05 Juli 2008

Gurihnya Iklan Politik

Sejak pemilihan presiden dan kepala daerah dilakukan secara langsung, para politikus berlomba-lomba mengiklankan diri agar populer. Apakah rakyat diuntungkan dengan fenomena ini? Yang jelas, yang untung adalah media dan perancang iklan.

Ruang publik belakangan ini dikepung iklan para politikus. Baliho dan spanduk bergambar tokoh politik bertebaran di mana-mana. Slogan seperti "Ombak Besar pun Dia Berani", "Hidup adalah Perbuatan", dan lain-lain duduk berdampingan dengan slogan iklan pulsa termurah.

Iklan politik juga semakin ramai di layar kaca. Pada jam- jam tertentu, iklan semacam itu bermunculan silih berganti. Ini tidak hanya dilakukan oleh politikus yang akan bertarung dalam pemilu. Yang belum mencalonkan pun memasang iklan. Bahkan, mungkin paling banyak.

Di dalam iklan televisi, mereka muncul dengan wajah yang ramah dan kata-kata manis. Mereka mengenakan pakaian rapi lengkap dengan peci. Tampaknya mereka ingin dipersepsi sebagai orang yang bijak, religius, dan berakhlak mulia.

Mereka umumnya juga menegaskan diri sebagai tokoh patriotis, ahli menangani masalah, dan yang paling penting, peduli kepada rakyat miskin. Kepedulian itu, misalnya, mereka perlihatkan dengan mengajak rakyat ikut memberantas kemiskinan. Ada pula yang memperlihatkan kepeduliannya dengan mendemonstrasikan makan nasi aking.

Beberapa minggu terakhir, muncul lagi iklan politik di televisi berupa testimoni. Orang yang muncul dalam iklan bersaksi bahwa calon bupati A adalah lulusan perguruan tinggi ternama, berpengalaman, memiliki kepedulian kepada rakyat miskin, dan siap mengabdi kepada rakyat. Apa artinya semua ini?

Ketua Program Studi Komunikasi Pascasarjana Universitas Indonesia Dedy N Hidayat mengatakan, fenomena itu merupakan bagian dari pemasaran politik. Di Indonesia ini termasuk baru, tetapi orang akan segera menyejajarkan iklan politik dengan iklan produk biasa.

Dengan bahasa lain, iklan politik itu sejajar dengan iklan kecap yang selalu mengklaim nomor satu. Iklan politik dan iklan kecap sama-sama sedang memasarkan produk agar dikenal dan kemudian dijadikan pilihan.

Dedy tidak yakin iklan politik seperti yang banyak beredar itu akan memengaruhi pilihan masyarakat dalam pemilu. Namun, dari sudut politikus, iklan semacam ini penting untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat lengkap dengan citra yang dibentuknya. Karena itu, mereka tidak ragu mengeluarkan uang berjumlah besar.

Miliaran rupiah

Irfan Wahid, praktisi periklanan, mengatakan, untuk mendanai proyek pencitraan, seorang politikus bisa mengeluarkan uang miliaran rupiah. Makin kurang terkenal di mata publik, makin besar uang yang harus dikeluarkan.

Umumnya, proyek semacam ini jatuh ke tangan biro atau praktisi iklan profesional. Mereka bisa mengerjakan riset awal; analisis data pemilih; membuatkan strategi komunikasi; hingga membuatkan materi iklan televisi, media cetak, radio, dan baliho.

Irfan mengaku menangani proyek pencitraan calon Adang Daradjatun ketika mencalonkan diri sebagai gubernur DKI tahun 2007. "Kami menangani secara penuh mulai dari strategi sampai eksekusi. Bahkan, cara senyumnya pun kita atur. Nilai proyek itu mencapai Rp 25 miliar untuk satu tahun," katanya.

Irfan mengaku menangani juga pembuatan iklan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Sutrisno Bachir, pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf (Hade) dalam Pilkada Jabar beberapa bulan lalu.

"Eksekusi untuk iklan Sutrisno Bachir nilainya Rp 2 miliar, sedangkan biaya produksi iklan Hade Rp 1 miliar. Itu di luar biaya pemasangan iklan di media massa," katanya.

Dia menambahkan, biasanya politikus menghabiskan dana antara Rp 5 miliar-Rp 10 miliar per bulan untuk membiayai pemasangan iklan di televisi dan media cetak. Untuk politikus daerah yang bertarung dalam pilkada, dana yang mereka keluarkan untuk memasang iklan berkisar Rp 1 miliar hingga Rp 5 miliar per bulan.

Irfan mengakui, proyek pencitraan politikus sangat menggiurkan. Karena itu, dia membuat perusahaan baru khusus untuk menangani iklan politik dan sosial. Di dalam perusahaan itu berkumpul orang-orang kreatif yang pernah menangani iklan Adang dan rivalnya di pilkada, Fauzi Bowo. Di situ juga berkumpul tim kreatif yang menangani iklan pilpres Susilo Bambang Yudhoyono dan tim kreatif rivalnya, Wiranto. Untuk urusan duit, mereka semua bersatu.

Harry Tjahjono, penulis naskah skenario "Si Doel Anak Betawi", juga merasakan gurihnya iklan politik. Dia pernah menggarap strategi komunikasi Rano Karno ketika akan mencalonkan diri sebagai wakil gubernur DKI tahun 2007.

Setelah itu, menggarap strategi komunikasi cagub Jawa Timur Achmady. Dia membuatkan konsep, tag line (slogan), iklan dan program televisi. "Saya menggarap Pak Achmady enam bulan," kata Harry yang kini sedang menggarap iklan sejumlah calon anggota parlemen.

Biasanya, kata Harry, proyek pencitraan dimulai dengan membuat survei pemilih dan penyusunan strategi iklan. Biasanya survei dilakukan empat kali. "Jika hasil survei pertama calon belum populer, kami akan menggenjot pemasangan spanduk, umbul-umbul, dan baliho. Setelah itu, calon akan nongol dalam iklan televisi," ujar Harry.

Sampai di sini, calon sudah harus mengeluarkan uang sekitar Rp 2 miliar. "Itu termasuk murah."

Agung Handoko, pemilik Barru Production, juga mengakui proyek iklan politik sangat menggiurkan. "Ini bisnis yang seksi. Proyeknya banyak, untungnya bisa sampai 30 persen dan bayarannya tunai. Tidak ada transfer-transferan," katanya.

Dia pernah menggarap proyek iklan politik untuk televisi dengan durasi 30 detik bernilai Rp 1,2 miliar. Pembayaran dilakukan di tempat parkir sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta. "Duitnya diberikan begitu saja di dalam mobil," katanya.

Meskipun begitu, kata Agung, mengerjakan iklan semacam ini juga ada risikonya. "Kalau tidak hati-hati kita bisa dikemplang," katanya.

Tamrin Amal Tomagola, sosiolog dari UI, mengatakan, pada era komunikasi politik yang masif seperti sekarang, politikus harus memiliki aset ekonomi dan uang. Mereka tidak cukup hanya memiliki kompetensi.

Persoalannya, uang yang digunakan untuk membuat iklan itu asalnya dari mana? - Budi Suwarna & Jimmy S Harianto

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/07/06/02074280/gurihnya.iklan.politik

Tidak ada komentar: