10 Agustus 2008

Batas-batas Iklan Politik

R William Liddle
Senin, 11 Agustus 2008

Meski belum ada calon presiden Amerika Serikat yang diresmikan konvensi partai, baik Republik maupun Demokrat, perang iklan sudah dimulai.

Masyarakat AS, khususnya warga Demokrat, diguncang iklan TV yang baru dari kubu Republik. Dalam iklan itu, Barack Obama disamakan Britney Spears dan Paris Hilton, selebriti muda yang dikenal tetapi dicemooh jutaan orang. Bagi mainstream atau kelas menengah AS, perilaku dua cewek itu dianggap kekanak-kanakan dan memalukan.

Iklan busuk

Barack Obama pasti akan dicalonkan kaum Demokrat dalam konvensi partai yang akan diadakan di Denver, Colorado, bulan ini. Dalam iklan Partai Republik itu, ia diperlihatkan di depan ratusan ribu penggemarnya saat baru-baru ini berceramah di Berlin, Jerman. Foto menggiurkan Spears dan Hilton diselipkan dalam film singkat itu, seolah mereka hadir di Berlin. Lalu ada suara menimpa, bertanya dengan nada menakutkan, "Dia selebriti terbesar di dunia, tetapi apakah dia siap memimpin?"

Saya teringat pada kepercayaan yang sudah lama diyakini sebagian besar aktivis Partai Demokrat, they will do anything necessary to win, mereka akan berbuat apa saja yang diperlukan untuk menang. Bagi kaum Republik, tujuan kemenangan calon presiden benar-benar menghalalkan segala cara (bagaimana jika diganti, segala cara halal untuk memenangkan calon presiden).

Kepercayaan kaum Demokrat mungkin berakar pada apa yang kini diingat sebagai "peristiwa Willie Horton". William Horton adalah seorang narapidana yang dihukum penjara seumur hidup pada tahun 1974 setelah menikam mati petugas pompa bensin di salah satu kota Negara Bagian Massachusetts. Dua belas tahun kemudian, ia diberi cuti dua hari dalam program rehabilitasi khusus yang diciptakan Michael Dukakis, gubernur negara bagian saat itu. Setelah lepas, Horton langsung melarikan diri. Beberapa bulan kemudian ia tertangkap basah saat menganiaya dan memerkosa dua korban baru.

Dalam pemilihan presiden 1988: Dukakis dicalonkan Partai Demokrat; George HW Bush, ayah Presiden Bush kini, dicalonkan Partai Republik. Dalam iklan yang kasar tetapi amat efektif, peristiwa Horton dimanfaatkan kampanye Bush untuk memojokkan Dukakis sebagai seorang "liberal" (terlalu percaya kepada kebaikan manusia) yang tidak mampu menanggulangi "gelombang kejahatan" yang sedang mengancam negara kami.

Bush juga memainkan kartu ras. Dalam iklannya, nama Horton diubah dari William menjadi Willie agar pemirsa tahu, Horton adalah seorang Afrika-Amerika. Dukakis membalas, 99 persen dari narapidana yang dilepaskan dalam program rehabilitasinya tidak menjadi residivis, tetapi reputasinya terlalu buruk untuk diperbaiki sebelum hari pemilu.

Bukan monopoli satu partai

Korban iklan busuk paling baru, sebelum Obama, adalah John Kerry, calon presiden dari Partai Demokrat tahun 2004. Pada tahun 1960-an Kerry sebagai perwira muda Angkatan Laut meraih beberapa medali di medan laga Vietnam, teristimewa sebagai komandan swift boat, sejenis kapal patroli. Ia diakui umum selaku pahlawan perang.

Sayang, setelah pulang dan mulai melawan perang itu, sebagai politisi muda di Partai Demokrat, Kerry menciptakan banyak musuh di kalangan veteran. Sentimen itu dimanfaatkan tim sukses Presiden George Bush. Sebuah organisasi baru, Swift Boat Veterans for Truth, para veteran swift boat untuk kebenaran, didirikan guna untuk mencemarkan nama baik Kerry. Mereka berhasil. Dalam beberapa iklan TV, ia dituduh memalsukan aneka perbuatan heroiknya. Buktinya sama sekali tidak ada, tetapi dampaknya besar. Menurut beberapa pengamat, iklan-iklan itu memengaruhi banyak pemilih agar tidak memilih Kerry.

Secara jujur harus saya akui penayangan iklan negatif tidak merupakan monopoli satu partai. Pada tahun 1964, aktivis Partai Republik juga merasakan kepahitannya. Presiden Lyndon Johnson mengecap lawannya, Barry Goldwater, calon presiden dari Partai Republik, seorang ekstremis yang mungkin akan mendatangkan Perang Dunia III. Iklan itu menggambarkan seorang gadis kecil yang sedang menghitung daun bunga, sementara terdengar suara laki-laki yang sedang menghitung detik-detik terakhir menjelang peluncuran rudal nuklir. Awan khas peledakan nuklir kelihatan di layar dan pemirsa diingatkan, "Pilihlah Presiden Johnson pada 3 November. Taruhannya terlalu besar untuk tinggal diam di rumah."

Untung, wajah demokrasi di Indonesia masih bersih dari cacat ini. Saya sudah menonton puluhan iklan politik, dari tahun 1999 hingga kini, dan belum pernah melihat iklan negatif yang menyerang seorang calon atau tokoh partai secara pribadi. Dalam hal ini, mungkin ada sesuatu yang AS bisa pelajari dari pengalaman Indonesia.

R William Liddle Profesor Ilmu Politik, Ohio State University, Columbus OH, AS

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/11/01062369/batas-batas.iklan.politik

Tidak ada komentar: