan, kepentingan umum dalam Pasal 310 Ayat (3) KUHP tersebut adalah alasan penghapus pidana. Namun, baik doktrin dan yurisprudensi, maupun penjelasan Pasal 310 Ayat (3) KUHP, tidak memberikan kriteria kepentingan umum seperti apa yang dapat dijadikan alasan penghapus pidana.

Konsep kepentingan umum dalam Pasal 310 Ayat (3) KUHP sering dijadikan sebagai unsur yang harus dibuktikan dalam persidangan kasus, baik oleh praktisi hukum maupun oleh hakim. Adapun kepentingan umum dalam Pasal 310 Ayat (3) menurut doktrin berfungsi sebagai alasan penghapus pidana yang masuk dalam kategori alasan pembenar, karena alasan berasal dari luar pelaku.

Dengan demikian, adanya kepentingan umum menjadikan perbuatan pencemaran yang tadinya telah terbukti, menjadi hilang sifat melawan hukumnya, karena dilakukan demi kepentingan umum. Dalam kenyataannya, tidak ada penjelasan secara detail mengenai kriteria kepentingan umum, seperti yang dapat dijadikan sebagai alasan penghapus atau pembelaan bagi pers.

Kepentingan umum, secara umum diartikan sebagai kepentingan orang banyak. Kepentingan umum dilaksanakan dalam sarana/prasarana/kegiatan, yang bertujuan dan bermanfaat bagi publik. Kepentingan umum dalam kaitan dengan kegiatan pers, memiliki beberapa patokan, yaitu patokan keterlibatan publik, patokan kebenaran yang dalam hal ini disebut kebenaran jurnalistik, yang artinya pemberitaan pers harus jujur, objektif, dan sesuai dengan fakta yang diterima.

Selain itu, patokan kewajiban dan kepantasan. Artinya, pemberitaan pers harus menggunakan kata-kata yang pantas dan wajar, tidak dibuat-buat, dan berlebihan. Lalu, patokan keseimbangan. Artinya, pemberitaan tidak diskriminatif, tidak berpihak, dan tidak provokatif.

Yang lain lagi adalah patokan kualitas dan profesionalitas menurut teknik-teknik jurnalistik yang benar. Kemudian, patokan keterjangkauan, yang artinya pemberitaan pers harus memiliki jangkauan yang luas kepada seluruh masyarakat Indonesia.

Patokan-patokan kepentingan umum dalam pers tersebut diperoleh dari Ketentuan UU Pers, Kode Etik Jurnalistik/Kode Etik Wartawan Indonesia, dan Ilmu Jurnalistik. UU Pers tidak memiliki materi dan objek yang sama dengan KUHP, karena UU Pers tidak mengatur perilaku seorang jurnalis, tetapi hanya mengatur tentang fungsi, peran, dan organisasi pers.

Pasal 310 KUHP adalah pasal pencemaran yang sering digunakan untuk melakukan tuntutan pidana terhadap pers. Pasal penghinaan ini diatur dalam KUHP, tetapi tidak diatur dalam UU Pers, sehingga UU Pers tidak diberlakukan secara khusus untuk KUHP.

Karena itu, UU Pers bukan ketentuan khusus dari KUHP, sehingga tidak berlaku asas lex specialis derogate legit generally. Hakim dan pengadilan tidak boleh menggunakan asas ini dalam menyelesaikan kasus-kasus pers atau kasus yang berkaitan dengan pers, karena bertentangan dengan hukum.

Dengan adanya konsep "kepentingan umum" Pasal 310 Ayat (3) KUHP yang dapat ditafsirkan sebagai alasan penghapus pidana dan bagian dari pembelaan diri, maka seorang terdakwa pencemaran nama baik selain dapat menggunakan konsep "kepentingan umum" untuk dapat bebas dari hukuman sebagai alasan penghapus pidana, juga dapat menggunakan konsep kepentingan umum sebagai pembelaan dirinya.

Hal itu dimungkinkan karena adanya berbagai kepentingan hukum yang ada dalam masyarakat, sehingga apabila terjadi konflik kepentingan, khususnya kepentingan hukum dan kehidupan hukum, maka konsep "kepentingan umum" dapat digunakan sebagai salah bagian dari pembelaan diri.

