19 Agustus 2008

Pers Kian Terancam (Opini Leo Batubara)

Majelis Hakim Konstitusi, yang dipimpin Harjono dalam sidang di Mahkamah Konstitusi Jakarta (15/8/2008), menolak permohonan uji materi pasal pidana penjara untuk penghinaan dan pencemaran nama baik dalam KUHP.

Menurut MK, Pasal 310 Ayat 1 dan 2, Pasal 311 Ayat 1, Pasal 316, dan Pasal 207 KUHP yang menyangkut penghinaan dan pencemaran nama baik tak bertentangan dengan konstitusi. MK menyebut pejabat publik yang menjalankan tugas memerlukan perlindungan hukum.

Permohonan itu diajukan wartawan Risang Bima Wijaya dan Bersihar Lubis. Mereka memohon, wartawan tidak lagi dipenjarakan karena menjalankan tugas jurnalistik. Sesuai paham demokrasi, sanksinya adalah denda yang proporsional. Pidana penjara terhadap wartawan bertentangan dengan hak konstitusional rakyat yang diamanatkan Pasal 28E dan Pasal 28F UUD 1945.

Kriminalisasi pers

Keberpihakan MK terhadap politik hukum pemerintah yang mengkriminalkan pers dalam pekerjaan jurnalistik dapat dikatakan sebagai endorsement MK terhadap politik hukum pemerintahan Presiden SBY yang kian mengancam pers. Para menteri pemerintahan SBY dan DPR bekerja sama menerbitkan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UUITE/No 11/2008) dan UU Keterbukaan Informasi Publik (UUKIP/No 14/2008) yang dapat mengkriminalkan pers. Sebulan sebelumnya Mendagri mengusulkan dan DPR menyetujui pemberlakuan UU Pemilu (No 10/ 2008). Beberapa pasalnya dapat membredel media cetak bila iklan pemilunya (1) mengganggu kenyamanan pembaca, serta (2) tidak adil dan tidak berimbang.

Putusan MK, yang memberi pembenaran terhadap kebijakan kriminalisasi pers, tentu akan menyemangati Menteri Hukum dan HAM serta Menteri Pertahanan. Departemen Hukum dan HAM akan lebih optimistis memenangkan RUU KUHP, yang ancaman hukuman penjaranya terhadap pers didesain lebih banyak dan lebih lama. Departemen Pertahanan juga menyiapkan RUU Rahasia Negara, yang demi melindungi pejabat orientasinya masih mempertahankan konsep paradigma lama, yakni lebih berkecenderungan rezim kerahasiaan ketimbang keterbukaan.

Produk hukum hasil pemerintah, DPR, dan MK sebagaimana dikemukakan adalah produk hukum paradoks. Paradoks pertama, Presiden SBY dalam berbagai kesempatan selalu mendukung kebebasan pers. Paradoksnya, para menterinya proaktif menerbitkan UU yang mengancam pers. Dalam persidangan di MK, yang mewakili pemerintah dan mengemukakan pendapatnya adalah ahli pemerintah Dr Mudzakir dan Djafar Husin Assegaff.

Dr Mudzakir berpendapat,"... untuk masyarakat adat kita dan dalam ajaran agama, tindak pidana penghinaan termasuk kategori berat. Mengacu Pasal 28G UUD 1945 dan hukum yang hidup dalam masyarakat hukum Indonesia serta agama yang diakui di Indonesia, maka pasal-pasal yang terkait dengan penghinaan diperberat ancaman sanksi pidana penjaranya…."

Djafar Assegaff menyatakan, "Pasal 310 Ayat 1 dan Ayat 2, Pasal 311 Ayat 1, Pasal 316 dan Pasal 207 KUHP masih perlu dipertahankan karena menjamin kehormatan dan nama baik tiap anggota masyarakat dari pemberitaan media massa."

Kedua, kendati reformasi menempatkan Indonesia menjadi negara demokrasi, MK masih meng-endorse hukum politik Belanda yang menilai kritik orang pergerakan dan pers terhadap penguasa adalah kejahatan.

Ketiga, selama delapan tahun Dewan Pers melakukan sosialisasi ke-33 provinsi, termasuk bertemu dengan penegak hukum bahwa bila pers melakukan kesalahan dalam pekerjaan jurnalistik agar diproses dengan pedoman UU Pers (No 40/1999).

Putusan MK itu dapat berdampak, penegak hukum bukan lebih dulu memeriksa pejabat bermasalah sesuai yang diberitakan pers profesional, tetapi justru meng-KUHP-kan pers yang memberitakannya.

Keempat, pers profesional yang terpanggil melaksanakan jurnalisme investigasi dalam pengupayaan pemerintahan yang bersih dan baik justru berisiko menjadi penjahat berdasar putusan MK itu.

Kelima, dua asosiasi wartawan—Aliansi Jurnalis Independen dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia—dalam sidang MK mengemukakan sikapnya mendukung permohonan pemohon. Dalam Kongres XXI di Palangkaraya (4/10/2003), PWI mengeluarkan deklarasi "Menolak segala bentuk dan isi perundang–undangan, termasuk Draf RUU KUHP, yang mengancam kemerdekaan pers. Menolak segala tindakan kriminalisasi terhadap karya jurnalistik dan untuk itu diserukan kepada semua pihak agar menghormati supremasi hukum dan HAM secara adil."

Paradoksnya, sikap tertulis PWI (3/7/2008) yang ditandatangani Torozatulo Hendrofa, SH (mewakili Ketua Umum PWI Pusat) dan dikirim ke MK justru mendukung kebijakan kriminalisasi pers dan tegas menolak permohonan pemohon.

Ancaman meningkat

Tahun ini, pemerintah dan DPR meningkatkan ancaman terhadap pers. Di tengah peringatan 63 tahun kemerdekaan, pers Indonesia terancam kehilangan kemerdekaannya. MK resmi memproklamasikan keberpihakannya kepada hukum kolonial Belanda yang mengkriminalkan pers.

Dewan pers menolak ketentuan pembredelan pers dan menolak politik hukum yang mengkriminalkan pers. Dua kendali kekuasaan itu akan melumpuhkan fungsi kontrol pers. Lumpuhnya kontrol pers akan menguntungkan pejabat, politisi, dan pengusaha yang tak becus, korup, dan rakyat terus dikorbankan. Tampaknya Majelis MK gagal menangkap pesan itu. Leo Batubara Wakil Ketua Dewan Pers

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/08/20/00311585/pers.kian.terancam

Tidak ada komentar: