09 Februari 2011

Media Massa Bersaing dengan Media Sosial?

Pengumpulan kekuatan massa mengubah wajah Tunisia dan Mesir. Diktator Zine el-Abidine Ben Ali diturunkan. Kini gelombang unjuk rasa meminta Hosni Mubarak lengser masih berlangsung. Semua dimulai dari penggalangan dukungan di jejaring sosial Facebook.

Di Indonesia, dukungan untuk Prita Mulyasari, korban dugaan malapraktik, serta Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit Samad Riyanto dan Chandra Hamzah dimulai dari jejaring Facebook.

Kuatnya media sosial seperti Facebook dan Twitter, menurut pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga, Sukowidodo, jelas menggerogoti kekuatan pers yang dulu menjadi pusat rujukan. Setiap orang bisa menjadi sumber informasi. "Meski media sosial jadi saingan berat pers dan saat ini sedang tren, suatu saat akan ada titik keseimbangan," tutur Sukowidodo.

Effendi Gazali, pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia, menilai kedua hal itu memiliki karakter sendiri yang sebenarnya tidak saling ganggu. Media sosial memudahkan masyarakat memunculkan isu karena tidak ada kendala modal dan struktural. Sebaliknya, orang kerap ragu dengan kredibilitas tulisan di media sosial.

Oleh karena itu, peningkatan penggunaan media sosial tidak dianggap sebagai lonceng kematian pers. Bahkan, kata Effendi, ada sinergi pers arus utama dan media sosial. Pers terdorong semakin berani dengan dukungan media sosial dan makin mudah melengkapi diri dengan data.

Kekuatan interaksi memang sangat penting untuk media massa saat ini. Salah satunya ditunjukkan Radio Suara Surabaya di ibu kota Jawa Timur. Radio ini menjadi rujukan masyarakat di Surabaya dan sekitarnya. Polisi yang baru bertugas di Surabaya pun diminta mendengarkan radio ini. Banyak warga rela menelepon dan mengabarkan berbagai peristiwa.

Kekuatan interaksi ini bisa menjadi kunci sinergitas media arus utama dengan media sosial. Dengan dunia yang semakin terbuka, media cetak yang hanya dibaca dalam waktu singkat pada pagi hari menyediakan kutipan berita yang bisa dipantau publik melalui jejaring dan perangkat yang ada, seperti Twitter, Facebook, dan Blackberry.

Di sisi lain, lanjut Suko, kekuatan pers terletak pada pengelolaan informasi publik yang lebih variatif. Pada jejaring sosial, kekuatan ini terbatas sebab isu dan publiknya sangat dipagari segmen. Suko tetap melihat media sosial sebagai tempat rerasan (mengeluarkan unek- unek) saja. Sebaliknya, karena terlembaga, pers memiliki kredibilitas dan dipercaya publik.

Ada dua hal yang harus dilakukan pers untuk menguatkan kepercayaan publik. Pertama, berita harus dibuat berdasarkan riset. Kedua, kualitas informasi harus mampu menyatukan keberagaman masyarakat dan memenuhi kepentingan publik.(Nina Susilo)

Tidak ada komentar: