04 September 2008

Menutup TV Lokal, Langkah yang Panik (Opini Oleh I Wayan Sadwika Salain)

Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) mengeluarkan surat edaran yang isinya akan melakukan penertiban atau ''penutupan" terhadap sejumlah TV lokal yang tidak mempunyai izin. Sekilas, surat edaran tersebut adalah niat baik pemerintah untuk menegakkan hukum penyiaran.

Namun, jika kita lihat secara komprehensif, terutama menyimak apa yang terjadi pada dunia penyiaran kita lima tahun terakhir ini, langkah tersebut bisa dipahami sebagai manifestasi rasa frustrasi atas kegagalan pemerintah menegakkan hukum di bidang penyiaran.

Mengapa? Banyaknya stasiun TV lokal yang tidak berizin dan mengudara saat ini tidak bisa dilihat dari sudut pandang hukum positif semata. Ia harus dilihat sebagai produk sistemik penyiaran yang jauh dari ketegori sukses. Kegagalan sistemik tersebut dipicu kegagalan pemerintah -dan juga masyarakat tentunya- untuk meletakkan pijakan hukum di bidang penyiaran secara adil dan berwibawa. Setidaknya, ada tiga tesis kegagalan hukum penyiaran yang kita alami saat ini.

Pertama, ketidakpastian hukum. ''Perebutan kekuasaan" antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Depkominfo atas hak perizinan lembaga siaran menyebabkan ''kevakuman kekuasaan" di bidang penyiaran. Konsekuensi atas kevakuman kekuasaan tersebut ialah ketidakpastian kewenangan perizinan stasiun TV baru.

Celakanya, kevakuman tersebut terjadi dalam kurun yang cukup lama (secara realitas, sejak disahkannya UU No 32/2002 hingga keluarnya keputusan Mahkamah Konstitusi atas judicial review pada medio 2007).

Sebagaimana tertera dalam UU No 32/2002, kewenangan bidang perizinan lembaga TV swasta semula ada di tangan KPI. Namun, pasca dikeluarkannya PP 49-52 tentang Penyiaran, konstelasi hukum penyiaran berubah. Menurut keputusan Mahkamah Konstitusi atas judicial review terhadap PP 49-52/2005 tentang Penyiaran yang diajukan KPI, tidak ada yang salah dalam PP tersebut.

Artinya, kewenangan perizinan lembaga penyiaran ada di tangan Depkominfo sebagaimana ditetapkan PP 49-52/2005 adalah sah. Dengan demikian, Depkominfo adalah institusi yang berwenang atas perizinan lembaga siaran di tanah air.

Tidak Jelas

Meski kewenangan perizinan ada di tangan Depkominfo, secara praktis, masih terjadi ketidakjelasan dan tumpang tindih kewenangan di tingkat daerah mengingat Depkominfo ialah departemen tanpa lembaga di daerah. Oleh karena itu, diperlukan waktu sosialisasi yang tidak gampang di tingkat daerah. Sayang, belum ada greget yang tampak dari Depkominfo untuk menyosialisasikan hal tersebut ke daerah.

Kedua, ketidakberdayaan hukum. Sistem Siaran Berjaringan (SSB) yang dinyatakan sebagai produk final tentang sistem penyiaran di tanah air -yang harus diberlakukan Desember 2009- makin tidak jelas. Janji dan peringatan Depkominfo kepada stasiun TV swasta (nasional) untuk segera melakukan kerja sama siaran dengan TV lokal ternyata mandul.

Faktanya, tidak ada TV swasta yang melakukan upaya ke arah SSB. Malah, TV swasta cenderung melakukan penggabungan kepemilikan untuk memperkuat basis bisnisnya.

Misalnya, ANTV membeli Lativi di bawah bendera OneTV, mengikuti langkah yang dilakukan TransTV dan Media Nusantara Citra Group. Meski langkah TV swasta itu merupakan pengingkaran atas semangat SSB, Depkominfo tidak (bisa) melakukan upaya sebagai respons atas ketidakpatuhan tersebut.

Ketiga, ketidakadilan hukum. Menurut Kepmenhub 76/2003 tentang penggunaan frekuensi radio pita UHF (Ultra High Frequency), masing-masing provinsi mendapatkan "jatah" frekuensi yang jumlahnya beragam, dari 14 frekuensi hingga 20-an frekuensi. Dari jatah yang dimiliki setiap frekuensi, 10 frekuensi sudah digunakan oleh 10 TV swasta yang sekarang mengudara secara sentral dari Jakarta dengan stasiun pemancar yang ada di daerah.

Praktis, alokasi frekuensi yang bisa diperebutkan TV lokal adalah frekuensi yang tidak digunakan stasiun swasta. Padahal, secara umum, frekuensi ''sisa" tersebut adalah frekuensi tidak ''layak jual" karena meng-cover area yang tidak diminati pasar iklan.

Tindakan Koreksi

Dengan tiga kegagalan di atas, pemerintah perlu melakukan tindakan korektif untuk menjamin kepastian hukum di bidang penyiaran dan terlaksananya SSB tahun 2009 nanti. Ada beberapa upaya yang bisa dilakukan pemerintah untuk menjamin proses terlaksananya SSB.

Pertama, menetapkan masa transisi. Kurun waktu pasca judical review hingga SSB diberlakukan adalah masa transisi, termasuk transisi perundangan. Pada masa ini, pembinaan TV lokal sangat penting mengingat mereka akan jadi pelaku utama pada saat SSB dilaksanakan.

Ketiadaan perizinan tidak seharusnya direspons dengan represif berupa penutupan, mengingat pada masa ini adalah masa kompetisi dan pembelajaran bagi TV lokal -secara teknis, manajemen, dan lainnya.

Dengan penutupan TV lokal, dapat dipastikan bahwa SSB akan gagal, akibat tidak terpenuhinya kuota TV lokal yang ''digandeng" TV swasta.

Kedua, meminta komitmen TV swasta untuk melaksanakan proses siaran berjaringan. Tindakan hukum jelas belum bisa dilakukan mengingat tenggat terakhir TV swasta melakukan siaran berjaringan adalah 28 Desember 2009. Namun, pemerintah bisa mengawasi dan mengevaluasi proses yang dilakukan TV swasta ke arah siaran berjaringan.

Tindakan itu bisa dan perlu dilakukan pemerintah untuk menjamin bahwa SSB akan terlaksama paling lambat pada 28 Desember 2009.

Ketiga, melakukan pemutihan atas izin frekuensi TV swasta di tingkat lokal. Sebelum pemerintah melakukan penutupan terhadap TV lokal yang ''ditengarai" tanpa izin, Depkominfo harus ''mengembalikan hak daerah" atas izin frekuensi sebagaimana diatur dalam Kepmenhub 76/2003. Selajutnya, diperebutkan kepemilikannya oleh stasiun TV lokal di daerah tersebut. Langkah ini mutlak dilakukan untuk memberikan tumbuhnya TV lokal yang legal secara hukum.

Namun, langkah itu bukannya tanpa risiko. Pemirsa di daerah akan kehilangan akses menyaksikan siaran televisi swasta. Itu akan menimbulkan persoalan lagi. Oleh karena itu, langkah lain yang bisa ditempuh adalah memberikan kesempatan kepada televisi lokal yang saat ini tidak berizin hingga pertengahan 2009.

Pada masa transisi tersebut, TV swasta masih bisa menggunakan frekuensi yang digunakannya, asalkan mereka melakukan upaya terkait dengan SSB seperti pendahuluan proses kerja sama siaran dengan TV lokal. Bagi TV lokal, masa transisi itu digunakan untuk meningkatkan kualitasnya baik dari sisi sumber daya manusia maupun teknis penyiaran.

Pada akhir masa transisi, jatah frekuensi daerah yang masih digunakan TV swasta harus sudah diputihkan (diserahkan kepemilikannya kepada daerah). Frekuensi tersebut selanjutnya ''diperebutkan" secara sehat oleh TV lokal dengan mempertimbangkan kemajuan yang telah mereka capai selama proses transisi tersebut.

Keempat, me-review kembali Kepmenhub 76/2003 tentang jatah frekuensi UHF. Pemberian jatah frekuensi harus didasarkan pada kebutuhan masyarakat yang dinamis. Dalam koridor ini, dimungkinkan terjadinya jumlah penambahan jatah frekuensi bagi daerah - disesuaikan dengan tingkat kebutuhan daerah setempat.

Keempat langkah tersebut penting dilakukan pemerintah untuk menjamin terlaksananya SSB paling lambat 28 Desember 2009 sebagaimana yang telah ditetapkan. Jika pemerintah telah melaksanakan tugasnya secara adil dan transparan, niscaya semua stakeholder pertelevisian dan masyarakat akan mendukung langkah penegakan hukum seperti penertiban lembaga penyiaran tak berizin.

*. I Wayan Sadwika Salain , ketua Asosiasi Rumah Produksi Bali (ARPB).Jawa Pos,
[ Kamis, 04 September 2008 ]

Tidak ada komentar: