02 Januari 2010

Anak-anak Tanpa Lagu Anak


DOK DENDANG KENCANA
AT Mahmud menyanyi bersama anak-anak dalam lomba paduan suara anak-anak tingkat TK dan SD Dendang Kencana se-Jabotabek di Bentara Budaya Jakarta akhir November 1994.

Minggu, 3 Januari 2010 | Putu Fajar arcana :: Sudah lebih dari satu dekade ketika Tasya, yang menggemaskan itu, menyanyikan lagu-lagu ciptaan AT Mahmud. Setelah itu boleh dikata tak pernah terdengar lagi lagu anak yang mengumandang lewat radio atau televisi. Anak-anak malahan lebih fasih menyanyikan lagu cinta dari band-band dewasa. Waduh!

Kelangkaan lagu anak bisa menjadi petunjuk lunturnya "tradisi" bertutur untuk mewariskan berbagai pesan moral yang klop dengan dunia anak. Secara amat mudah industri rekaman komersial, seperti Musica Studio, Sony Music, atau Gema Nada Pertiwi (GNP), bisa dituding tak lagi berpihak pada anak. Perusahaan-perusahaan rekaman inilah yang tadinya memproduksi album lagu anak dari penyanyi cilik seperti Tasya atau para bintang yang memenangkan kontes menyanyi seperti Idola Cilik.

Musica memang masih setia memproduksi album Idola Cilik bekerja sama dengan stasiun televisi RCTI sebagai penyelenggara Idola Cilik. Tetapi, perekaman itu hanya berlangsung setahun sekali dan oleh sebab itu sejak tahun 2007, Musica baru merilis dua album lagu anak-anak.

Direktur Musica Studio Indrawati Wijaya memang tetap bertekad di tahun 2010 ini studionya merekam lagi lagu-lagu anak yang dinyanyikan oleh anak-anak pemenang kontes itu. Cuma masalahnya, kata Indrawati, tidak sesederhana yang dibayangkan. Ia menyadari bahwa kontes Idola Cilik nyaris tidak menyertakan lagu anak. Anak-anak malah lebih senang dan fasih menyanyikan lagu-lagu ciptaan kelompok band seperti ST12, Drive, D'Masiv, atau Wali. Dan tahu, sudah banyak yang paham lagu-lagu mereka tak jauh-jauh dari kisah cinta-cintaan ala remaja.

"Kami sampai memesan khusus kepada para pencipta lagu untuk membuat lagu anak. Jadi bukan lagu-lagu yang di Idola Cilik itu yang direkam," tutur Indrawati, Selasa (29/12).

Pendeknya, Musica mengalami kesulitan menemukan pencipta lagu anak, dalam pengertian lagu-lagu yang benar-benar mendekatkan anak pada dunia mereka. Oleh sebab itu, pada album ketiga nanti, Indrawati sudah memesan lagu-lagu anak yang lebih ceria, meriah, ringan, renyah, dan sedapat mungkin memberi tuntunan moral. Idrawati tetap "keras kepala" merilis album anak lantaran ia melihat potensi pasar yang tidak kecil. Pada album Idola Cilik pertama dan kedua, Musica berhasil menjual lebih dari 50.000 keping CD dan kaset.

Nyaris sama

Masalah yang kurang lebih serupa dihadapi Sony Music Entertainment dan GNP. Sundari dari Departemen Promosi Sony Music memberi alasan mengapa mereka kini tidak lagi memproduksi album rekaman anak. "Pasar sedang tidak memihak lagu anak. Tren musik sekarang ke RBT (ring back tone). RBT jelas bukan pasar anak-anak," kata Sundari.

Di luar soal itu, tambah Sundari, memproduksi album lagu anak tidak semudah yang diduga. Lagu anak harus tetap memiliki sisi menghibur, mendidik, tetapi sekaligus komersial. Dan, "Sekarang materi lagu anak seperti itu sulit didapat," ujar Sundari.

Melihat kecenderungan ini agaknya masa bulan madu album lagu anak di Sony sudah pudar. Terakhir mereka mengecap rezeki manis saat merilis album Libur Telah Tiba dari Tasya tahun 2000 lalu. Album ini kemudian disusul Gembira Berkumpul (2001), Ketupat Lebaran (2002), Istana Pizza (2003), dan The Very Best of Tasya (2005). Semua album itu hanya berisikan suara menggemaskan dari penyanyi cilik populer waktu itu, Tasya.

Soal kesulitan memperoleh materi lagu anak juga dialami GNP. Itu sebabnya, sejak meledaknya album Si Komo tahun 1990-an, perusahaan rekaman ini "hanya" merilis album anak dengan memberi sentuhan segar pada lagu-lagu seperti "Balonku", "Burung Kakatua", atau "Desaku". Mereka bahkan berani memberi sentuhan jazz pada lagu-lagu ini sebagaimana terlihat pada album Jazz for Family.

Menurut Marketing Manager GNP Sufeni Susilo, pasar lagu anak-anak masih tetap ada. Ia menggambarkan satu album anak bisa terjual puluhan ribu kopi dalam setahun, tetapi lagi-lagi ia bilang, "Sekarang jarang ada pencipta lagu yang menawarkan lagu anak pada kami. Kalau ada, itu pun sering kali tidak bagus," tutur Sufeni.

"Edutainment"

Penata musik dan pencipta lagu Elfa Secioria mengaku geram menghadapi kondisi sekarang ini. Ia melihat keran distribusi lagu-lagu anak ditutup oleh industri hiburan seperti televisi. "Kami hanya bisa berjualan secara recehan di internet," ujar Elfa.

Menurutnya, televisi sekarang ini sama sekali tidak menyediakan slot untuk lagu anak. Lagu anak harus dimasukkan ke dalam slot lagu-lagu populer. "Terus terang saya geregetan dan prihatin dengan masalah ini," kata pemilik Elfa Music School ini.

Soalnya, kata Elfa, lagu anak dibuat bukan untuk menjadikan anak sebagai penyanyi, tetapi lebih untuk memberikan pelajaran moral dan budi pekerti kepada anak. Lebih jauh soal ini, pengamat pendidikan Arief Rachman mengungkapkan, lagu anak harus memiliki semangat edutainment, yakni mengandung spirit mendidik sekaligus menghibur.

Setidaknya, tambah Arief Rachman, ada lima hal yang harus terkandung dalam lagu anak. Pertama, menumbuhkan moralitas luhur, yang mengingatkan kita kepada Sang Pencipta. Kedua, penghormatan kepada orangtua dan guru. Ketiga, mengembangkan persahabatan dan kesetiakawanan.

"Keempat, berisi kepedulian pada lingkungan dan kelima, kekaguman pada alam semesta," tutur Arief.

Dan pesan-pesan itu terkandung dalam lagu-lagu zaman dulu, seperti "Bintang Kecil", "Pelangi", "Pergi ke Sekolah", dan "Naik Kereta Api". Itulah mengapa lagu anak memiliki peran strategis di dalam menumbuhkan keluhuran budi pekerti. "Lagu itu menjadi instrumen pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai luhur dan terpuji pada anak," kata Arief.

Lagu-lagu yang dinyanyikan anak-anak sekarang, kata Arief, lebih banyak bersemangat ecotainment, lebih mementingkan ekonomi atau unsur-unsur hiburan semata. Kontes menyanyi di televisi hanya positif dari sisi penanaman nilai kompetisi pada anak. Tetapi anak-anak sekarang seolah dikarbit untuk menjadi penampil yang sama dengan orang dewasa. "Itu kan tidak klop dengan semangat mendidik," ujar Arief.

Menurut dia, jika kondisi ini terus-menerus terjadi, di mana anak-anak dieksploitasi untuk tujuan-tujuan ekonomi dan popularitas, akan lahir generasi yang rapuh dan miskin kesadaran akan Tuhan dan lingkungan. Bisa saja nanti, anak-anak tidak lagi bisa menghormati orangtua dan guru mereka sendiri.

Apakah mereka juga akan menjadi orang-orang yang bermartabat mulia? Itulah pertanyaan besarnya! (Budi Suwarna/Ilham Khoiri) -- http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/01/03/04291381/anak-anak.tanpa.lagu.anak

Tidak ada komentar: