Senin, 14 September 2009 | Oleh Leo Batubara
Tahun 2008 dapat disebut sebagai tahun yang paling mengancam kebebasan pers. Pemerintah dan DPR menerbitkan lima UU, tiga di antaranya—UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), UU Pornografi, dan UU Keterbukaan Informasi Publik—mengkriminalkan pers. Sementara UU Pemilu dan UU Pilpres dapat memberedel pers.
Tahun 2009, menjelang masa bakti DPR 2004-2009 berakhir, pemerintah dan DPR menyiapkan RUU Rahasia Negara (RUU RN), yang lebih represif mengancam pers daripada peraturan dan perundang-undangan kolonial Belanda dan tentara pendudukan Jepang yang terkait pers.
Berdasar Pasal 49 Ayat (1), korporasi (termasuk perusahaan pers) yang melanggar rahasia negara dipidana denda Rp 50 miliar-Rp 100 miliar. Ancaman Ayat (2), perusahaan pers pelanggar ketentuan itu dapat dibekukan atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi terlarang. Pasal 44 Ayat (1), pelanggar ketentuan rahasia negara—termasuk pers—dapat dipidana penjara tujuh tahun-20 tahun. Ketentuan paling singkat tujuh tahun berintensi agar wartawan pelanggar dapat di-"Prita"-kan (Prita Mulyasari, korban pertama UU ITE), langsung dipenjarakan tanpa putusan majelis hakim.
Berdasarkan Pasal 11 dan 12, Presiden dapat mendelegasikan penetapan rahasia negara kepada pimpinan Lembaga Negara. Ketentuan berikut terkait standar dan prosedur perlindungan dan pengelolaan rahasia negara diatur Peraturan Menteri/Peraturan Kepala Lembaga Pemerintah Nondepartemen.
Mengancam pers
Penentuan rahasia negara menjadi pasal karet dan mengulang pengalaman pada era Orde Baru. UU Pokok Pers (No 11/1966 junto No 21/1982) melarang pemberedelan pers. UU itu memberi otoritas kepada Menteri Penerangan menerbitkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri. Maka, berdasarkan Peraturan Menteri No 1/1984, Menpen berwenang mencabut surat izin usaha penerbitan pers.
Dalam pertemuan masyarakat pers dengan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono, sebagai wakil pemerintah dalam pembahasan RUU RN, di Dewan Pers (13/8/2009), Dewan Pers menilai RUU RN tak berparadigma demokrasi, tak konstitusional, dan mengancam kebebasan pers.
RUU RN dinilai tidak demokratis karena desainnya menempatkan penguasa sebagai yang berdaulat dalam pengaturan rahasia negara. Di negara demokratis, pengaturan rahasia negara berprinsip maximum access limited exemption. Sebagian besar informasi dapat diakses publik, sebagian kecil dikecualikan sebagai rahasia negara. Sementara RUU RN bermuatan limited access maximum exemption.
RUU RN tidak memedomani Pasal 28F UUD 1945 bahwa rakyat mempunyai hak konstitusional untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi serta untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi.
RUU RN bertentangan dengan kebebasan pers (UU No 40/1999 tentang Pers). Sesuai UU Pers, pertama, perusahaan pers tidak boleh diberedel dan dihukum sebagai korporasi terlarang. Yang memberedel dan menghukum pers sebagai korporasi terlarang dapat dipidana penjara paling lama dua tahun sesuai Pasal 18 Ayat (1).
Kedua, kesalahan pers dalam melaksanakan tugas jurnalistik untuk kepentingan umum tidak dikriminalkan. Kesalahan pers akibat pemberitaan pers diselesaikan dengan hak jawab. Jika pengadu tidak puas atas putusan Dewan Pers dapat menempuh jalur hukum. Ancamannya, pers teradu dapat dipidana denda paling banyak Rp 500 juta.
Berdasar konsep kebebasan pers yang dianut UU Pers, kriminalisasi pers dan pidana denda dengan jumlah besar akan melumpuhkan fungsi kontrol sosial pers.
UU Pers memberi perintah kepada pers, pertama, memperjuangkan keadilan dan kebenaran; kedua, melakukan fungsi kontrol sosial; ketiga, melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang terkait kepentingan umum; keempat, memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui. Pelaksanaan amanat itu adalah bagian kontribusi pers dalam membantu pelaksanaan pemerintah yang bersih dan baik serta memerangi korupsi.
Masalahnya, bagaimana pers dapat melaksanakan amanat itu jika RUU RN justru (1) menerapkan rezim ketertutupan, (2) mengancam pers dengan penjara dan denda yang potensial membangkrutkan.
Menolak RUU Rahasia Negara
Ketika anggota Masyarakat Pers Indonesia—terdiri Dewan Pers, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS), Yayasan SET, Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI), Institut Pengembangan Media Lokal (IPML), serta Forum Pemantau Informasi Publik—bertemu Komisi I DPR (8/9/ 2009), bahan RUU RN hasil pembahasan terkini belum mengakomodasi tuntutan dan masukan masyarakat pers yang telah disampaikan kepada Menhan sebulan sebelumnya. Kepada Komisi I DPR, masyarakat pers menyampaikan, Indonesia memerlukan UU RN, tetapi menolak RUU RN versi Departemen Pertahanan karena masih berparadigma otoriter, tidak konstitusional, dan antikebebasan pers.
Saat penulis bertemu Agus Brotosusilo, Staf Ahli Menteri Pertahanan Bidang Ideologi dan Politik (9/9/2009), dinyatakan sejumlah tuntutan Dewan Pers dipertimbangkan untuk diakomodasi. Ancaman pemberedelan dan pernyataan perusahaan pers sebagai korporasi terlarang dihapus. Ancaman pidana penjara turun, paling singkat empat tahun, denda menjadi maksimal Rp 5 miliar. Atas perubahan itu, dosis sianida RUU RN dikurangi, tetapi masih mengancam kebebasan pers.
Kesimpulan
Dari desain RUU RN itu dapat disimpulkan, pertama, harapan rakyat agar pers dapat efektif membantu memerangi korupsi dan terselenggaranya pemerintahan bersih dikhawatirkan kian sulit terwujud. Ancaman penjara dan denda besar akan melumpuhkan fungsi kontrol pers dan mematikan jurnalisme investigasi.
Kedua, RUU RN yang berorientasi rezim ketertutupan akan mempersempit bahkan berpotensi menutup akses publik dan pers atas sumber informasi yang bermasalah, yang diduga korup.
Ketiga, argumentasi bahwa RUU RN melindungi kepentingan nasional patut diwaspadai karena berintensi melindungi penyelenggara negara yang berorientasi kepentingan kelompok dan individu. Leo Batubara Wakil Ketua Dewan Pers
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/14/04202884/.kebebasan.pers.terancam
Senin, 14 September 2009 | Oleh Agus Sudibyo
Korporasi yang melakukan tindak pidana rahasia negara dipidana dengan pidana denda paling sedikit 50 miliar rupiah dan paling banyak 100 miliar rupiah. Korporasi tersebut juga dapat dijadikan sebagai korporasi di bawah pengawasan, dibekukan, atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi yang terlarang."
Itulah bunyi Pasal 49 RUU Rahasia Negara (RUU RN) yang telah dibahas tuntas Panitia Kerja (Panja) RUU RN.
Membaca pasal ini, kita harus membayangkan keberadaan korporasi media. Media massa adalah korporasi yang tiap hari berurusan dengan akses informasi publik. Media massa juga sering menghadapi klaim-klaim rahasia negara dari lembaga pemerintah.
Jika RUU RN diterapkan, pidana denda Rp 50 miliar-Rp 100 miliar hampir pasti secara ekonomi akan membunuh eksistensi media-media kita. Jika diterapkan terhadap korporasi media, sanksi pembekuan atau pencabutan izin, serta penetapan sebagai korporasi terlarang tak lain dan tak bukan adalah bentuk pemberedelan. Maka, RUU RN adalah ancaman serius bagi iklim kebebasan informasi dan kebebasan pers di Indonesia.
Pejabat
Problem yang tak kalah pelik adalah lingkup kerahasiaan negara yang terlalu luas dan tidak spesifik melindungi informasi strategis pertahanan. Rahasia negara sebagaimana diputuskan Panja RUU RN masih mencakup antara lain, "informasi tentang posisi dan aktivitas pejabat negara yang berwenang dan bertanggung jawab dalam kondisi kesiagaan pertahanan dan/atau keadaan bahaya", "informasi yang berkaitan dengan persenjataan, amunisi, dan teknologi untuk keperluan pertahanan dan keamanan".
Dapat dibayangkan, betapa anarkis jika semua informasi tentang posisi dan aktivitas pejabat bidang pertahanan bersifat rahasia negara tanpa terkecuali. Demikian juga jika semua informasi tentang persenjataan, amunisi, dan teknologi pertahanan dikategorikan rahasia negara tanpa kecuali.
Rahasia negara dirumuskan secara longgar, elastis, tanpa menimbang konsekuensi terhadap prinsip-prinsip akuntabilitas dan transparansi tata kelola pemerintahan. Rahasia negara tidak dirumuskan berdasar asas "keterbukaan yang maksimum dan perahasiaan yang ketat dan terbatas (maximum access and limited excemption) guna melindungi hak-hak publik atas informasi".
Panja RUU RN telah memperbaiki rumusan dengan menyematkan kata "tertentu" pada beberapa jenis rahasia negara. Maka muncul rahasia negara sebagai "informasi rencana alokasi dan pembelanjaan tertentu", "informasi tertentu yang berkaitan dengan alokasi anggaran dan pembelanjaan serta aset pemerintah yang tepat untuk tujuan keamanan nasional".
Namun, tidak dijelaskan siapa yang berhak "menentukan" dan melalui pengaturan level mana "penentuan" dilakukan? Akan amat riskan jika penentuan jenis rahasia negara tidak tuntas pada tingkat undang-undang. Menyerahkan penentuan ini kepada peraturan pemerintah atau regulasi internal badan publik sama dengan memberi peluang pejabat publik untuk mereduksi rahasia negara menjadi sekadar rahasia birokrasi atau rahasia instansi.
Masalah berikut, rahasia negara tidak hanya merujuk pengaturan UU RN, tetapi juga pengaturan undang-undang lain (Pasal 6b). Rahasia negara atau pengecualian informasi yang diatur undang-undang lain otomatis ditetapkan sebagai rahasia negara.
Misal, dilihat salah satu rumusan rahasia negara di bidang hubungan luar negeri, "informasi dan dokumen berklasifikasi rahasia yang berkaitan dengan perjanjian internasional... dengan negara lain, organisasi internasional dan subyek hukum internasional lainnya."
Tidak jelas apa dasar klasifikasi rahasia ini, UU RN atau undang- undang lain! Rahasia negara seperti rimba luas tak bertepi, di mana tiap undang-undang dapat menetapkan rahasia negara sendiri. Janji sekadar janji jika pemerintah menyatakan UU RN sebagai perangkat pendisiplinan klaim-klaim rahasia negara sepihak dan sektoral, seperti yang sering terjadi selama ini.
Kepentingan sendiri
Ben Anderson (1990) menjelaskan rezim Orde Baru sebagai fenomena kebangkitan negara dan kemenangannya atas masyarakat. Fenomena negara sebagai sistem otonom, mempunyai kepentingan sendiri, terpisah dari kepentingan masyarakat (a state of its own). Fenomena ini kurang lebih tecermin dalam RUU RN. Negara dibayangkan mempunyai rahasia sendiri, bukan hanya di hadapan pihak asing, tetapi juga di hadapan warga sendiri. Para perumus kebijakan secara otonom mendefinisikan rahasia negara berdasar kepentingan dan rasionalitasnya sendiri, tanpa menakar kepentingan dan sudut-pandang masyarakat.
Hampir mustahil DPR tidak menyadari UU RN menegasikan capaian fundamental UU Keterbukaan Informasi Publik yang notabene adalah hasil jerih payah mereka sendiri: pelembagaan kebebasan informasi sebagai bagian integral hak konstitusional warga untuk mengontrol penyelenggaraan pemerintahan. Kebebasan informasi sebagai upaya menempatkan publik sebagai subyek determinan—bukan sekadar obyek terdeterminasi—dalam proses penyelenggaraan kekuasaan.
Sulit dipahami DPR tidak menyadari UU RN akan menghambat fungsi pengawasan DPR terhadap eksekutif. Seperti halnya sulit dipahami, seorang presiden terpilih secara demokratis meninggalkan kado buruk kepada demokrasi pada akhir masa jabatannya kali ini. Agus Sudibyo Aliansi Masyarakat Menentang Rezim Kerahasiaan
http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/09/14/04195239/senja.kala.kebebasan.pers
Tidak ada komentar:
Posting Komentar