KUHP mengatur tentang konsep kepentingan umum sebagai alasan penghapus pidana bagi kegiatan pers, sehingga KUHP berpihak kepada kemerdekaan pers. Karena itu, penyelesaian kasus pers melalui mekanisme peradilan pidana, merupakan pilihan alternatif yang universal. Jadi, tidak ada alasan bagi masyarakat pers untuk menyatakan penggunaan KUHP adalah kriminalisasi pers.

Keberadaan konsep kepentingan umum ini sangat bermanfaat bagi pers untuk melindungi pemberitaan yang diberikan sekali pun harus mencemarkan nama baik orang lain demi tujuan dan manfaat publik. Ini artinya kepentingan umum dikabulkan dari kepentingan pribadi, kemerdekaan pers dikabulkan daripada kemerdekaan individual. Adanya pemberian sewenang-wenang kepada pengadilan, dalam hal ini hakim, untuk menguji kasus-kasus yang berkaitan dengan kepentingan umum, merupakan pengejawantahan dari penyelesaian kasus pers yang erat kaitannya dengan perlindungan hak publik di suatu pihak dan perorangan di lain pihak.

Pers, selain sebagai lembaga sosial juga lembaga modal (ekonomi). Bagaimana pendapat Anda?

Pers profesional tidak bisa didikte oleh siapa pun, termasuk pemodal sekalipun. Namun, pers Indonesia tidak semuanya profesional. Di Indonesia ini ada fenomena, orang yang secara ekonomi kuat, ingin juga menguasai pers/media. Jadi harus berhati-hati.

PEWAWANCARA: SIPRIANUS EDI HARDUM

Bangun Lembaga Perlindungan Wartawan

Amir Syamsuddin, kelahiran Makassar, Sulawesi Selatan, menyelesaikan pendidikan SD, SMP, dan SMA-nya di kota kelahiran itu. Setelah lulus SMA, ia bekerja di perusahaan kayu milik keluarga.

Karena melihat banyak ketidakadilan yang terjadi dalam masyarakat, Amir tertarik menjadi pengacara. Tekadnya menjadi pengacara semakin menjadi-jadi, ketika ia menonton film AS yang menayangkan kehebatan pengacara AS dalam membela orang yang diperlakukan tidak adil.

Karena itu, ia mengikuti kuliah Ilmu Hukum di Universitas Indonesia (UI) program ekstensi. Lulus dari UI pada tahun 1983, ia bergabung di kantor advokat OC Kaligis untuk menjadi pengacara. Dalam perjalanan waktu, ia mendirikan kantor pengacara sendiri.

Di tengah-tengah kesibukan menjalankan profesi sebagai pengacara, pria yang hobi membaca dan berolahraga ini, menempuh pendidikan S2 Ilmu Hukum di UI. Ia juga terus menempuh S3 di kampus yang sama, dengan spesialisasi Ilmu Hukum Pidana.

Disertasinya yang berjudul, Tinjauan Yuridis Konsep Kepentingan Umum Menurut Pasal 310 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia sebagai Alasan Penghapus Pidana dalam Kegiatan Pers, dipertanggungjawabkan Amir di depan sejumlah penguji pada, Senin, 21 Juli lalu.

Berdasarkan penilaian tim penguji, disertasi Amir itu mendapatkan nilai memuaskan. Dekan Fakultas Hukum UI, Hikmahanto Juwana, yang memimpin acara promosi doktor itu, mengatakan, Amir Syamsuddin merupakan

doktor ke-139 yang dihasilkan UI, dan pada tahun 2008, Amir merupakan doktor kelima.

Amir mengatakan, dalam waktu dekat akan mendirikan Amir Syamsuddin Institute, yakni lembaga yang memberikan konsultasi kepada wartawan yang mendapatkan permasalahan terkait pemberitaan. "Siapa pun wartawan yang datang ke lembaga ini, akan mendapatkan konsultasi secara gratis," kata Amir. [E-8]

http://www.suarapembaruan.com/News/2008/08/24/index.html