11 Maret 2011

UU Pers Perlu Direvisi

Jakarta, Kompas - Untuk menghindari debat atau pro dan kontra atas isu "kriminalisasi pers", sebaiknya Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers direvisi. Undang-undang tersebut belum memuat delik fitnah atau menyatakan kebohongan, pencemaran nama baik, dan penghinaan.

"Sebetulnya yang diperlukan adalah kepastian hukum dengan adanya unifikasi produk hukum yang mengatur perbuatan materiil tentang fitnah atau pencemaran nama baik yang mengikat bagi aparat penegak hukum karena penyidik dan penuntut umum tidak boleh membuat penafsiran sendiri terhadap aturan hukum positif yang berlaku," tutur Kepala Biro Penerangan Umum Hubungan Masyarakat Mabes Polri Brigjen (Pol) Untung Yoga Ana dalam diskusi panel yang diselenggarakan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Provinsi DKI Jakarta di Jakarta, Jumat (11/3).

Pembicara lain dalam diskusi panel tersebut adalah Ketua Pengadilan Negeri/Niaga/ HAM/Tipikor Jakarta Pusat Syahrial Siddik, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Noor Rachmad, dan Wakil Ketua Dewan Pers Bambang Harymurti.

Dalam prinsip praktik penegakan hukum, menurut Untung Yoga Ana, penyidik Polri tidak dibenarkan melakukan penafsiran sendiri atas klausul hukum positif yang ada. Ketentuan dalam UU sejauh tidak bertentangan, satu sama lain tidak boleh saling mengabaikan atau meniadakan.

Penjelasan umum UU No 40/1999 tentang Pers pada paragraf ketujuh menyatakan, "Untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih, Undang-Undang ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan lainnya".

Dalam penjelasan Pasal 12 antara lain dijelaskan "Sepanjang menyangkut pertanggungjawaban pidana menganut ketentuan perundang-undangan yang berlaku".

Dalam hal ini, UU No 40/1999 tentang Pers yang terdiri dari 10 bab dan 21 pasal sama sekali tidak mengatur delik fitnah atau menyatakan kebohongan, pencemaran nama baik, dan penghinaan. Delik pidana ini diatur dalam Pasal 310, 311 dan 315 KUHP.

Di dalam UU Pers tidak ada pasal atau klausul yang mengatur secara khusus tentang prosedur atau mekanisme penyelesaian kasus yang menyangkut pers. Dalam UU tersebut, juga tak ada pengaturan yang menegaskan bahwa masyarakat yang mempunyai persoalan dengan pers harus terlebih dahulu menempuh tahapan langkah menggunakan hak jawab, melapor ke Dewan Pers, sebelum menuntut secara pidana.

"Undang-Undang Pers itu delik umum dan membuka ruang bagi UU lain. Kalau saja wartawan dalam melaksanakan tugasnya berdasarkan kode etik jurnalistik dan UU Pers, tidak akan pernah tersangkut masalah hukum," kata Noor Rachmad.

(LOK)
http://cetak.kompas.com/read/2011/03/12/04532637/uu.pers.perlu.direvisi

Tidak ada komentar: