10 Juli 2009

Industri Televisi Kita (Opini Amir Effendi Siregar)

Saat kampanye lalu, para calon presiden dan calon wakil presiden hampir tidak ada yang membicarakan perkembangan media, terutama televisi.

Kita juga tidak cukup memberi perhatian pada perkembangan industri televisi yang kini berjalan bak berprinsip neoliberal, menyerahkan perkembangan industri sepenuhnya kepada pasar bebas. Perkembangan ini perlu dikoreksi karena bertentangan dengan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sistem politik yang demokratis seharusnya mengubah sistem media yang otoriter represif dan sentralistis ke arah demokratis dan desentralistis. Namun, yang terjadi adalah perpindahan ke dalam dominasi segelintir pemodal dan pemilik stasiun televisi. Perpindahan ke sistem otoriter dan dominasi baru kelompok swasta sama bahayanya dengan dominasi negara. Inilah yang kita sebut jalan neoliberal.

Dalam kondisi ini, pemilik stasiun televisi yang menggunakan ranah publik dapat menggunakan stasiun televisinya untuk kepentingan pribadi. Demikian juga keseragaman isi yang banyak dikritik masyarakat adalah akibat sentralisme siaran televisi.

Kepemilikan

Arah pemusatan kepemilikan stasiun televisi dapat dilihat secara terbuka. Pada Juni 2007, diketahui melalui pasar modal, PT Media Nusantara Citra Tbk (MNC) menguasai 99 persen stasiun RCTI, 99 persen Global TV, dan 75 persen TPI. Melalui media juga dapat dibaca rencana penggabungan antara Indosiar dan Surya Citra Media Tbk (SCTV) sehingga sebuah badan hukum menguasai dua stasiun televisi di satu daerah.

Seperti yang dinyatakan Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI) dalam somasinya terhadap pemerintah pada 29 Oktober 2007, hal itu adalah peristiwa yang melanggar undang-undang yang membatasi satu orang atau badan hukum menguasai beberapa lembaga penyiaran, paling banyak memiliki dua izin penyelenggaraan penyiaran televisi yang berlokasi di dua provinsi yang berbeda.

Di Amerika Serikat saja, kepemilikan televisi dibatasi berdasar jangkauannya. Seseorang boleh memiliki banyak stasiun televisi selama jumlah nation's TV homes yang dijangkau (jangkauan terhadap penduduk yang mempunyai akses) tidak lebih dari 39 persen.

Untuk Indonesia, berdasar data Media Scene 2006-2007, jangkauan setiap televisi swasta dengan puluhan stasiun relai membuat 60-90 persen penduduk dapat mengaksesnya. Jumlah ini jauh lebih besar daripada yang diizinkan di Amerika Serikat. Apalagi bila menguasai lebih dari satu lembaga penyiaran yang memiliki puluhan bahkan ratusan stasiun relai.

Melalui pemberitaan, kita juga mengetahui adanya jual beli lembaga penyiaran. Seharusnya pengalihan penguasaan frekuensi yang merupakan public domain diatur oleh negara dan didistribusikan secara tepat, adil, dan merata berdasar prinsip keanekaragaman. Industri televisi berbeda dengan industri sepatu, tidak dapat dilepas begitu saja ke pasar yang dikuasai pemodal besar tertentu saja.

DPR melalui Komisi I, dalam rapat kerja 15 September 2008, pernah tegas meminta agar pemerintah membatalkan izin yang diberikan kepada sebuah perusahaan yang dinilai melanggar undang-undang. Selain itu, dalam rapat kerja Komisi I dengan Menteri Komunikasi dan Informatika (17/3/2008), pemerintah didesak menyelesaikan pengaturan penggunaan frekuensi dan penyelenggaraan penyiaran swasta, termasuk masalah monopoli, kepemilikan TV, dan radio, agar sesuai dengan undang- undang penyiaran, yang mengacu pada prinsip diversity of ownership dan diversity of content.

Selanjutnya, anggota MPPI sendiri, sejak Juli hingga Oktober 2008, mendaftarkan ke pengadilan tiga gugatan terhadap pemerintah yang dianggap membiarkan pelanggaran hukum. Salah satu gugatan menyangkut kepemilikan sebuah perusahaan terhadap tiga lembaga penyiaran sekaligus.

Untuk gugatan ini, perdamaian melalui pengadilan telah dicapai, yaitu setiap pihak secara bergandeng tangan akan menegakkan peraturan perundang- undangan. Namun, hingga kini, belum ada perkembangan berarti. Tampaknya pemerintah tidak keberatan terhadap merger yang berdasarkan pendapat banyak pihak melanggar peraturan perundang-undangan di bidang penyiaran.

Ada arti sosial

Bila dulu negara mengooptasi pelaku usaha untuk kepentingan rezim, kini dikhawatirkan kooptasi dilakukan pelaku usaha terhadap birokrat hanya untuk kepentingan bisnis dan melupakan kepentingan masyarakat. Kita menerima ekonomi pasar, tetapi yang selalu diperbaiki dan dikontrol oleh negara terutama hal-hal yang terkait ranah publik, pencerdasan bangsa, dan usaha kecil. Ekonomi pasar harus mempunyai arti sosial, inilah yang disebut ekonomi pasar.

Diharapkan, pemerintahan mendatang menghindari jalan neoliberal, melakukan langkah tegas dalam membangun sistem penyiaran yang demokratis. Sebuah sistem yang melahirkan keragaman isi dan kepemilikan.

Amir Effendi Siregar Ketua Dewan Pimpinan Serikat Penerbit Suratkabar (SPS) Pusat; Dosen Komunikasi Universitas Islam Indonesia. Yogyakarta

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/11/04542853/industri.televisi.kita

Tidak ada komentar: