19 Juni 2008

Kartu Kuning dan Buka Kartu Kedua LSI

Tulisan di Indo Pos, ''Kartu Kuning Kedua untuk LSI Saiful Mujani'' (12/6/08, halaman 2), sangat menarik. Sebagai pengajar ilmu komunikasi politik, saya punya segudang alasan untuk tidak-boleh-tidak mengomentarinya.

Alasan pertama, tulisan tersebut keluar sebagai tahap terbaru sebuah kompetisi atau saling membandingkan yang sebenarnya sudah cukup panjang. Judul atau istilah ''Kartu Kuning Kedua'' saja sudah menggambarkan hal tersebut. Untuk alasan ini, saya mendukung! Kompetisi yang ketat akan membuat lembaga survei berhati-hati mempertahankan kualitas operasional, akurasi hasil, serta pada saat yang sama etika profesinya!

Bagi saya, figur-figur di balik kompetisi itu juga sangat menarik! Denny J.A. (bersama Lingkar Survei Indonesia) dan Saiful Mujani (dengan Lembaga Survei Indonesia-nya) boleh dibilang sebagai dua ilmuwan lebih senior daripada saya, yang di sana-sini juga bersinggungan dengan saya pada beberapa kegiatan ilmiah maupun praktik di lapangan.

Gaya mereka mungkin berbeda. Tapi, keduanya saya kagumi. Secara khusus dalam ranah survei untuk demokratisasi. Bahwa mula-mula sekelompok ilmuwan bersama-sama, lalu berpisah dan saling mendirikan lembaga survei, itu merupakan hal yang wajar pula. Yang penting bagaimana gaya yang berbeda serta kiprah mereka itu ditinjau dari segi kepentingan publik, dalam konteks memajukan demokratisasi tersebut.

Alasan kedua, ada dua tulisan di halaman tersebut yang ditulis oleh ''adv''. Mungkin saja ada wartawan atau koresponden Indo Pos yang memiliki inisial tersebut. Misalnya, nama aslinya ''Advonturius'' atau ''Adelina Veri'' dan seterusnya.

Nah, yang agak berbeda kalau-kalau kedua tulisan itu merupakan ''advertorial''. Artinya, sebuah jenis iklan yang menyampaikan kepentingan pemasang iklan, walau sebetulnya bisa juga digunakan untuk kepentingan publik. Seumpama ia termasuk jenis iklan layanan masyarakat yang biasanya dikaitkan dengan kepentingan advokasi publik tentang sesuatu isu (dalam hal ini ambil contoh isu memberdayakan publik untuk membaca hasil quick count secara tepat).

Namun, kalau benar tulisan tersebut adalah advertorial, lebih baik kita jangan malu-malu untuk buka kartu dan menuliskan secara lengkap di ujung tulisan tersebut atau di pojok kiri kolomnya.

Tentu ada konsekuensinya. Nanti pembaca bertanya-tanya siapa ya yang kira-kira memasang advertorial seperti itu. Tapi, itu adalah etika beriklan dan di sisi publik mungkin merupakan seni pula untuk menduga-duga.

Alasan ketiga, betulkah LSI Saiful Mujani harus mendapat kartu kuning kedua? Jika melihat materi yang dibahas dalam tulisan tersebut, yakni quick count pilkada Sumatera Utara dan Pilkada Kalimantan Timur (Kaltim), saya sebagai seorang pengajar tidak akan berani menyatakan sejauh itu. Setidaknya dengan berpegang pada basis metodologi dan etika profesi saya, saya harus menerima dan meletakkan pada porsinya. Kesalahan absolut rata-rata LSI Saiful Mujani di Sumut dan Katim masing-masing 0,81 persen serta 0,86 persen.

Kita mafhum bahwa quick count bersandar pada sampling. Dengan itu, akan selalu ada sampling error (kesalahan akibat sampling). Metode sampling akan menentukan besar kecilnya kesalahan itu. Dalam quick count LSI di kedua provinsi tersebut, telah disebutkan bahwa metode yang digunakan adalah kombinasi stratified-cluster random sampling. Yakni, 300 TPS dipilih secara random dari seluruh kabupaten atau kota di Sumut dan Kaltim dengan jumlah proporsional di masing-masing kabupaten atau kota tersebut.

Dengan metode tersebut, margin of error quick count bisa kurang atau lebih dari 1 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Lain kalau yang digunakan adalah simple random sampling, margin of error bisa di bawah 1 persen. Namun, lagi-lagi karena metodenya bukan simple random sampling, kesalahan bisa lebih besar akibat ''cluster'' yang digunakan. Dan kesalahan rata-rata semacam itu ditoleransi secara ilmiah.

Alasan atau persoalan keempat, bolehkah LSI Denny J.A. disebutkan lebih akurat daripada LSI Saiful Mujani? Sebagaimana yang tergambar dengan cukup baik dalam tulisan atau advertorial itu, jelas dan sah! Tapi, secara ilmiah, kita tidak bisa menyatakan LSI Saiful Mujani salah, apalagi harus diberi sanksi moral! Kalau hanya istilah ''kartu kuning'' yang pakai tanda kutip, boleh-boleh saja. Teknik seni semacam itu biasa dilakukan dalam dunia periklanan, agar kontrasnya lebih terlihat.

Alasan kelima, saya sebagai pengajar maupun praktisi produksi televisi memang agak terganggu kalau sebuah acara quick count di televisi terhenti begitu saja karena pembatasan durasi tayang, misalnya sejam. Lalu, kelanjutannya hanya disampaikan dalam bentuk running-text.

Menurut hemat saya, jika ada perubahan signifikan pada data yang masuk, perlu dilakukan semacam breaking (quick) count! Dan ketika data telah masuk 100 persen, wajib disampaikan kembali secara lengkap dalam format awal, walau durasi tayangnya lebih pendek.

Format running-text saya anggap tidak memadai untuk menyampaikan hasil akhir quick count yang komprehensif. Apalagi dalam kasus pilkada Kaltim, hasil akhir quick count LSI Saiful Mujani (ketika semua data telah masuk) membalikkan apa yang disampaikan ketika menutup acara quick count pertama sesaat sesudah pemungutan suara di TPS selesai.

Betul, saat menutup acara, Saiful Mujani mengingatkan kembali bahwa belum bisa dipastikan siapa yang menempati urutan satu antara Amin dan Awang di Kaltim. Tapi, psikologis publik pasti akan lebih konsonan (tenang sambil menunggu hasil akhir) kalau diberitahukan bahwa akan ada updating jika terdapat perubahan hasil yang signifikan dalam proses masuknya data serta hasil akhir akan ditayangkan pada jam tertentu (lagi-lagi bukan sekadar running text).

Akhirnya, sebagai peminat dan penikmat, baik karya LSI Denny J.A. maupun Saiful Mujani, saya berharap tulisan saya ini bisa mendudukkan masalah pada porsinya, sehingga publik bisa makin meminati dan menikmati proses serta hasil survei politik di tengah kita.

Saya suka pada orang yang buka kartu bahwa sesuatu adalah advertorial. Saya juga suka dengan istilah ''kartu kuning'', tapi harus pakai tanda kutip sebagai gaya perbandingan periklanan (sambil tetap mengatakan apa yang dihasilkan kompetitor masih benar secara ilmiah). Tentu saja saya makin suka persaingan antara ''Election Channel'' dan ''TV pemilu'' yang tetap melakukan updating secara seimbang. Kurang rancak kalau quick count sejam pertama live (siaran langsung), lalu selanjutnya hanya running-text! (*)

Effendi Gazali, koordinator Program Master Komunikasi Politik UI
Jawa Pos Jum'at, 20 Juni 2008

Tidak ada komentar: