22 Agustus 2008

Kampanye Media dan Penegasian Publik Opini AGUS SUDIBYO

Dalam proses penyelenggaraan pemilu, media massa tidak cukup hanya bersikap adil dan seimbang terhadap kontestan pemilu. Media juga harus bersikap adil terhadap publik.

Publik sebagai subyek dalam suatu proses komunikasi politik sangat mungkin mempunyai kepentingan dan sudut pandang berbeda, bahkan bertolak belakang dengan kontestan pemilu. Publik harus dikondisikan untuk selalu bersikap rasional kritis terhadap tindakan-tindakan instrumentalistik kontestan pemilu dalam mengerahkan dan memanipulasi massa.

Penyelenggaraan pemilu yang lalu memberikan pelajaran berharga. Yang dihadapi publik saat itu bukan hanya kecenderungan pemberitaan media yang bias, terlalu berfokus kepada formalitas dan selebrasi politik, serta berorientasi kepada sumber- sumber elite, tetapi juga kecenderungan media untuk larut dalam gemuruh eforia pemilu sehingga menafikan masalah publik yang lain. Ketika pemilu mencapai fase-fase penting, seluruh energi dan perhatian media terserap dalam diskursus tentang pemilu.

Diskursus tentang pemberantasan korupsi, kemiskinan, pengangguran, kerusakan lingkungan, dan seterusnya untuk sementara menyusut, tenggelam dalam gegap gempita pemberitaan pemilu. Seakan-akan satu-satunya urusan yang penting dan urgen adalah pemilu. Seakan-akan kepentingan publik sedemikian rupa tecermin dari pernyataan partai politik, para politikus, dan pengamat.

Publik tidak diperhitungkan

Tendensi penegasian kepentingan publik dalam diskursus media tentang pemilu ini tampaknya masih akan terjadi pada pemilu mendatang. UU No 10/ 2008 tentang Pemilu membuka peluang ke arah sana. Pengaturan peran media dalam pemilu pada undang-undang ini hanya mengasumsikan potensi ketidakadilan atau keberpihakan media terhadap kontestan pemilu, tetapi tidak mempertimbangkan potensi ketidakadilan (jika boleh disebut demikian) media terhadap publik sebagaimana dijelaskan di atas.

Pasal 91 UU Pemilu berbunyi, "Media massa cetak dan lembaga penyiaran yang menyediakan rubrik khusus untuk pemberitaan kampanye harus berlaku adil dan berimbang kepada seluruh peserta pemilu". Konstruksi berpikir yang tecermin dalam pasal ini adalah aktor dalam komunikasi politik melalui media adalah kontestan pemilu, regulator, dan media massa itu sendiri. Publik tidak diperhitungkan di sini. Jika media massa telah bersikap adil dan berimbang terhadap peserta pemilu, seakan-akan selesailah persoalan. Bagaimana dampak, manfaat, relevansi pemberitaan pemilu terhadap kepentingan publik sebagai warga negara atau pembaca media tidak diperhitungkan. Tidak pula ada pasal lain yang tegas mengatur pemberitaan media pada masa pemilu harus adil dan appropriate terhadap publik sebagai pemangku kepentingan (stakeholders) komunikasi massa dan komunikasi politik.

Pasal 97 UU Pemilu berbunyi, "Media massa cetak menyediakan halaman dan waktu yang adil dan seimbang untuk pemuatan berita dan wawancara serta untuk pemasangan iklan kampanye bagi peserta pemilu". Terlewatkan di sini prinsip bahwa penyajian berita atau wawancara oleh media tidak lain dan tidak bukan ditentukan oleh nilai berita (news value).

Persoalannya adalah sejauh mana suatu berita menarik, penting, signifikansi bagi pembaca, sejauh mana prominensi dan magnitude-nya. Sejauh mana kepentingan pembaca atas informasi berkualitas, layak, dan relevan menjadi keutamaan pemberitaan?

News value jelas menempatkan pembaca sebagai the impartial spectator: otoritas yang menentukan kelayakan dan kualitas berita media massa. Dengan demikian, meskipun tetap penting, bersikap adil dan seimbang terhadap peserta pemilu bukan isu utama dalam proses produksi dan distribusi berita.

Masif dan anonim

John B Thompson (1995) mengidentifikasi sisi negatif dari praktik komunikasi massa. Komunikasi massa dapat menyebabkan individu dan komunitas larut dalam totalitas massa yang seragam, pasif, dan tidak bermakna. Istilah "massa" tidak selalu merujuk pada pluralitas kepentingan, kebutuhan dan selera khalayak, tetapi lebih pada gambaran khalayak media yang masif dan anonim.

Persoalan lain, proses komunikasi massa lebih kurang juga bersifat asimetris dan monologis. Yang terjadi bukan komunikasi ideal yang dicirikan oleh kesetaraan, resiproksitas, dan saling pemahaman, tetapi arus informasi dan perbincangan yang terdeterminasi oleh satu pihak.

Khalayak bukan mitra komunikasi, melainkan partisipan pasif dalam proses transmisi informasi yang telah sedemikian rupa terstruktur dari satu arah. Khalayak media tidak mempunyai daya tawar untuk turut menentukan topik, isi, dan arah pembicaraan. Maka, istilah komunikasi massa menjadi kurang memadai. Thompson menggunakan istilah "transmisi dan difusi informasi" untuk menggantikan istilah "komunikasi", dan istilah "komunikasi termediasi" untuk menggantikan "komunikasi massa".

Kritik Thompson menjadi relevan untuk membahas penegasian publik dalam UU Pemilu di atas. Membaca pengaturan media dalam UU Pemilu, kita seperti menangkap proyeksi menuju komunikasi politik yang asimetris dan satu arah. Komunikasi politik yang kualitasnya tidak ditentukan keterlibatan, resiproksitas, dan umpan balik publik. Komunikasi politik yang diperlakukan sekadar sebagai proses interaksi eksklusif antarelite politik: partai politik, politisi, regulator, dan pengamat. Publik secara politik tidak diperhitungkan dan hanya diperlakukan sebagai penonton yang pasif dan terdeterminasi.

Agus Sudibyo Deputi Direktur Yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET), Jakarta

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/23/00535154/kampanye.media.dan.penegasian.publik

Tidak ada komentar: