15 Mei 2011

Dewan Pers dan KPI Memperkuat Kerjasama

Senin, 02 Mei 2011 00:00

Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers (DP) merumuskan tata cara penanganan pengaduan dan analisa tayangan televisi yang berkaitan dengan program jurnalistik. Perumusan ini merupakan implementasi MoU antara DP dan KPI yang ditandatangani 31 Maret 2011 di Solo. Pertemuan diawali dengan workshop bertema "Penguatan Kapasitas Tim Pengaduan Dewan Pers dan KPI dalam Menganalisis Tayangan Televisi" di Hotel Sahira, Bogor, Jumat-Minggu, 29 April - 1 Mei 2011.

Tiga orang nara sumber seperti Yazirwan Uyun, anggota KPI Pusat bidang Isi Siaran, Imam Wahyudi, ketua IJTI (Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia), Riza Primadi, pengamat Televisi, ditambah Agus Sudibyo dan Bekti Nugroho, anggota Dewan Pers, memberikan beberapa usulan agar tim DP dan KPI lebih solid dalam menangani kasus kasus jurnalistik   .

Dalam diskusi tersebut, hadir juga Ezki Suyanto, anggota KPI Pusat bidang Isi Siaran, Joaquim Rohi, asisten Isi Siaran KPI, Rianzi Gautama, staf data dan informasi KPI, Leo Batubara, mantan anggota DP, Lukas Luwarso, Pokja DP, dan sejumlah anggota Pokja DP lainnya.

Iwan Uyun, panggilan akrab Yazirwan Uyun menyampaikan salah satu cara menganalisa sebuah tayangan adalah dengan melihat terlebih dahulu program tersebut apakah masuk dalam organisasi produksi (non berita) atau liputan berita (jurnalistik). "Kita melihat terlebih dahulu dalam struktur organisasi mana program tersebut berada," ungkapnya.

Iwan juga menganalisa dalam berita banyak memuat eksploitasi kekerasaan fisik secara verbal atau non verbal, kata-kata kasar, SARA, melecehkan bangsa lain, menampilkan rekontruksi tindak kejahatan secara rinci, melanggar privacy, memberitakan secara tidak akurat dan tidak berimbang.

Iwan juga mengingatkan agar peliputan bencana ataupun musibah wajib mempertimbangkan proses pemulihan korban, keluarga, dan masyarakat yang terkena musibah tersebut. "Siaran bencana dilarang menambah penderitaan dan trauma korban dengan cara memaksa, menekan, mengintimidasi untuk diwawancara atau diambil gambarnya. Menampilkan saat-saat menjelang kematian, mewawancara anak di bawah umur sebagai narasumber, menampilkan gambat korban secara detail dan lainnya," katanya.

Dalam materi presentasinya, Iwan juga menyebutkan P3SPS dan KEJ tidak ada bedanya, hanya saja aturan KPI lebih rinci diperuntukkan bagi media elektronik. "Bahkan, dalam Pasal 42 P3SPS KPI, terdapat aturan bahwa lembaga penyiaran wajib tunduk pada Kode Etik Jusnalistik (KEJ) yang ditetapkan Dewan Pers," jelasnya.

Menurut Uyun, keselarasan antar kedua lembaga adalah penegakan aturan soal pemberitaan yang akurat, adil, berimbang, tidak berpihak, tidak beritikad buruk, tidak menghasut/menyesatkan, tidak mencampuradukkan opini dengan fakta, tidak menonjolkan kekerasaan, mempertentangkan SARA, tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul.

Imam Wahyudi menyampaikan materi di Sabtu pagi, 30 April 2011 menjelaskan cara menganalisa tayangan berita, runnning text, talkshow, dan infotainmen. Imam juga mengusulkan perlunya KPI dan DP mengingatkan lembaga penyiaran agar lebih teliti saat penayangan peristiwa secara langsung (live). Menurut Imam pada saat itu tingkat kepercayaan masyarakat saat melihat dan atau mendengar informasi yang didapat sangat tinggi, jadi jangan sampai terjadi kesalahan.

Imam menambahkan untuk program siaran langsung diperlukan wartawan-wartawan senior. Selain itu, mereka harus dibantu informasi dan data akurat dari ruang redaksi dan tidak menyerahkan sepenuhnya pada kerabat kerja di lapangan. "Seperti yang terjadi dalam tayangan langsung peritiwa makam di Tanjung Priok, banyak sekali terjadi kesalahan," ungkapnya.

Riza Primadi mengkritisi isi informasi di runningtext karena masih terdapat unsur opini dan tidak berimbang. Padahal, menurut Riza, isi yang disampaikan dalam running text haruslah fakta dan berimbang. Sedangkan Ezki Suyanto memandang perlunya etika saat pengambilan gambar secara sembunyi-sembunyi atau hidden camera. Seharusnya penggunaan kamera tersembunyi hanya untuk kasus-kasus yang berhubungan dengan kepentingan publik. "Hal itu bisa dilakukan jika sudah tidak ada lagi alternatif," katanya.

Sementara itu Leo Batubara memandang perlunya KPI memiliki aturan soal sanksi denda bagi lembaga penyiaran yang melanggar. Sanksi ini dinilai bisa memberi efek jera bagi pelanggarnya. Lukas Luwarso menambahkan agar sanksi atau hukuman bertujuan untuk memperbaiki lembaga penyiaran bukan membelenggu kreatifitas. "Media kreatif tidak bisa dibatasi dengan kalimat terbatas," ungkapnya.

Selain membuat point-point tentang tatacara menganalisa tayangan, workshop antara Dewan Pers dan KPI juga membuat tabel analisa untuk tayangan televisi. Dalam formulir tersebut dimasukkan aspek keberimbangan, integritas, ketepatan, kredibilitas, privacy dan aspek lainnya dihubungkan dengan aturan yang ada di UU Penyiaran, P3SPS, UU Pers dan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). Red/RG
http://www.kpi.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2983%3Adewan-pers-dan-kpi-memperkuat-kerjasama&catid=28%3Aumum&lang=id

Tidak ada komentar: