27 Agustus 2008

Stop Pemberedelan Gaya Baru! (Opini Agus Sudibyo)

Kamis 3 Juli 2008, sejarah digariskan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (Jaksel). Gugatan perdata PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) atas Koran Tempo dalam kasus pencemaran nama baik dikabulkan. Melalui vonis itu, majelis hakim menghukum Koran Tempo untuk membayar ganti rugi Rp 220 juta, memuat hak jawab dan hak koreksi, menyatakan penyesalan, mencabut berita serta menyampaikan permohonan maaf di sebelas media cetak dan elektronik selama tujuh hari berturut-turut.

Kasus tersebut hendaknya ditempatkan sebagai masalah kebebasan pers Indonesia secara lebih luas. Apalagi, kita juga sedang menunggu vonis PN Jakarta Pusat atas gugatan pencemaran nama baik terhadap majalah Tempo oleh PT Asian Agri Group pada 4 September 2008.

Meski tidak menghentikan penerbitan media secara langsung, vonis PN Jakarta Selatan itu cukup efektif untuk membunuh eksistensi media. Ganti rugi Rp 220 juta bukan jumlah yang kecil. Kewajiban menyampaikan permohonan maaf di media berarti kewajiban memasang iklan permohonan maaf.

Bisa dibayangkan, berapa harga untuk memasang iklan permohonan maaf di sebelas media cetak dan elektronik selama tujuh hari berturut-turut? Lebih dari Rp 5 miliar! Di tengah lesunya bisnis media, di tengah rendahnya daya beli masyarakat, di tengah tingginya harga kertas dan biaya produksi saat ini, harga sebesar itu sangat memberatkan. Dampaknya bisa membunuh kelangsungan hidup media.

***

PN Jakarta Selatan juga tidak mempertimbangkan, media massa bukan hanya institusi ekonomi, tapi juga institusi sosial yang menjalankan kontrol terhadap penyelenggaraan kekuasaan. Media massa menjalankan fungsi alarm sosial: memberikan sinyal kepada masyarakat akan terjadinya penyimpangan: korupsi, penggelapan pajak, pembalakan liar, dan lain-lain.

Majelis hakim menafikan bahwa informasi-informasi tentang pembalakan liar dan korupsi harus segera diberitakan guna menghindarkan kerugian yang lebih besar pada kehidupan publik. Wartawan menulis berita, media memuat berita, tidak untuk kepentingan sendiri, tapi untuk memasok informasi, menyajikan diskursus sosial yang dibutuhkan masyarakat untuk secara rasional merespons realitas praktik pemerintahan.

Karena itu, sejauh pokok persengketaan adalah pemberitaan, pemidanaan dan pembungkaman terhadap institusi atau individu media tidak bisa dibenarkan. Sejauh berkaitan dengan produk jurnalistik, penegak hukum semestinya menjatuhkan vonis hukum yang tidak menyebabkan media berhenti beroperasi atau kehilangan keseimbangan dalam menjalankan fungsi kontrol. Jika pokok persengketaan di luar pemberitaan, institusi dan individu media diperlakukan sama dengan hamba hukum yang lain.

Apakah dengan demikian kesalahan jurnalistik tidak bisa dihukum? Bisa. UU Pers No 40/1999 telah mewadahi dan mengatur masalah tersebut. Persoalannya, vonis PN Jaksel mengabaikan mekanisme dalam (pasal 15) UU Pers, yakni Dewan Pers bertugas memberikan pertimbangan dan mengupayakan penyelesaian sengketa pemberitaan pers.

Tidak jelas pula apakah PN Jaksel dalam memutus perkara merujuk pada UU Pers atau KUH Perdata. Jika benar UU Pers yang menjadi dasar, UU Pers hanya mengatur ketentuan denda, tidak mengatur kewajiban permohonan maaf, pencabutan berita, dan pernyataan penyesalan sebagaimana dijatuhkan kepada Koran Tempo.

***

Vonis PN Jakarta Selatan hendaknya dilihat sebagai masalah serius bagi kebebasan pers di Indonesia. Inilah model baru pemberedelan terhadap media, yang mungkin akan menjadi tren untuk membungkam media-media kritis dan independen. Hari ini Koran Tempo menjadi korban ketidakpahaman lembaga peradilan terhadap fungsi-fungsi sosial media dan kedudukan UU Pers No 40/1999. Namun, sangat mungkin hal yang sama akan menimpa media lain.

Di negeri ini, Koran Tempo jelas bukan satu-satunya media yang kritis dan independen. Sejak Reformasi 1998, kritisisme dan independensi adalah keutamaan credo seluruh institusi dan insan pers Indonesia.

Vonis PN Jakarta Selatan itu juga bukan murni problem kebebasan pers, tapi problem demokrasi secara lebih luas. Jika pers dibungkam lembaga peradilan, jika independensi media ditundukkan dependensi hukum terhadap partikularitas kepentingan eksternal, yang menderita bukan komunitas media semata. Unsur-unsur masyarakat akan kehilangan ruang publik yang selama ini memfasilitasi mereka untuk secara egaliter berinteraksi dengan kekuasaan.

Ruang publik media adalah medium kritik, evaluasi, dan diskusi yang selama ini tidak kalah efektif, bahkan sering lebih efektif daripada persidangan DPR, rapat-rapat kabinet dalam membicarakan dan memecahkan masalah-masalah publik.

Pemberedelan gaya baru harus dihentikan. Segenap unsur demokrasi di Indonesia harus memperhatikan benar proses banding Koran Tempo terhadap putusan PN Jakarta Selatan tersebut. Tidak kalah penting adalah vonis yang hendak diputus PN Jakarta Pusat terhadap majalah Tempo minggu depan, sekaligus signifikansinya bagi iklim kebebasan pers dan demokratisasi secara lebih luas.

---

Agus Sudibyo, deputi direktur Yayasan SET (Sains, Estetika, dan Teknologi) di Jakarta
http://www.jawapos.com/ 27-08-08

Tidak ada komentar: