25 Agustus 2008

Pers Profesional Sulit Dipidana

Foto-foto: SP/Siprianus Edi HardumAmir Syamsuddin

Sampai saat ini masih terjadi silang pendapat mengenai UU 40/1999 tentang Pers. Sebagian mengatakan, UU Pers bukanlah lex specialis. Karena itu, kalau pers (wartawan) diduga bersalah harus diadili. Selain menggunakan UU Pers, juga Kitab hukum UU Pidana (KUHP). Artinya, pers bisa saja dipenjara kalau pemberitaannya tidak benar.

Namun, sebagian lagi, terutama kalangan pers, mengatakan UU Pers adalah lex specialis. Kalau pers diduga bersalah, dia hanya diadili dengan UU Pers, dan wartawan tidak boleh dipidana terkait pemberitaan.

Silang pendapat itu sejak lama menjadi perhatian pengacara papan atas Amir Syamsuddin. Amir membahasnya secara khusus dalam disertasi untuk meraih gelar doktor di Universitas Indonesia belum lama ini. Ia menyatakan, UU Pers bukanlah lex specialis. Karena itu, pers bisa dipidana.

Di sela-sela kesibukannya, Amir Syamsuddin menerima SP berbincang-bincang di kantornya di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, 12 Agustus lalu. Berikut petikan wawancaranya.

Bagaimana Anda melihat fungsi pers?

Fungsi pers sangat penting, seperti memenuhi hak masyarakat untuk mendapatkan informasi. Karena sedemikian pentingnya, masalah-masalah yang dihadapi oleh pers tidak bisa eksklusif menjadi milik masyarakat pers sendiri, tetapi menjadi milik dari seluruh masyarakat. Masalah yang dihadapi pers itu adalah permasalahan seluruh masyarakat.

Dalam disertasi, Anda mengatakan, fungsi pers itu ada yang membuat orang terluka, ada yang membuat senang, bahkan menguntungkan?

Dalam menjalankan fungsi dan peranannya, pers memang kadang kala tidak berpegang teguh pada satu patokan, kriteria, dan persyaratan. Terbuka peluang yang besar pers bisa saja melukai anggota masyarakat. Tetapi, kalau dia menjalankan fungsi dan peranannya sesuai dengan patokan, kriteria, dan persyaratan, peluang untuk melukai tidak ada. Untuk melakukan apa yang dikenal sebagai niat jahat untuk melukai, itu akan sangat jauh kalau dia menjalankan fungsi dengan berpegang pada patokan, kriteria, dan sejumlah persyaratan.

Ada yang mengatakan fungsi pers Reformasi terlalu kebablasan?

Ya, sebetulnya kebablasan. Kita pernah mengalami satu era pemerintahan yang serba-mengendalikan. Kemudian, kita memasuki satu era kebebasan. Saya kira keba- blasan itu, ya, pengecualian dari beberapa pribadi jurnalis, perusahaan pers, penerbitan, atau apa pun namanya itu. Sekarang ini, penerbitan kan macam-macam, bisa tabloid, bisa harian. Soal kebablasan itu, saya kira, kembali karena kurangnya patokan, kriteria, dan persyaratan. Semua itu tidak dikuasai dengan baik.

Maksud Anda dengan kriteria?

Pers dalam menyampaikan informasi, ada kaitannya dengan memihak masyarakat. Kalau saya berbicara kriteria, pers itu harus berbicara mengenai kepentingan umum.

Kepentingan umum dalam pers, dapat ditafsirkan sebagai kepentingan dalam pemberitaan yang bertujuan dan bermanfaat bagi publik yang harus berisikan kebenaran, kualitas (profesional), kejujuran, objektivitas (keakuratan), ketidakberpihakan, keseimbangan, dan keterjangkauan.

Dengan memenuhi kriteria dan persyaratan di atas, sebuah pemberitaan pers jelas-jelas telah menjalankan fungsi dan perannya sebagai lembaga sosial dan ekonomi menurut aturan yang berlaku. Pemberitaan yang memenuhi semua persyaratan di atas, merupakan penjelmaan dari penerapan prinsip-prinsip kemerdekaan pers yang bertanggung jawab.

Kepentingan umum tidak dapat diwakili oleh pers apabila pemberitaannya yang dilakukan tidak jujur, tidak objektif, serta tidak profesional. Kepentingan umum tidak dapat diwakili oleh pers apabila pemberitaan pers telah memihak kelompok tertentu dan tidak seimbang.

Kepentingan umum tidak dapat diwakili pers, apabila pemberitaan pers tidak dijangkau secara luas oleh masyarakat. Kepentingan umum tidak dapat diwakili pers apabila pemberitaan pers tidak benar, berisikan kebohongan, ataupun tipu muslihat. Kepentingan umum tidak dapat diwakili pers jikalau pemberitaan pers itu tidak berkualitas. Artinya, tidak sesuai dengan amanat UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, dan Kode Etik Wartawan Indonesia.

Pada zaman Reformasi ini banyak jurnalis dihadapkan ke pengadilan. Kenapa?

Kalau kita perhatikan, pers-pers yang profesional pada umumnya tidak mudah bagi mereka dibawa ke pengadilan. Mereka tahu, mana berita yang membela kepentingan umum, mana yang tidak. Pers yang profesional menjalankan tugasnya secara profesional, menggali informasi, melakukan investigasi.
Kenapa pers sering digugat? Karena kita harus menyadari, pers yang profesional di negara kita belum mudah kita temukan. Kepentingan-kepentingan masih bisa menggunakan pers. Persaingan antara dua kekuatan pengusaha, misalnya, kadang-kadang bisa dengan segala cara mencoba menggunakan pers untuk menyuarakan kepentingannya. Sambut-menyambut kadang-kadang.

Tidak usah heran kalau grup pengusaha, umpamanya, melakukan satu action, bukan saja melalui hanya iklan, bahkan opini yang disajikan oleh media itu sendiri, kelihatan, silih berganti. Tapi, jangan lupa, ada juga faktor eksternal yang harus kita sadari.

Apa itu?

Kondisi peradilan kita yang memprihatinkan. Sudah menjadi pengetahuan umum, orang yang mempunyai ekonomi kuat mempunyai kecenderungan menang apabila berperkara di pengadilan.

Dalam disertasi, Anda juga mengatakan UU Pers harus direvisi. Kenapa?

Karena sudah terjadi pro dan kontra. Di satu sisi masyarakat selalu mengatakan UU 40/1949 itu lex specialis, sementara ahli pidana pada umumnya menganggap tidak. Masing-masing mempertahankan pendapatnya.

Saya meminta pemerintah dan DPR merevisi UU Pers, agar mencantumkan kriteria yang jelas tentang kepentingan umum di dalam penjelasan umum UU tersebut, dan mencantumkan kepentingan umum sebagai alasan penghapus pidana dalam ketentuan pidananya. Sebelum UU Pers direvisi, lembaga yang berwenang, seperti Mahkamah Agung (MA) dan Dewan Pers, perlu menetapkan kriteria kepentingan umum dalam pers agar bisa membantu masyarakat dan lembaga pers untuk terlepas dari hukuman pidana.

Saya meminta pemerintah dan DPR agar merevisi KUHP, khususnya yang berkaitan dengan delik penghinaan lainnya di luar Pasal 310 KUHP, sehingga dapat menggunakan konsep kepentingan umum sebagai alasan penghapus pidana. Revisi juga berkaitan dengan hukuman badan diganti hukuman denda bagi pers.

Pemerintah dan DPR juga harus melakukan revisi UU lain yang berkaitan dengan pers, seperti UU Internet, UU Informasi dan Teknologi, UU Penyiaran, dan sebagainya. Jangan sampai pers tidak dilindungi dalam menjalankan tugas dan perannya demi kepentingan umum.

Pasal 310 ayat (3) KUHP berbunyi, "Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan terang dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk bela diri". Doktrin dan yurisprudensi menyatakan, kepentingan umum dalam Pasal 310 Ayat (3) KUHP tersebut adalah alasan penghapus pidana. Namun, baik doktrin dan yurisprudensi, maupun penjelasan Pasal 310 Ayat (3) KUHP, tidak memberikan kriteria kepentingan umum seperti apa yang dapat dijadikan alasan penghapus pidana.

Konsep kepentingan umum dalam Pasal 310 Ayat (3) KUHP sering dijadikan sebagai unsur yang harus dibuktikan dalam persidangan kasus, baik oleh praktisi hukum maupun oleh hakim. Adapun kepentingan umum dalam Pasal 310 Ayat (3) menurut doktrin berfungsi sebagai alasan penghapus pidana yang masuk dalam kategori alasan pembenar, karena alasan berasal dari luar pelaku.

Dengan demikian, adanya kepentingan umum menjadikan perbuatan pencemaran yang tadinya telah terbukti, menjadi hilang sifat melawan hukumnya, karena dilakukan demi kepentingan umum. Dalam kenyataannya, tidak ada penjelasan secara detail mengenai kriteria kepentingan umum, seperti yang dapat dijadikan sebagai alasan penghapus atau pembelaan bagi pers.

Kepentingan umum, secara umum diartikan sebagai kepentingan orang banyak. Kepentingan umum dilaksanakan dalam sarana/prasarana/kegiatan, yang bertujuan dan bermanfaat bagi publik. Kepentingan umum dalam kaitan dengan kegiatan pers, memiliki beberapa patokan, yaitu patokan keterlibatan publik, patokan kebenaran yang dalam hal ini disebut kebenaran jurnalistik, yang artinya pemberitaan pers harus jujur, objektif, dan sesuai dengan fakta yang diterima.

Selain itu, patokan kewajiban dan kepantasan. Artinya, pemberitaan pers harus menggunakan kata-kata yang pantas dan wajar, tidak dibuat-buat, dan berlebihan. Lalu, patokan keseimbangan. Artinya, pemberitaan tidak diskriminatif, tidak berpihak, dan tidak provokatif.

Yang lain lagi adalah patokan kualitas dan profesionalitas menurut teknik-teknik jurnalistik yang benar. Kemudian, patokan keterjangkauan, yang artinya pemberitaan pers harus memiliki jangkauan yang luas kepada seluruh masyarakat Indonesia.

Patokan-patokan kepentingan umum dalam pers tersebut diperoleh dari Ketentuan UU Pers, Kode Etik Jurnalistik/Kode Etik Wartawan Indonesia, dan Ilmu Jurnalistik. UU Pers tidak memiliki materi dan objek yang sama dengan KUHP, karena UU Pers tidak mengatur perilaku seorang jurnalis, tetapi hanya mengatur tentang fungsi, peran, dan organisasi pers.

Pasal 310 KUHP adalah pasal pencemaran yang sering digunakan untuk melakukan tuntutan pidana terhadap pers. Pasal penghinaan ini diatur dalam KUHP, tetapi tidak diatur dalam UU Pers, sehingga UU Pers tidak diberlakukan secara khusus untuk KUHP.

Karena itu, UU Pers bukan ketentuan khusus dari KUHP, sehingga tidak berlaku asas lex specialis derogate legit generally. Hakim dan pengadilan tidak boleh menggunakan asas ini dalam menyelesaikan kasus-kasus pers atau kasus yang berkaitan dengan pers, karena bertentangan dengan hukum.

Dengan adanya konsep "kepentingan umum" Pasal 310 Ayat (3) KUHP yang dapat ditafsirkan sebagai alasan penghapus pidana dan bagian dari pembelaan diri, maka seorang terdakwa pencemaran nama baik selain dapat menggunakan konsep "kepentingan umum" untuk dapat bebas dari hukuman sebagai alasan penghapus pidana, juga dapat menggunakan konsep kepentingan umum sebagai pembelaan dirinya.

Hal itu dimungkinkan karena adanya berbagai kepentingan hukum yang ada dalam masyarakat, sehingga apabila terjadi konflik kepentingan, khususnya kepentingan hukum dan kehidupan hukum, maka konsep "kepentingan umum" dapat digunakan sebagai salah bagian dari pembelaan diri.

KUHP mengatur tentang konsep kepentingan umum sebagai alasan penghapus pidana bagi kegiatan pers, sehingga KUHP berpihak kepada kemerdekaan pers. Karena itu, penyelesaian kasus pers melalui mekanisme peradilan pidana, merupakan pilihan alternatif yang universal. Jadi, tidak ada alasan bagi masyarakat pers untuk menyatakan penggunaan KUHP adalah kriminalisasi pers.

Keberadaan konsep kepentingan umum ini sangat bermanfaat bagi pers untuk melindungi pemberitaan yang diberikan sekali pun harus mencemarkan nama baik orang lain demi tujuan dan manfaat publik. Ini artinya kepentingan umum dikabulkan dari kepentingan pribadi, kemerdekaan pers dikabulkan daripada kemerdekaan individual. Adanya pemberian sewenang-wenang kepada pengadilan, dalam hal ini hakim, untuk menguji kasus-kasus yang berkaitan dengan kepentingan umum, merupakan pengejawantahan dari penyelesaian kasus pers yang erat kaitannya dengan perlindungan hak publik di suatu pihak dan perorangan di lain pihak.

Pers, selain sebagai lembaga sosial juga lembaga modal (ekonomi). Bagaimana pendapat Anda?

Pers profesional tidak bisa didikte oleh siapa pun, termasuk pemodal sekalipun. Namun, pers Indonesia tidak semuanya profesional. Di Indonesia ini ada fenomena, orang yang secara ekonomi kuat, ingin juga menguasai pers/media. Jadi harus berhati-hati.

PEWAWANCARA: SIPRIANUS EDI HARDUM

Bangun Lembaga Perlindungan Wartawan

Amir Syamsuddin, kelahiran Makassar, Sulawesi Selatan, menyelesaikan pendidikan SD, SMP, dan SMA-nya di kota kelahiran itu. Setelah lulus SMA, ia bekerja di perusahaan kayu milik keluarga.

Karena melihat banyak ketidakadilan yang terjadi dalam masyarakat, Amir tertarik menjadi pengacara. Tekadnya menjadi pengacara semakin menjadi-jadi, ketika ia menonton film AS yang menayangkan kehebatan pengacara AS dalam membela orang yang diperlakukan tidak adil.

Karena itu, ia mengikuti kuliah Ilmu Hukum di Universitas Indonesia (UI) program ekstensi. Lulus dari UI pada tahun 1983, ia bergabung di kantor advokat OC Kaligis untuk menjadi pengacara. Dalam perjalanan waktu, ia mendirikan kantor pengacara sendiri.

Di tengah-tengah kesibukan menjalankan profesi sebagai pengacara, pria yang hobi membaca dan berolahraga ini, menempuh pendidikan S2 Ilmu Hukum di UI. Ia juga terus menempuh S3 di kampus yang sama, dengan spesialisasi Ilmu Hukum Pidana.

Disertasinya yang berjudul, Tinjauan Yuridis Konsep Kepentingan Umum Menurut Pasal 310 Ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia sebagai Alasan Penghapus Pidana dalam Kegiatan Pers, dipertanggungjawabkan Amir di depan sejumlah penguji pada, Senin, 21 Juli lalu.

Berdasarkan penilaian tim penguji, disertasi Amir itu mendapatkan nilai memuaskan. Dekan Fakultas Hukum UI, Hikmahanto Juwana, yang memimpin acara promosi doktor itu, mengatakan, Amir Syamsuddin merupakan

doktor ke-139 yang dihasilkan UI, dan pada tahun 2008, Amir merupakan doktor kelima.

Amir mengatakan, dalam waktu dekat akan mendirikan Amir Syamsuddin Institute, yakni lembaga yang memberikan konsultasi kepada wartawan yang mendapatkan permasalahan terkait pemberitaan. "Siapa pun wartawan yang datang ke lembaga ini, akan mendapatkan konsultasi secara gratis," kata Amir. [E-8]

http://www.suarapembaruan.com/News/2008/08/24/index.html

Tidak ada komentar: