30 Juli 2008

Tjandra Wibowo: Idealisme yang Tertanam sejak Kecil

Didit MajaloloTjandra Wibowo

Pada 1991, wajah Tjandra Wibowo (41) mulai menghiasi layar kaca. Di Televisi Pendidikan Indonesia (TPI), tepatnya, sebagai reporter sekaligus produser untuk program spesial. Ia memilih nama panggilan sehari-hari, dari nama panjangnya yang indah, Sutjiati Eka Tjandrasari, dan menambahkan nama ayahnya.

Tjandra belum menyelesaikan pendidikan di Institut Pertanian Bogor (IPB) ketika bekerja di TPI. Alih-alih "nyambi bekerja", ia justru keterusan bekerja, apalagi acap mendapat tugas-tugas penting. Salah satu di antaranya, meliput penerbangan perdana N-250 pada 1995. Gelar sarjana biologi akhirnya berhasil disandang perempuan kelahiran 20 Juni 1967 ini, pada 1991.

Tjandra semakin dikenal ketika tampil sebagai presenter di Surya Cipta Televisi (SCTV). Di stasiun televisi itu, ia merangkap sebagai produser Liputan 6. Pekerjaan itu dilakoninya sampai dengan 2000. Pada 2002, ia menjadi Corporate Secretary PT SCTV, namun masih sempat mengerjakan program Potret, sebuah karya dokumenter.

"Program itu awalnya cuma jadi ending Liputan 6 Siang, tentang keragaman budaya. Lalu, muncul Potret sebelas episode yang ditayangkan setengah jam, secara stripping, menjelang ulang tahun SCTV," katanya.

Film dokumenter rupanya telanjur menjadi obsesinya. Obsesi itu pula yang membuatnya memutuskan keluar dari pekerjaan yang telah memberinya kenyamanan. Ada dorongan yang terus mengusiknya untuk membuat perusahaan sendiri, menelurkan ide-ide yang terus menggelegak dalam dirinya.

Tekad, semangat, gairah, ide, dan idealisme, itu kemudian ia wujudkan dengan mendirikan perusahaan pada 2002, PT Samuan Rumah Kreasi. "Saya mendirikannya bersama dua teman. Modalnya Rp 15 juta, dari menguras tabungan," katanya, dalam suatu perbincangan dengan SP.

Melalui perusahaan itu lahir karya-karya dokumenter lainnya, seperti Anganku, Kampoeng Halaman, Pijar, Satu Jiwa, dan karya-karya profil perusahaan. Program Anganku memotret anak-anak di seluruh penjuru Nusantara dan mimpi-mimpi mereka. Melalui program itu, Tjandra dan timnya meraih Femme Film Award dari Yayasan Jurnal Perempuan untuk kategori Dokumenter Terbaik pada Jiffest, Desember 2004.

Karya dokumenter Kampoeng Halaman, yang ditayangkan RCTI pada 2003, memotret keragaman budaya di Indonesia, berfokus pada interaksi warga dan lingkungannya. "Kekurangan-kurangan saat mengerjakan Potret menjadi bekal berharga saat membuat Kampoeng Halaman. Begitu ditayangkan, rating-nya tinggi. Tidak menyangka, karena itu karya dokumenter. Surprised banget," Tjandra tertawa, mengenang.

Prestasi berikut diraih Tjandra dan timnya melalui Program Pijar, karya dokumenter berdurasi 30 menit yang ditayangkan SCTV pada 2004-2006. Program yang memotret kemiskinan itu dibuat 117 episode bekerja sama dengan Yayasan Pundi Amal SCTV.

Program itu meraih The Asian Television Award untuk kategori Best Social Program, di Singapura, pada 2004. Program yang sama, yang berjudul "Aku Ingin Sekolah", dinominasikan meraih penghargaan dalam ajang festival Film Indonesia 2005 kategori Dokumenter Terbaik.

"Channel" Sendiri

Dari tiga orang, kini 27 orang terlibat dalam rumah produksi yang didirikan Tjandra. Kenyataan itu suatu saat pernah menyentakkannya. "Tiba-tiba saya harus menandatangani sejumlah besar uang untuk gaji karyawan?" istri Imam Sewoko, juru foto kantor berita asing itu, menggambarkan.

Tjandra jujur mengatakan, awalnya ia tidak mempunyai gambaran muluk menjalankan perusahaannya. Karena merasa sebagai pemilik, ia pergi ke kantor kapan saja. Perubahan terjadi ketika ia menggandeng teman kuliahnya. Mulanya hanya untuk merapikan laporan keuangan, namun kemudian merembet ke profesionalisme.

"Sama dengan proses dalam kehidupan, ada masa kanak-kanak, remaja, dewasa, berumah tangga, punya anak. Intinya, memang dari pemimpinnya. Kalau saya tidak bisa mengatur dan mengubah diri saya terlebih dulu, ke bawah pun tidak akan bisa saya lakukan," ujarnya.

Kepada rekan-rekan kerjanya, Tjandra menyatakan tekadnya untuk terus maju. Ia meyakinkan rekan-rekannya bahwa mereka bisa maju bersama. Ketika seorang instruktur dalam suatu pelatihan bertanya tentang impiannya ke depan, Tjandra langsung mengaitkan angannya dengan Discovery Channel atau National Geographic. "Kenapa nggak bikin channel sendiri? Karena kalau suplai ke tempat lain sangat bergantung pada tempat itu," ujarnya.

Tjandra tidak main-main ketika menyatakan keinginannya membangun stasiun televisi sendiri kelak. "Entah channel, atau apalah, yang jelas isinya karya-karya kami. Intinya, adalah perusahaan yang bisa mencerdaskan umat manusia di mana pun melalui karya audiovisual. Judul atau tag-nya mencerdaskan. Walau cuma satu orang pun yang jadi cerdas, tidak apa-apa. Tetapi, ada value pada produk kami," ia menambahkan.

Perusahannya, pada kenyataannya, berjalan baik. Tjandra tak menyembunyikan kegembiraannya ketika menceritakan kemampuannya menyisihkan keuntungan untuk mengirim karyawan dan keluarganya berekreasi tiga hari ke Bali.

Belakangan, Tjandra terjun memproduksi film layar lebar. Bekerja sama dengan adiknya, Satrijo Wibowo, dan iparnya, penulis Rachmania Arunita, ia memproduksi Lost In Love, yang ditayangkan di bioskop-bioskop 22 Mei lalu.

Lomba Karya Ilmiah

Jauh sebelum berkarya di televisi dan kemudian memproduksi film-film dokumenter, Tjandra sebetulnya sudah beberapa kali mencatat prestasi. Pada 1984, ia keluar sebagai juara pertama Lomba Karya Ilmiah Remaja LIPI/TVRI bidang kimia, melalui karyanya, "Kerang sebagai Indikator Pencemaran Lingkungan Perairan Pantai". Ia masih duduk di bangku SMA Regina Pacis, Bogor saat itu, dan aktif dalam kelompok ilmiah remaja.

Biro Pemasyarakatan Iptek Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), yang memayungi kelompok ilmiah remaja di sekolah-sekolah, acap membuat kegiatan bersama pada waktu itu. Tiga kegiatan besar yang rutin dilaksanakan adalah latihan dasar kepemimpinan, perkemahan ilmiah remaja nasional, dan lomba karya ilmiah.

Bertemu dengan teman-teman dengan hobi sama, dan kesempatan bertemu muka dengan para pakar di LIPI membuka wawasannya. "Mungkin karena dulu nyemplung di kegiatan-kegiatan LIPI itulah yang memberikan andil bagi saya membuat karya-karya dokumenter seperti Potret, Kampoeng Halaman, Anganku, Pijar, dan sebagainya," ujarnya.

Bukan hanya di lingkungan akademik Tjandra berprestasi. Setahun sesudah menang lomba karya itu, ia dinobatkan sebagai Puteri Remaja, ajang pemilihan gadis sampul yang diselenggarakan Majalah Gadis. Ajang itu juga menelurkan nama-nama terkenal seperti Petty Tunjungsari dan Tika Bisono.

"Bapak (almarhum, Red) sangat keras. Walaupun jadi Puteri Remaja, saya menghindari segala macam photo session dan sebagainya, untuk menghindari menjadi terkenal. Bapak tidak suka," kata anak sulung dari dua bersaudara itu, tersenyum.

Walau dilahirkan dari keluarga berada, ayahnya seorang dokter dan ibunya pengajar di perguruan tinggi, Tjandra dan adiknya, Satrijo, dididik dengan keras dan disiplin. "Sampai kuliah nggak pernah dikasih duit. Kalau ingin membeli sesuatu, harus upaya dulu," Tjandra mengibaratkan.

Ketika suatu saat ia menghilangkan kamera temannya, ia mendapat marah ayahnya. "Memang mudah cari uang? Ibarat tukang becak, kalau tidak nggenjot dulu, saya nggak bakal dapat uang," Tjandra menirukan kata-kata bapaknya. Tak mengherankan, ia terbiasa menulis sejak remaja, untuk mendapatkan uang saku.

Pendidikan seperti itu juga mengasah bakat berdagang adiknya. "Ia berdagang kecil-kecilan, seperti kartu nama dan sebagainya, sampai kemudian mampu mendirikan perusahaan sendiri di bidang desain grafis," tutur Tjandra.

Walau dididik dengan keras dan disiplin, Tjandra tidak menyesal. Ia bahkan bersyukur kini bisa menjadi pribadi mandiri. Kedisiplinan dan kehidupan keras yang diterapkan ayahnya benar-benar membekas dalam dirinya. Salah satunya, ia menjadi pribadi yang sangat komit.

"Dari kecil kepada saya ditanamkan nilai-nilai. Nilai kehidupan lebih penting daripada harta warisan, contohnya. Sampai besar dan dewasa seperti ini, saya tidak boleh prejudice, negative thinking, dalam bergaul. Walau dalam kenyataan kita menghadapi ada yang jahat kepada kita, pasti ada sisi baiknya, pasti ada nilai positifnya. Makanya dalam keseharian, walau tidak mendapatkan teman kerja yang terbaik tidak apa-apa, yang penting kerja sama berjalan dengan baik, saya bisa menangani," kata Tjandra, dalam beberapa kesempatan berbeda. [SP/Sotyati]

http://www.suarapembaruan.com/News/2008/07/29/index.html

Tidak ada komentar: