14 Maret 2010

Wartawan di Istana Kepresidenan

Kemesraan hubungan antara Presiden Soeharto dan wartawan yang sehari-hari meliput kegiatan Istana Kepresidenan merosot drastis setelah insiden Kelapa Gading, Jakarta Timur, tahun 1970-an.

Setiap reuni resmi maupun tidak resmi para wartawan istana, tragedi ini hampir tidak pernah luput dari pembicaraan.

Mengutip cerita dari buku yang ditulis Mas Casmo (wartawan istana sejak 1979 hingga masa Presiden KH Abdurrahman Wahid tahun 2001), peristiwa ini terjadi ketika Presiden Soeharto meninjau perumahan yang dibangun dengan bahan bangunan bermis (batu apung). Proyek itu dikembangkan salah satu yayasan yang dipimpin Pak Harto.

Waktu itu dengan bangga Pak Harto menceritakan proyek rumah percontohan gagasannya itu, yang rencananya akan dikembangkan untuk perumahan rakyat. Sedang asyik-asyiknya bercerita sambil berjalan mengelilingi kompleks perumahan, tiba-tiba seorang wartawan bertanya, "Semua ini biayanya dari mana, Pak?"

"Duitnya mbahmu," jawab Pak Harto dengan nada keras dan marah. Percakapan antara wartawan dan Presiden yang semula hangat berubah tegang.

"Setelah kejadian itulah tidak pernah lagi ada obrolan santai Presiden dengan wartawan yang sehari-hari meliput kegiatan Presiden. Pak Harto juga tidak pernah lagi mengadakan jumpa pers, kecuali dalam penerbangan kembali ke Tanah Air dari kunjungannya ke mancanegara," begitu cerita dari Casmo Tatilitofa.

Namun, saat itu, wartawan istana "tidak berani" menulis kritik terhadap istana. Beberapa hari setelah Pak Harto lengser, wartawan, termasuk yang di istana, membuat hujan kritik dan hujatan terhadap istana.

Menjelang lengsernya, baru Pak Harto mengadakan jumpa pers langsung dengan wartawan. Itu terjadi ketika Pak Harto akan berangkat ke Kairo, Mesir, dan kemudian lengser dari istana. Sebelumnya, setelah pertemuannya dengan Michael Camdessus di Jalan Cendana, Jakarta Pusat, Soeharto juga mengadakan pembicaraan langsung dengan wartawan istana.

Suasana istana sedikit berubah ketika BJ Habibie menjadi presiden. Saat itu Presiden bisa dicegat dan ditodong dengan alat perekam oleh wartawan. Namun, aparat istana belum juga berubah. Seperti ketika Habibie melihat seorang wartawan mengenakan peci, ia (Presiden) berkata, "Waduh rapi, ya Anda."

Beberapa hari setelah itu, salah seorang ajudan Presiden Habibie melihat seorang wartawan foto senior berambut putih tak mengenakan peci. Langsung sang ajudan (perwira polisi) membentak juru foto itu, "Kenapa tidak mengenakan peci, kan sudah ada instruksi dari Presiden." Walah, pujian diartikan instruksi....

Setelah peristiwa itu sejumlah wartawan istana rajin menulis kecaman kepada istana.

Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), beberapa wartawan surat kabar menjadi pejabat istana waktu itu. Namun, mantan wartawan itu tak menjadi jembatan yang baik antara Presiden dan wartawan yang sehari-hari meliput kegiatan presiden dan wakil presiden. Wartawan istana "marah" ketika ada aturan, "wartawan tidak boleh masuk ruang sidang kabinet" walau sidang kabinet belum dimulai. Sebelumnya, sejak masa Pak Harto, wartawan masuk ke ruang sidang, beberapa menit sebelum sidang kabinet dimulai. Setelah sidang kabinet dimulai, wartawan baru diminta meninggalkan ruangan dan menunggu hasil sidang.

Setelah itu, hampir setiap jam ada kritik dari media cetak dan elektronik kepada Gus Dur dan istana. Kebebasan pers yang ada waktu itu dimanfaatkan sepuas hati oleh wartawan, termasuk wartawan di istana.

Kritik kepada istana tak reda ketika Megawati Soekarnoputri menjadi presiden. Wartawan tidak begitu nyaman dengan sikap Megawati yang tidak mau sering berkomunikasi langsung dengan wartawan istana. Sebagian suasana ini terwarisi oleh pejabat istana saat ini.

Antara pansus dan istana

Beberapa pekan lalu, ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan sikap membela Wapres Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, pemberitaan pers mengatakan, "Itu terlambat." Sikap Presiden Yudhoyono terhadap keputusan Sidang Paripurna DPR tentang kasus Bank Century itu dihujani kritik oleh wartawan.

Padahal, ada yang bersuara positif. Misalnya, Elya G Muskita, mantan Manajer Ernst & Young US LLP, Irvine, California, Amerika Serikat. "Pidato SBY menanggapi hasil Sidang Paripurna DPR dan Pansus Hak Angket DPR tentang Kasus Bank Century itu tepat dan pada waktunya. SBY telah bersikap dan cukup hebat," ujar Elya Muskita di Jakarta, Jumat (12/3).

Banyak yang berkata seperti Elya Muskita, tetapi tenggelam. Orang muda inisiator hak angket Bank Century (waktu itu) lebih mendapat tempat di media massa walau bila dilihat secara perorangan, mereka juga bisa diduga punya "cacat". Mereka lebih bisa mendekati pers secara manusiawi. Sementara tim dari istana (termasuk yang ada di DPR) hanya menunggu "disowani" dan tidak bisa bergaul dengan wartawan, termasuk dengan wartawan istana.   (J Osdar) http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/15/03073455/wartawan.di.istana.kepresidenan..

Tidak ada komentar: