30 Juni 2008

Newspaper is Dead - Jawa Pos 59 Tahun (1)

oleh: Azrul Ananda

Newspaper is dead. Era koran sudah berakhir. Kalau belum, era koran sudah hampir berakhir. Dihajar televisi dan -yang kata orang paling mematikan- dihajar internet.

Harga koran terus naik, harga online terus turun. Kertas, jarak, dan waktu terbit menjadi penjara bagi koran untuk berkembang. Warga Melawi, Kalimantan Barat, sampai sekarang baru menerima koran sehari setelah terbit. Warga Bima, Nusa Tenggara Barat, masih mendapatkan koran yang beritanya terlambat sehari.

Di dua tempat itu, kalau mau, internet sudah tersedia. Belum cepat, tapi tinggal menunggu waktu (tidak lama) sebelum cepat. Ketika harga online terus turun, tidak ada alasan bagi warga-warga di sana untuk berlangganan koran bukan?

Ini belum bicara di Amerika Serikat, negara tempat di mana-mana orang bisa online. Secara keseluruhan koran terus turun. Yang besar-besar pun tinggal menunggu waktu untuk turun, bahkan mati.

Saya baca majalah Fortune edisi baru-baru ini. Marc Andreessen, salah satu pendiri Netscape yang juga pebisnis media (online, tentunya!), punya rencana besar seandainya memiliki koran sebesar New York Times.

Dia bilang akan mematikan "koran fisik" itu sesegera mungkin, pindah penuh ke online. "Lebih baik merasakan sakit parah sekarang daripada bertahun-tahun kesakitan," ucapnya.

Dia juga menyinggung, sangat sulit bagi New York Times untuk mengamankan masa depan, karena jajaran direksinya gaptek. "Ada yang pakar binatang, ada yang pakar makanan. Tapi, tak ada yang mengerti internet," katanya.

***

Beberapa waktu lalu saya diminta menjadi pembicara pada acara Hari Pers Nasional di Semarang. Menurut panitia, sudah waktunya mendengarkan pendapat orang-orang media yang masih "muda." Maksudnya, yang berusia belum 40 tahun.

Saya mewakili koran, membahas peran media koran dalam mewujudkan Indonesia 2030 yang ideal. Saya tidak salah ketik. Tahunnya benar-benar dua ribu tiga puluh.

Ya, terus terang, tak banyak yang bisa saya sampaikan. Saya bilang, ini ironis juga. Saya merupakan pembicara termuda, tapi bicara soal media yang paling kuno. Pada 2030, saya sudah berumur 52. Idealnya, ya saya sudah pensiun sejak umur 50. Lagi pula, emang ya bisa koran bertahan sampai 2030?

Kemudian, ratusan insan media (kebanyakan koran) yang ada di hadapan saya waktu itu usianya -maaf- tua. Bukan hanya 40-an. Tapi 50-an, bahkan ada yang 80-an.

Dalam hati, saya berpikir, "Buat apa saya bicara di depan bapak-bapak ini, kalau mereka belum tentu ada pada 2030 nanti?"

Bicara soal koran untuk 2030, bagi saya, sangat tidak realistis. Kalau bicara soal koran, sekarang sebaiknya maksimal untuk lima tahun ke depan. No more. Sekarang saja saya pribadi sudah jauh lebih banyak baca berita lewat internet. Minimal dua jam sehari. Koran? Maksimal 20 menit.

Apakah ini berarti koran harus sepenuhnya ditinggalkan? Penentunya masih sama seperti dulu sampai sekarang: Koran itu sendiri dan pembacanya.

***

Melihat orang-orang di acara pers itu, saya pun berpikir. Masalah koran mungkin bukan hanya pada usia medianya, tapi pada usia orang-orangnya. Perasaan yang sama saya dapati ketika mengikuti sebuah acara sepak bola nasional, beberapa waktu lalu.

Orang-orang yang mengurusi sepak bola itu masih sama dengan orang-orang yang saya baca di koran waktu masih SD dulu. Hanya satu atau dua yang usianya tidak jauh dari saya. Yang lebih muda dari saya hanya pemain.

Saya berpikir, "Apa karena ini ya sepak bola Indonesia tidak maju-maju? Ilmu yang sama diputar-putar sampai habis. Orang yang satu pindah ke tempat lain, memutar-mutar ilmu yang sama sampai habis."

Padahal, lingkungan sudah berubah. Ada beberapa tingkatan generasi baru yang lebih tahu tentang ilmu-ilmu baru. Mereka hanya belum mendapat kesempatan untuk menjajal ilmu-ilmu baru itu, lalu mengetahui kelemahan dan kesalahannya, karena orang-orang lama terus memaksakan ilmu-ilmu lama.

***

Sekali lagi, bukannya saya menyinggung mereka yang -maaf- tua. Karena saya suatu saat juga akan -maaf- tua. Dan, saya kelak mungkin bakal jadi orang -maaf- tua yang mudah tersinggung.

Saya tahu betul perjuangan koran. Saya dari keluarga newspaperman. Saya tidur di atas koran mungkin sejak bayi. Waktu lulus SMP pada 1993, saya diikutkan program siswa pertukaran ke Amerika Serikat supaya jauh dari koran. Dasar nasib, ternyata saya justru diterima dan tinggal di keluarga koran yang lain.

Pada 1993-1994, saya benar-benar bekerja di sebuah koran yang bergaya -maaf- tua. Namanya Ellinwood Leader, oplah mingguan hanya sekitar 1.500. Koran itu terbit di kota Ellinwood, Kansas, yang penduduknya hanya 2.500 dan kebanyakan -maaf- tua dan pensiunan.

Karena belum bisa berbahasa Inggris dengan baik dan benar, pekerjaan awal saya adalah fotografer, cuci cetak, sekaligus montase dan layout.

Kamera yang saya pakai masih Nikon FM-2 (full manual tanpa baterai). Cetak foto pakai enlarger (generasi sekarang mungkin sudah tidak tahu apa itu enlarger). Layout koran juga masih model gunting dan tempel di atas meja lampu. Di Jawa Pos sekarang, hanya satu atau dua orang yang pernah menjalani proses yang sama. Dan, mereka sudah -maaf- sangat tua.

Semua pekerjaan harus efisien. Ngetik kepanjangan, makin panjang juga yang harus digunting. Motret hanya modal film satu roll, tidak bisa ngebren ala machine gun seperti fotografer-fotografer digital sekarang. Habis motret pertandingan basket atau football, kalau tidak ada foto yang fokus, habislah sudah cerita koran minggu itu.

Menurut saya, segala pengalaman ini memberi saya skill set yang unik. Saya adalah generasi baru, tapi pernah menjalani dan merasakan kerja di koran gaya old school. Saya pun bisa menggabungkan efisiensi gaya lama itu dengan peralatan modern.

Jadi, sekali lagi, bukan berarti saya tidak respek dengan mereka yang -maaf- tua. Tapi, saya sudah tahu bahwa segala hal harus berubah, menyesuaikan dengan zaman. (bersambung) - [ Selasa, 01 Juli 2008 ]

Tidak ada komentar: