13 September 2008

Selamat Datang, Ya (Pasar) Ramadhan...

KOMPAS/ARBAIN RAMBEY / Kompas Images

Ilham Khoiri

Dulu, Ramadhan di Tanah Air identik dengan laku asketisme. Beberapa tahun belakangan, ketika konsumerisme melanda kota-kota besar, bulan suci umat Islam itu menjelma sebagai perayaan komodifikasi ritual keagamaan. Bagaimana pergeseran itu terjadi?

Semarak menyambut Ramadhan tahun 2008 ini terasa sejak awal September lalu. Setidaknya itu terlihat dari layar televisi yang dipenuhi berbagai acara bernuansa puasa, mulai dari sinetron, kuis, humor, ceramah, berita, musik, sampai gosip artis. Acara-acara ini makin membeludak saat berbuka atau sahur.

Tayangan itu dikemas dengan melibatkan ikon atau simbol keislaman yang hampir seragam. Studio didesain dengan interior kaligrafi Arab atau beduk. Artis yang muncul pakai jilbab, baju koko, atau peci.

Selain citra keislaman, berbagai acara itu sama-sama dipadukan dengan berbagai iklan. Jangan heran jika acara-acara Ramadhan—yang banyak berupa humor atau kuis berhadiah itu—lebih terasa sebagai jualan produk ketimbang renungan agama. Menyaksikan acara-acara itu, pemirsa seperti tak henti dirayu untuk belanja berbagai produk.

"Ritual-ritual puasa di televisi telah dimanfaatkan untuk menggiatkan semangat konsumtif," kata Ahmad Sanusi (50), warga Pamulang, Tangerang.

Itu di layar kaca. Dalam kehidupan nyata sehari-hari, arus konsumsi selama Ramadhan juga kental. Keriuhan di pusat perbelanjaan, mal, atau pasar bisa menggambarkan betapa masyarakat makin getol belanja bersamaan dengan datangnya puasa.

Saking giatnya belanja, beberapa jalan raya di sekitar mal sampai macet total pada akhir pekan sebelum Ramadhan. Sabtu (30/8) lalu, misalnya, lalu lintas di jalan di seputar perempatan Lebak Bulus, di dekat Carrefour, macet total hingga berjam-jam.

Mal menyambut peluang ini dengan cekatan. Contohnya Sogo Plaza Senayan, yang menempelkan tulisan di setiap eskalator: "belanja sambil berbuka", "belanja sambil beramal". Jurus serupa diterapkan Metro, Seibu Grand Indonesia, beberapa gerai di Senayan City, Matahari Citos, Mal Taman Anggrek, hingga toko-toko di Mal Ambasador, dengan memajang busana muslim dan muslimah di bagian depan.

"Pengunjung meningkat pas Ramadhan ini, baik untuk makan maupun berbelanja," kata Manajer Humas Plaza Indonesia Titi Ndari.

Suasana Pasar Tanah Abang lebih hiruk-pikuk lagi. Hari-hari ini, pasar grosir tekstil terbesar di Indonesia itu diserbu ribuan pembeli yang mengincar busana muslim. Melihat potensi itu, presenter dan desainer Ivan Gunawan buka butik di Pusat Grosir Metro Tanah Abang. "Saya jualan pas puasa supaya bisa langsung terpakai," jelas Ivan.

Memang, begitu butik Ivan dibuka, Rabu (10/9) lalu, pembeli langsung menggeruduk. Banyak ibu-ibu memborong sampai sepuluh buah baju yang harganya bervariasi, antara Rp 80.000-Rp 260.000 per potong.

Komodifikasi

Apa yang sesungguhnya bermain di balik semarak konsumsi selama Ramadhan? Pasar. Ya, bulan suci umat Islam itu kini jadi ajang strategis untuk memasarkan berbagai produk industri. Kapitalisme yang semakin lihai berusaha menangkap peluang memanfaatkan ikon atau simbol agama demi mengeruk keuntungan bisnis.

Menurut pengamat komunikasi dan gaya hidup, Idi Subandy Ibrahim, Ramadhan sekarang memang telah dikomodifikasi besar-besaran. Segala sesuatu yang terkait ritual puasa disulap jadi komoditas untuk diperjualbelikan. Sadar atau tidak, masyarakat masuk dalam pusaran arus konsumsi itu.

Puasa yang semestinya mengajarkan hidup sederhana akhirnya dijadikan momen pentas gaya hidup yang boros dan glamor. Kesalehan dipamerkan lewat artefak simbolis yang instan, seperti jilbab, baju koko, atau surban. "Spiritualitas Ramadhan jadi 'spiritualitas bersenang-senang'. Puasa dimaknai lewat kemeriahan yang dangkal," katanya.

Komodifikasi itu ternyata berjalan seiring dengan formalisme agama. Muncul kelompok-kelompok Islam radikal yang bergerilya menutup panti pijat, diskotik, atau rumah makan pada siang hari dengan dalih dianggap mengganggu ibadah puasa. Gerakan ini meresahkan penganut agama lain atau pemeluk Islam sendiri yang kebetulan tidak berpuasa karena alasan syariat.

"Kelompok ini mengumpulkan ayat-ayat suci untuk membenarkan diri sendiri seraya memberangus orang lain. Saat puasa, semangat agama yang penuh kasih sayang menjelma jadi spiritualitas untuk 'berperang'," kata Idi Subandi.

Evolusi

Semarak konsumsi selama Ramadhan terjadi melalui evolusi watak keagamaan yang panjang. Dulu, hingga tahun 1980-an, bulan puasa identik dengan hidup bersahaja. Kemeriahan menyatu dengan gairah keagamaan, seperti kemeriahan pukul beduk, anak-anak riang gembira pergi ke masjid, shalat tarawih, atau baca puji-pujian.

Penulis asal Banyumas, Ahmad Tohari, mengenang suasana romantis puasa di kampungnya dulu, di Tinggar Jaya, Jatilawang, sekitar 30 kilometer dari kota Banyumas, Jawa Tengah. Orang-orang menunggu suara kokok ayam jantan sebagai tanda waktu imsak dan menanti kelelawar beterbangan pada sore hari sebagai tanda berbuka.

"Sahur dan berbuka dilakukan dengan sederhana. Puasa dianggap sebagai laku prihatin untuk mengendalikan nafsu," katanya.

Suasana berubah ketika televisi swasta tumbuh pada awal tahun 1990-an. Berbeda dengan TVRI—mengudara sejak tahun 1962—yang menyiarkan acara keagamaan secara formal dan monoton, televisi swasta mengemas acara keagamaan secara lebih atraktif dengan diselingi iklan.

Senior Manager Public Relation SCTV Budi Darmawan mengungkapkan, SCTV mulai menggarap waktu sahur tahun 1995. Ternyata siaran itu banyak ditonton dan berpotensi meraih banyak iklan. "Sejak itu, SCTV serius menggarap program Ramadhan di waktu sahur, buka, dan waktu lain," katanya.

Setelah Reformasi tahun 1998, seiring dengan bertambahnya televisi swasta lain, makin kencang pula tayangan keagamaan yang dipadukan dengan iklan dan gaya hidup materialis. Saat serbuan arus pasar global tambah deras, watak keagamaan pun bersentuhan dengan arus konsumsi.

Apa mau dikata, jika dulu Ramadhan identik dengan laku asketis, hidup sederhana, kini Ramadhan lekat dengan kemeriahan pasar. Marhaban, ya Ramadhan... (budi suwarna/susi ivvaty)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/14/01260882/selamat.datang.ya.pasar.ramadhan...

Tidak ada komentar: