25 Agustus 2008

Rivalitas TV Jakarta v TV Lokal dalam Pilkada (Opini Surochiem Abdus Salam)

Rivalitas televisi Jakarta yang bersiaran nasional dengan TV lokal yang bersiaran terbatas dalam siaran pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung makin manifes dan berpotensi menjadi polemik berkepanjangan.

Kendati data pasti mengenai jumlah pilkada hingga kini masih simpang siur, catatan beberapa lembaga pemantau pemilu seperti Cetro dan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) menyebutkan angka 343 penyelenggaraan pilkada di Indonesia. Data Kompas (2008) menyebutkan bahwa hingga kini sudah berlangsung 323 pilkada.

Atas dasar data itu, jika dirata-rata, setidaknya dalam setiap hari ada penyelenggaraan pilkada di Indonesia. Momentum tersebut tentu potensial, strategis, dan mengiurkan dari sisi bisnis bagi lembaga penyiaran guna meningkatkan rating serta meraup keuntungan dari pendapatan iklan.

Selain pilkada, pada tahun depan ada momentum nasional, yakni pemilu legislatif dan pemilu presiden/wakil presiden, yang memberi peluang kampanye berlangsung sepanjang tahun.

Gawe politik itu, bagi lembaga penyiaran, juga menjadi ajang positioning untuk mengukuhkan diri sekaligus menunjukkan dominasi stasiun TV dalam penyiaran pilkada di Indonesia.

Fenomena kompetisi tersebut sudah bisa kita rasakan saat ini. Setidaknya, hingga saat ini telah ada 2 (dua) TV Jakarta yang telah menahbiskan diri sebagai TV saluran pemilu langsung, yaitu TV One dan Metro TV. TV One muncul dengan branding TV Pemilu dan Metro TV dengan branding The Election Channel.

Dalam penyiaran pilkada di Indonesia, kedua TV Jakarta tersebut bergantian mendominasi perolehan hak siaran debat kandidat yang digelar Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), baik pilkada kabupaten/kota maupun pilkada provinsi di seluruh Indonesia.

Fenomena dominasi TV Jakarta itu mendapat respons keras dari TV lokal di beberapa daerah. Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) melalui Sekjen Imawan Mashuri dari JTV menuding dengan tegas penyelenggara pilkada tidak menghargai keberadaan TV lokal, bahkan cenderung meremehkan media lokal.

Tarik-ulur fenomena tersebut menjadi ajang diskusi menarik guna memahami jeritan TV lokal dan kaitannya dengan potret regulasi penyiaran di daerah. Berbagai alasan pembenar terungkap ke permukaan atas pemilihan TV Jakarta dalam perolehan hak siar pilkada yang diberikan KPUD. Namun, argumentasi ekonomi politik tetap sarat mewarnai rivalitas antara TV Jakarta dengan TV lokal.

Asimetris, Hegemoni Kapitalistis

Jika dilihat per teori, sebenarnya regulasi penyiaran Indonesia tidak menganut aliran liberalisme pasar murni, tapi lebih dekat dengan teori tanggung jawab sosial. Teori tersebut memunculkan konsep diversity of content dan diversity of ownership yang dalam beberapa hal memberikan perlindungan terhadap potensi lokal dan pembatasan kepemilikan.

Salah satu implementasinya adalah dalam bentuk berjaringan antara TV nasional dan TV lokal. Dalam format penyiaran itu, sebenarnya tidak akan terjadi head to head antara TV Jakarta yang bersiaran nasional dan TV lokal yang bersiaran terbatas.

Namun, kebijakan TV berjaringan hingga saat ini masih tarik-ulur dan belum bisa diterapkan di lapangan, sehingga mekanisme pasar tetap berlaku dan terjadi hegemoni kapitalistis dalam siaran pilkada.

TV Jakarta dan TV lokal pada galibnya berada dalam posisi asimetris. Jika kita mencoba membandingkan TV Jakarta yang memiliki daya pancar (coverage area) lebih luas, yakni nasional, dengan TV lokal yang hanya diberi daya pancar dalam satu service wilayah layanan yang meliputi tidak lebih dari 4-5 kabupaten, posisi itu jelas tidak adil dan tidak seimbang.

Dalam berbagai aspek, TV Jakarta akan lebih unggul dan selalu di atas TV lokal. Kemampuan TV Jakarta dalam meraup iklan juga menjadi senjata andalan untuk melakukan bargaining dengan KPU/D di seluruh Indonesia.

Alasan ekonomis itu menjadi dasar pembenar paling logis dalam persaingan mendapatkan hak siar pilkada. Di satu sisi, TV nasional bersedia menggratiskan biaya produksi, sedangkan TV lokal hingga kini masih berkutat pada problem biaya produksi tinggi dan iklan yang masih minim.

TV Jakarta dengan kemampuan meraup iklan rata-rata 30 juta per spot pada jam tayang utama (prime time) tentu akan lebih mudah menutup biaya produksi ketimbang TV lokal yang hanya mampu mencapai 400 ribu per spot. Alhasil, berlakulah hukum dagang pasar tradisional bahwa siapa kuat, ia yang menang. Siapa mampu memberi dan lebih menguntungkan, ia yang akan dipilih.

Dalam situasi seperti itu, alih-alih TV lokal akan bersaing dalam merebut hak siaran pilkada dengan TV Jakarta yang memiliki kelebihan coverage area nasional. TV lokal dengan keterbatasannya, tampaknya, hanya akan menjadi pelengkap dan mengais sisa-sisa iklan dari siaran pilkada yang tidak lagi dikehendaki TV Jakarta. TV lokal dalam hegemoni kapitalistis seperti itu akan selalu menjadi penonton di daerah sendiri.

Monopoli TV Jakarta

Rivalitas yang berujung pada pemberian dan pembagian jatah siaran debat pemilihan kepala daerah di Indonesia yang dimonopoli TV Jakarta dalam jangka panjang akan menciptakan tatanan penyiaran yang tidak adil di daerah. Dominasi TV Jakarta juga akan menjadi preseden negatif bagi perkembangan TV lokal.

Harus diakui, beberapa TV lokal saat ini dengan keterbatasan coverage dan lokalitasnya terbukti mampu bersaing dengan TV Jakarta. Bali TV dan JTV dalam beberapa kali riset AC Nielsen (2008) ternyata bisa menempus empat besar di antara jajaran TV Jakarta. Namun, ironisnya, kemampuan dan potensi TV lokal tersebut belum diperhitungkan dalam persaingan mendapatkan hak siar debat pilkada.

Seiring dengan semangat otonomi dan desentralisasi, TV lokal dengan kekuatan lokalnya semestinya harus dihargai dan diberi kesempatan untuk melakukan siaran pilkada di daerah sendiri.

Bagaimanapun, ia adalah tuan rumah dan sebenarnya TV lokal memiliki kedekatan (proximity) dengan masyarakatnya. Selain sebagai bentuk pengakuan terhadap potensi lokal, hal itu menjadi bagian dari melindungi TV lokal yang selama ini turut menunjang program pemerintah dalam menyukseskan otonomi daerah.

* Surochiem Abdus Salam, anggota KPID Jawa Timur. Tulisan ini adalah pandangan pribadi.
http://www.jawapos.com/ [ Jum'at, 22 Agustus 2008 ]

Tidak ada komentar: