14 Juni 2008

Berpacu di Balik Layar Sinetron

Susi Ivvaty dan Lusiana Indriasari

Industri hiburan, yang melahirkan sinetron kejar tayang di layar kaca, membuat para pekerja di balik layar berpacu dengan waktu. Para perempuan yang makin banyak mengambil peran di jagat ini juga harus mengikuti irama yang menguras energi, kreativitas, dan kecintaan mendalam untuk menggaulinya.

Kalau tidak benar-benar mencintai pekerjaan ini dan hanya mau bekerja demi uang pasti akhirnya terpental," kata Lintang Pramudya Wardani (31), penulis skenario film televisi atau sinetron, soal pekerjaan yang ia geluti sejak tahun 2000 ini.

Hal sama dikatakan Cassandra Massardi (32), penulis skenario yang telah membuat belasan naskah untuk film televisi dan sejumlah skenario film layar lebar sejak tahun 1998. "Pokoknya memang enggak akan bisa punya waktu buat keluarga. Konsekuensinya begitu," kata Kasih, panggilan Cassandra.

Lintang dan Kasih merasakan betapa waktu berputar cepat ketika menulis naskah sinetron, apalagi untuk sinetron yang kejar tayang. Kasih harus mengirim satu naskah untuk satu episode setiap hari, misalnya untuk judul Culunnya Pacarku, Amanda, Inikah Rasanya, hingga Olivia.

Kalau pikiran buntu? "Ya harus dipaksa. Harus bisa. Kalau terlambat ngasih skenario, pengambilan gambar bisa batal dan rumah produksi bisa dituntut stasiun televisi. Penulis skenario bisa enggak dipakai lagi," tutur Kasih yang banyak membuat naskah untuk Rapi Films.

Lintang yang pernah membuat naskah sinetron untuk rumah produksi Rapi Films, Multivision Plus, Starvision, Prima, dan terakhir Sinemart pernah macet saat menulis. Akibatnya, hasil kurang memuaskan. Dari pengalaman itu, Lintang lantas mulai bekerja dalam tim bersama tiga teman.

Sewaktu pertama kali menulis naskah kejar tayang berjudul Wulan, Lintang dan timnya sampai menginap di apartemen milik Sinemart. Belakangan, ia makin bisa mengatur strategi. "Kami lebih bisa merencanakan. Menulis gantian dan bisa membuat stok," kata dia.

Berbeda dengan Lintang, Kasih bekerja seorang diri, tidak memakai tim. Jadi, ia harus berpikir cepat dan menulis cepat pula. Kalau ada pemain sakit, cerita mendadak harus diganti. "Sinetron Doo Bee Doo, tiap hari berganti tema dan harus lucu," kata Kasih, yang saat ini tengah menyutradarai film layar lebar Oh Baby produksi MD Entertainment.

Menjadi penulis skenario dan sutradara sinetron memang harus bisa bekerja dalam tekanan. Ninos Djoned (40), sutradara film televisi yang banyak dikontrak Multivision Plus, merasakan hal itu. Ia biasa dibebani waktu syuting singkat. Untuk satu sinetron lepas (tidak berseri), misalnya, ia diberi waktu enam sampai delapan hari syuting. Itu pun setelah ditawar dari permintaan semula yang hanya tiga hari.

Ninos mengakui, sinetron sejak beberapa tahun terakhir memang ngetren dengan sistem kejar tayang. Untuk mencapai target, kru produksi dan artis mulai bekerja dari pagi sampai malam. "Bisa mulai pukul enam pagi sampai subuh hari berikutnya," ujar dia.

Sejak kecil

Kasih, Lintang, dan Ninos memilih pekerjaan sebagai penulis skenario dan sutradara lantaran memang mencintai dunia ini, bahkan sejak kecil. Menurut Lintang, sebagai penulis skenario, syarat utama adalah suka menulis. Menulis memang sudah dilakukannya sejak sekolah dasar.

Lintang dulu kerap menulis cerita pendek untuk beberapa majalah. Cerpen pertamanya berjudul O-J-E-K dimuat di majalah Gadis. Cerpen Dunia di Balik Jendela Astrid yang dimuat Femina menarik perhatian pengamat film Marcelli. Ia menganjurkan agar Lintang memparafrasekan cerpen itu menjadi skenario dan diikutkan dalam lomba penulisan skenario Dewan Kesenian Jakarta 1998.

"Aku dapat juara harapan," kata Lintang yang waktu itu adalah mahasiswa Jurusan Film Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta. Skenario itu lantas dibeli Leo Susanto, bos Sinemart, senilai Rp 3,5 juta.

Sejak itu, ia terus menulis skenario. Berbagai judul dibuat, mulai Kala Cinta Menggoda, Me VS High Heels, Siapa Takut Jatuh Cinta, Bukan Cinderella, Wulan, hingga terakhir Munajat Cinta.

Kasih juga memulai karier dari dunia kepenulisan. Cerpennya, Kunci, dimuat di Kompas pada tahun 1998. Oleh Enison Sinaro, cerpen itu ditawarkan ke Rapi Films untuk dibuat skenario. Judul Kunci diubah menjadi Cinta Pertama. Sejak itu, ia banyak menulis naskah untuk sinetron. Sebenarnya, sebelum itu ia pernah menyutradarai film televisi berjudul Tujuh Bulan Sebelum Cinta, ditayangkan di TVRI tahun 1997.

Lain penulis lain sutradara. Ninos belajar langsung pada ayahnya, Darto Djoned, sejak tahun 1989. Ia memulai karier dari pencatat adegan, lalu asisten sutradara, ko-sutradara, dan sutradara. Waktu itu ia memang bekerja bareng ayahnya.

"Saya tertarik karena sering diajak Ayah ke lokasi syuting. Waktu itu namanya drama televisi," ujar Ninos, sutradara yang sangat kalem di lapangan. Begitu terjun langsung, ia tidak bisa berhenti. Sejumlah judul sinetron yang digarapnya antara lain Kejar Daku Kau Kutangkap, Menggapai Bintang, dan Kisah Sedih di Hari Minggu.

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/15/01534168/berpacu.di.balik.layar.sinetron


Honor,Bisa untuk Gantungan Hidup
Sejak booming pada tahun 1990-an, sinetron tidak ada matinya. Rating pernah menurun, digantikan variety show, reality show, atau acara musik, tetapi rating sinetron kembali naik dan hampir selalu berada di urutan pertama.

Jadi, apakah profesi awak sinetron, seperti penulis skenario dan sutradara, adalah profesi yang ideal untuk gantungan hidup? "Bisa, tetapi sekali lagi, tergantung pada seberapa besar energi dan kreativitas yang kita punyai untuk bertahan," kata Lintang.

Honor untuk penulis skenario biasanya dihitung per episode. Besarnya bergantung pada biaya produksi sinetron dan pengalaman penulis skenario, yakni antara Rp 1,5 juta hingga Rp 6 juta. Jadi, jika dalam satu judul ada 40 episode, penulis skenario bisa mengantongi honor maksimal Rp 240 juta.

Besar dong? "Iya, tetapi ada risikonya. Kalau enggak jadi tayang, yang dibayar hanya 75 persen," tukas Lintang. Penulis skenario di Indonesia tidak seperti di Hollywood, yang bisa mogok kerja beramai-ramai untuk menuntut kenaikan honor. "Kalau di sini, enggak mau kerja, ya produser bisa mencari orang lain," kata Lintang.

Honor untuk sutradara lebih besar dibanding penulis. Ninos Djoned enggan menyebut besarnya penghasilan menjadi sutradara sinetron selama belasan tahun. Namun, ia mengatakan, honor untuk sutradara muda berusia 25-an tahun rata-rata Rp 5 juta. "Honor akan meningkat seiring kemampuan yang meningkat pula, juga pengalaman," ujarnya.

Berapa pun honornya, kata Kasih, cukup atau tidaknya sangat tergantung pada gaya hidup. Namun, seiring berkembangnya industri ini, orang harus lebih keras berkompetisi.

Hal yang paling susah dilakukan di industri ini, kata Lintang, adalah menyatukan idealisme dengan tuntutan rating. Maunya bikin cerita bagus, tetapi produser menuntut lain, sesuai permintaan stasiun televisi.

"Dalam sinetron, kami lebih banyak menuruti kemauan produser," kata Lintang. (IVV/IND)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/15/01541950/bisa.untuk.gantungan.hidup


siasat, Menyusui di Lokasi "Shooting"
Bekerja untuk industri hiburan memang mengasyikkan, tetapi keluarga juga menjadi prioritas. Jika waktu terbuang semua untuk bekerja, bagaimana dengan keluarga? Ninos Djoned, sutradara sinetron, berusaha untuk menyeimbangkan waktu antara keluarga dan pekerjaan.

Meskipun demikian, ia kadang-kadang harus mengalah jika pekerjaan menuntut. Dulu, Ninos selalu membawa anak pertamanya, Kaka (10), yang waktu itu berusia tiga bulan, ke lokasi shooting karena ia ingin memberi air susu ibu (ASI) eksklusif. Di lokasi, ia didampingi pengasuh bayi yang mengurus tetek-bengek kebutuhan Kaka.

Bagaimanapun, anak-anak adalah prioritas. Ninos menolak produksi sinetron berseri panjang, apalagi setelah anak keduanya, Sesa (3), lahir. Dulu ia kerap pulang larut atau pergi ke luar kota hingga dua pekan. "Kalau saya kerja sampai malam, Kaka pasti telepon dan marah-marah," katanya.

Suami Ninos, Adi Maulana, yang bekerja di bagian tata suara pada produksi film, juga kerap protes. "Suami saya juga punya jadwal kerja dari pagi hingga larut malam," tambah Ninos. Maka itu, Ninos harus bisa menyeimbangkan antara kerja dan keluarga.

Lain Ninos, lain Kasih. Meski memiliki Bondi (7), putra tunggalnya, orangtua tunggal itu terus bekerja tidak mengenal lelah. Dalam sempitnya waktu, ia tetap mengurus dan memberi kasih sayang kepada Bondi.

"Konsekuensi kerja di dunia ini memang harus punya waktu banyak. Berkeluarga normal susah deh. Aku enggak tahu orang lain bagaimana," kata Kasih.

Sementara bagi Lintang, anak adalah konsekuensi logis dalam berkeluarga. Ia pun sangat ingin memiliki anak. Namun, sejak menikah dengan Gunawan delapan tahun yang lalu, Lintang belum dikaruniai anak.

"Kami menikmati saat belum ada anak. Aku manfaatkan untuk terus menulis dan menulis. Aku sudah mencintai pekerjaan ini. Profesi menulis itu tidak ada matinya," kata Lintang. (IVV/IND)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/15/01540047/menyusui.di.lokasi.shooting

Tidak ada komentar: