Keprihatinan berbagai pihak terhadap kebebasan tayangan acara televisi publik di tanah air yang dinilai sudah membahayakan bagi ketahanan keluarga dan moral masyarakat, terus meluas.
Bahkan sebuah penelitian dilakukan Yayasan Sains, Estetika, dan Teknologi (SET) menunjukan hampir 51 persen masyarakat Indonesia yang menjadi responden menyatakan tayangan televisi sudah membahayakan dan tidak lagi ramah terhadap keluarga yang menjadi pemirsa, kata Deputi Direktur Yayasan SET, Agus Sudibyo pada sebuah seminar di Bandung, pekan lalu.
Seminar bertema "Rating Publik: Menuju Televisi Ramah Keluarga" yang diselenggarakan di Aula Serba Guna Rektorat Universitas Padjadjaran (Unpad) di Jalan Dipati Ukur Bandung dibuka Wakil Gubernur Jabar Macan Efendi Yusuf yang juga dikenal sebagai Dede Yusuf aktor film laga.
Yayasan SET yang bergerak dalam bidang riset media itu melansir data riset terhadap 212 orang responden dari berbagai kalangan dengan metode kuota sampling terhadap kalangan yang mempunyai perhatian terhadap tayangan televisi dan mampu memberikan penilaian kritis terhadap program televisi.
Masyarakat pemirsa TV menilai tayangan sinetron tidak meningkatkan emansipasi sosial, tidak memberikan model perilaku yang baik, sarat kekerasan, tidak ramah anak, dan tidak ramah lingkungan.
Riset yang dilakukan pada April 2009 itu juga menunjukkan televisi lebih mengutamakan program hiburan dan diiyakan sebanyak 93,4 persen, namun kualitasnya sangat buruk dengan angka 40,1 persen responden yang setuju. Kondisi itu menunjukkan kuantitas acara hiburan tidak berbanding lurus dengan kualitasnya.
Hal yang menarik pada data hasil riset itu dimana tayangan acara-acara politik justru dianggap lebih memberikan pendidikan dan jauh berkualitas dibandingkan sinetron yang ditayangkan.
Banyaknya kuantitas acara politik di televisi diiyakan 68,9 persen responden dan kualitas sangat bagus diamini 64,9 persen responden. Sementara 2,4 persen responden yang mengatakan tayangan politik sangat buruk. Secara umum, kualitas program televisi dinilai memberikan model perilaku yang buruk, namun juga menambah pengetahuan.
Hal yang menjadi masalah pengiklan yang kebanyakan seperti asal saja menaruh iklannya pada suatu tayangan dengan rating tinggi. Bahkan pada data yang dilansir Yayasan SET itu, pemerintah melalui departemen pendidikan dan kebudayaan mengiklan pada acara "Padahal tayangan itu tidak berkualitas namun disukai," ucap Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi (Fikom) Unpad Prof Dr Deddy Mulyana.
Masyarakat harus mampu membedakan acara yang berkualitas dengan acara yang disukai. Keadaan itu memengaruhi pemilihan tayangan pemirsa. Makanya, media literasi harus terus digalakkan."Media literasi bukan hanya untuk masyarakat, tapi pengiklan juga, agar mereka turut serta mendidik masyarakat," tegas Deddy Mulyana.
Selain itu, masyarakat pun tidak bisa hanya bergantung kepada pemerinta untuh mengatur dan mengawasi. Masyarakat itu yang punya frekuensi, jadi masyarakat yang menentukan. Para pengasuh tayangan televisi pun diharapkan sadar bahwa mereka meminjam frekuensi publik. Dengan demikian, kepentingan publik haru lebih diutamakan.
Sementara itu, dikesempatan yang sama, Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Barat, Dadang Rahmat mengatakan, akan merampungkan program televisi berjaringan pada 28 Desember 2009. "Ini KPI lakukan untuk kemudahan pengelolaan televisi serta perbaikan program tayangan 3agar ramah keluarga dan mendidik," katanya. -kpi.go.id
Ini Alasan MK Batalkan Status RSBI/SBI
11 tahun yang lalu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar