07 Juli 2008

Televisi "Al Jazeera" dan Revolusi Media Arab

SP/Elly Burhaini Faizal - Lawrence Pintak

Revolusi besar sontak melanda media Arab setelah stasiun Televisi Al Jazeera diluncurkan pada 1996. Riak-riak efek pemunculan Al Jazeera dapat terlihat dari fenomena menjamurnya saluran-saluran satelit Arab yang bebas mengudara dan jumlahnya kini mencapai 300 lebih. Membeludaknya saluran-saluran satelit Arab terjadi di tengah meningkatnya kebebasan bagi jurnalis-jurnalis cetak di seantero kawasan, serta di sela-sela meningkatnya blogger-blogger yang membuka jalan bagi format reportase lebih agresif yang terbilang baru.

"Namun, kebebasan belum sepenuhnya dimiliki oleh jurnalis Arab," ungkap Lawrence Pintak, Direktur Kamal Adham Center for Journalism Training and Research, dalam diskusi "The Al-Jazeera Effect: Media and Political Change" yang diselenggarakan Program Kajian Wilayah Amerika (PKWA) Universitas Indonesia, Kamis (3/7). Di tengah bangkitnya kebebasan pers di Timur Tengah, organisasi-organisasi berita tetap punya "garis merah" seputar subjek-subjek yang terlarang. Misalnya, terkait kebijakan luar negeri bagi Qatar untuk Al Jazeera, rambu-rambu pemberitaan agama dan terorisme di dalam Arab Saudi bagi saluran berita Arab besar lainnya, yakni Al Arabiya, maupun aturan bagi media domestik di kebanyakan negara Arab ketika menyiarkan suksesi politik.

Lawrence Pintak mengungkapkan, sejak awal era pascakolonial di Timur Tengah, media Arab cenderung menjadi "corong" bagi mereka yang berada di kursi kekuasaan. "Bagi para jurnalis, biasanya pemerintah yang menentukan apa yang tidak benar," kata Pintak, yang juga Fulbright Visiting Specialist. Kebenaran masih belum bisa dijadikan patokan, kendati angin kebebasan mulai berembus di kawasan. "Kami punya self censorship sendiri," tutur Pintak menirukan penuturan seorang reporter surat kabar yang berpusat di Uni Emirat Arab, ketika diwawancarai untuk sebuah survei yang dipublikasikannya pada 2008. Menurut Pintak, jurnalis itu mengaku punya alasan untuk bersikap berhati-hati. Pasalnya, ia pernah diseret ke pengadilan tiga kali. Padahal, hanya kisah berita lokal sangat sederhana yang ditulisnya. Tetapi, ia harus diseret ke pengadilan. Semua yang dialami membuat ia lebih santun tidak ubahnya seorang kanak-kanak yang memang seharusnya bersikap santun.

Tidak terbayangkan apa dampak yang harus dipikul jika yang diberitakan adalah berbagai masalah politik, problem-problem politik, maupun berbagai ide tentang terorisme, masalah-masalah militer, atau tentang isu keamanan, yang semua itu tergolong masalah-masalah yang dapat benar-benar menempatkan jurnalis pada kasus-kasus serius. Dampak itu, menurut Pintak, setidaknya dapat ditemukan di penjara-penjara dari Maroko hingga Yaman, serta dalam berbagai kasus pelecehan, pemerasan, dan pembunuhan para jurnalis di seantero kawasan. "Banyak teman jurnalis saya yang dibunuh atau dipenjarakan," ujarnya.

Perubahan

Dalam survei yang dilakukan Pintak, bekerja sama dengan koleganya, Jeremy Ginges, terungkap bahwa media Arab tengah mengalami perubahan. Survei dilakukan untuk mengkaji faktor-faktor yang membentuk pendekatan para jurnalis tersebut terhadap misi jurnalisme Arab di Timur Tengah pascaserangan 11 September 2001. Memang, organisasi-organisasi berita Arab moderen maupun negara Arab moderen dilahirkan dari sisa-sisa Kekaisaran Ottoman. Mengacu sejarahnya, media Arab merupakan kendaraan untuk menyebarluaskan nasionalisme Arab, kebudayaan Arab, maupun bahasa Arab itu sendiri. Tetapi, kesetiaan utama sebagian besar jurnalis-jurnalis Arab ketika itu masih tertuju pada negara bangsa secara individual, dan bukan pada bangsa Arab secara keseluruhan. Selain itu, misi utama mereka adalah untuk mendukung status quo.

Sikap media-media Arab yang semacam itu boleh dibilang sekarang tengah mengalami pergeseran. Dalam survei yang dilakukan Pintak dan Ginges, terungkap bahwa jurnalis-jurnalis Arab pada penghujung abad ke-21 cenderung memandang misi mereka sebagai motor perubahan sosial dan politik di Timur Tengah dan Afrika Utara. Mereka mengidentifikasikan diri lebih dekat dengan kawasan pan-Arab dan dunia Muslim secara lebih meluas, serta tidak lagi sekadar dengan sebuah negara bangsa secara individual.

Media Arab, dapat disimpulkan, kini cenderung melihat reformasi politik, hak asasi manusia (HAM), kemiskinan, serta pendidikan, sebagai isu-isu paling penting yang dihadapi di kawasan. Ketika memproteksi masyarakat Arab, kebudayaan Arab, serta agama di kawasan itu, media Arab juga sudah tidak lagi secara terang-terangan bersikap anti-Amerika.

"Media Arab kini menempatkan diri sebagai agen perubahan," tegas Pintak. Al Jazeera, misalnya, punya tekad mendukung hak perorangan untuk memperoleh informasi serta memperkuat nilai-nilai toleransi, demokrasi, dan respek pada kebebasan serta penegakan HAM.

Mayoritas jurnalis Arab, yang disurvei Pintak dan Ginges, yakin bahwa mendorong reformasi politik adalah prioritas utama. Para jurnalis Arab juga dinilai tengah memainkan peranan untuk mendorong misi perubahan yang sedang bergulir, termasuk menggunakan berita bagi kepentingan sosial serta bertindak sebagai suara bagi kaum miskin. Hal ini di sisi lain juga harus dipahami dalam konteks peran sejarah media berita Arab.

Jika diamati, media di Arab cuma dipakai sebagai alat negara. Berita, atau lebih tepatnya, informasi dan propaganda, dipakai bagi kepentingan "bangsa dan negara", sebuah konsep abstrak yang kerapkali bertabrakan dengan kepentingan umum.

Ketimbang menggunakan berita mereka untuk kepentingan sosial, para jurnalis di Arab dulu kerap bekerja semata-mata untuk mempromosikan "keberhasilan-keberhasilan negara". Media Arab, dalam posisi itu, dipakai sebagai suara pemerintah di sejumlah negara, di mana rakyat kebanyakan, khususnya kaum miskin, tidak punya suara. Tetapi, sekali lagi, kecenderungan semacam itu sudah semakin berubah. [SP/Elly Burhaini Faizal]

http://www.suarapembaruan.com/News/2008/07/07/index.html

Tidak ada komentar: