22 Juli 2008

Selamatkan Anak Kita!

TAJUK RENCANA - Rabu, 23 Juli 2008 ::Data anak usia SD-SMP (7-15 tahun) mengisi waktu 30-35 jam seminggu untuk menonton televisi bukan tidak mungkin kita anggap sebagai hal biasa.

Ah, lebih baik di rumah daripada keluyuran. Padahal, itu kenyataan yang serius menyangkut masa depan anak. Kita pantas khawatir, bukan soal waktu yang terbuang percuma, tetapi apa yang ditonton. Isi tontonan televisi—hampir semua stasiun televisi—berisi sinetron dan lagu dangdut, yang memang memperoleh rating tinggi, yang menarik minat pengiklan, yang menyedot 60 persen lebih belanja iklan nasional. Alih-alih isi dan cerita-cerita sinetron mendidik.

Menurut Yayasan Pengembangan Media Anak, pekan lalu, sepanjang tahun 2006-2007 adegan kekerasan dan seks sangat dominan, di antaranya 41,05 persen menyangkut kekerasan, seperti mengancam, memaki, melecehkan, membentak, dan melotot-lotot.

Pembentukan kepribadian amat tergantung dari apa yang dilihat, dibaca, dan didengar. Saat menonton televisi ketiga kegiatan itu berjalan sekaligus. Wali kelas mereka adalah pemain sinetron, penyanyi, dan presenter. Kurikulumnya sinetron dengan silabus utama kekerasan.

Televisi menjadi buku bergambar. Karena umumnya anak-anak menonton pada jam-jam orangtua tidak ada di rumah atau ketika tontonan "kurang mendidik" itu ditayangkan pada jam-jam utama (prime-time), kode BO (bimbingan orangtua) di pojok kanan atas layar televisi luput dari perhatian.

Kita prihatin atas asupan gizi lewat televisi sebagai bagian dari pembentukan pengetahuan dan karakter anak. Selama Januari-Juni 2008 dilaporkan (Kompas, 22/7), sebanyak 21.872 anak menjadi korban kekerasan fisik dan psikis di lingkungan sosial mereka.

Kondisi sosial yang memprihatinkan diperparah oleh meningkatnya jumlah pekerja anak seiring dengan semakin sulitnya kondisi ekonomi dan banyaknya anak putus sekolah. Berdasarkan pola tahun-tahun sebelumnya, tahun ini diperkirakan berjumlah 6,3 juta. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang jelas-jelas melarang mempekerjakan anak di bawah usia 15 tahun, hanya menjadi pasal-pasal di atas kertas. Begitu juga UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Selain faktor televisi, kebiasaan menonton dan keterpurukan ekonomi, kondisi anak kita diperparah oleh meningkatnya jumlah perokok usia anak.

Kongres Anak Indonesia VII di Caringin 2008 kita dengarkan sebagai jeritan mereka.

Peringatan Hari Anak Nasional 23 Juli kita jadikan kapstok sebuah gerakan aksi yang konkret, terencana, konsisten berkesinambungan.

Tanggung jawab seharusnya dibebankan kepada kita, orangtua, yang menjadi pendidik pertama.

Tanggung jawab sosial perusahaan, meskipun berpamrih, tidak ada salahnya disisihkan sebagian untuk anak-anak Indonesia.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/23/01561656/tajuk.rencana

Tidak ada komentar: