09 Agustus 2008

Caleg Artis, Politik Bukan Panggung Hiburan

Sukses Dede Yusuf dan Rano Karno memenangi pemilihan kepala daerah seakan menjadi magnet bagi para selebriti untuk menjajal nasibnya di panggung politik. Tak kurang dari orang-orang top di panggung hiburan seperti pedangdut Ayu Soraya dan Saiful Jamil, pesinetron Dicky Candra, dan sebagainya kini terlibat dalam pilkada di daerah asalnya.

Popularitas dalam pemilihan diyakini memiliki kekuatan besar dalam meraih dukungan suara. Sejumlah riset politik memang senantiasa menyertakan popularitas kandidat sebagai salah satu indikator. Tapi, apakah popularitas menjamin seorang kandidat memenangi pemilihan?

Perilaku orang menentukan pilihan dalam sebuah pemilihan amat rumit. Tidak cukup hanya bermodal popularitas belaka. Pengalaman sejumlah orang terkenal yang gagal dalam berbagai pemililihan kepala daerah juga cukup banyak. Tapi, popularitas memang menjadi elemen penting dalam penentuan orang melakukan pilihan.

Keterlibatan selebriti dalam panggung politik sesungguhnya merupakan sesuatu yang lumrah. Bukan hanya di negeri ini. Ambil saja contoh selebriti AS, Ronald Reagan dan Arnold Schwarzenegger, yang juga masuk arena politik serta berhasil menjadi presiden dan gubernur. Yang membedakan dari AS, mereka sejak awal aktif menjadi anggota partai politik. Sementara di Indonesia, para selebriti tiba-tiba saja masuk arena pilihan, tanpa melalui proses perekrutan yang tertata.

Fenomena masuknya kaum selebriti dalam praktik pemilihan di Indonesia itu, dari sisi lain, memperlihatkan kurang berfungsinya partai politik. Dalam konsep politik, parpol memiliki fungsi untuk melakukan pendidikan politik, komunikasi politik, serta perekrutan politik. Fungsi-fungsi tersebut seakan-akan kurang maksimal.

Dalam konteks pendidikan politik misalnya, publik atau konstituen parpol hampir tidak mendapatkan pencerahan pengetahuan dari parpol. Parpol lebih banyak melakukan mobilisasi belaka dan hanya mengajak publik untuk loyalis sejati (die harder) tanpa memperoleh pengetahuan memadai.

Dalam konteks komunikasi politik, parpol kurang memiliki argumentasi-argumentasi (yang disertai data valid) dalam mengejawantahkan aspirasi publik. Indikasi tersebut setidaknya tecermin dalam teks media massa yang lebih banyak menampilkan konflik parpol daripada substansi apa yang diperjuangkan parpol dalam sidang-sidang parlemen.

Masuknya kaum selebriti juga memperlihatkan tiadanya proses perekrutan yang baik. Seandainya parpol mampu menjalankan fungsi perekrutan dengan baik, seharusnya mereka tak repot-repot menggotong para selebriti tersebut.

Akibat tak berjalannya fungsi parpol, ketika menghadapi pemilihan, dilakukanlah cara yang instan. Parpol memakai jalan pintas, berkolaborasi dengan orang populer (selebriti) dan mengandalkan langkah marketing politik belaka. Langkah itu merupakan langkah yang lumrah dalam pemilihan, khususnya saat kampanye.

Tapi, menggunakan selebriti diharapkan bisa meningkatkan dan mempercepat perolehan dukungan publik. Lantaran parpol takut kalah, ''jalan pintas'' itu membuat parpol tidak harus bersusah-susah memopulerkan kandidat yang dijagokan.

Apakah kandidat dari selebriti menjamin peraihan suara dalam pilkada? Ada sejumlah faktor yang memengaruhi orang melakukan pilihan. Di antaranya, faktor ikatan politik/ideologi, kandidat, personality, dan wacana/issue program.

Nah, dalam konteks runtuhnya kekuatan ikatan politik dan ketidakyakinan publik terhadap janji (yang diwacanakan dalam program kampanye), kualitas sosok kandidat dan kepentingan personal pemilih menjadi kunci penentu.

Realitas masuknya selebriti dalam panggung politik hendaknya menjadi pemicu bagi parpol untuk bisa lebih memanajemen fungsi yang diemban. Selebriti hendaknya tidak hanya mengandalkan popularitas belaka. Sebab, panggung hiburan dan panggung politik amat berbeda. Panggung politik idealnya menjadi ranah orang-orang dengan kapabilitas memadai dalam pemahaman kebutuhan publik.

Tapi, apa boleh buat memang, saat ini panggung politik belum sepenuhnya terisi oleh pribadi-pribadi yang mampu memenuhi kebutuhan publik. *. Suko Widodo, dosen komunikasi FISIP Universitas Airlangga, Jawa Pos Sabtu, 09 Agustus 2008

Tidak ada komentar: