12 Juli 2010

Pecah Kongsi di Taman Mini


RIUH rendah suara anak-anak di halaman studio Televisi Pendidikan Indonesia membuat karyawan tak menyadari ada tujuh tamu masuk ke kantor mereka. Hari itu, Sabtu siang dua pekan lalu, TPI Peduli menggelar khitanan massal bagi seratus anak dari Bantar Gebang, Cilin cing, dan Depok untuk memperingati ulang tahun ke-29 PT Global Mediacom. Acara kian meriah ketika Putri Indonesia 2010 Asyifa Latief datang dan para pesulap menghibur hadirin.

Para karyawan televisi yang berkantor di Pintu II Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur, itu baru ngeh ketika tujuh orang tersebut menempelkan peng umuman yang diteken Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut. Putri sulung mantan presiden Soeharto ini menyatakan akan kembali ke TPI setelah mengukuhkan direksi dan komisaris baru hasil rapat pemegang saham pada 23 Juni 2010. Mereka yang datang adalah para direktur yang dia tunjuk.

Tutut menunjuk Japto Soerjosoemarno, Ketua Partai Patriot Pancasila, sebagai direktur utama, dan purnawirawan Mayor Jenderal TNI Syamsir Siregar, mantan Kepala Badan Intelijen Negara, sebagai komisaris. Daniel Gunawan Resowijoyo, Agus Sjafrudin, dan Mohamad Jarman, pelindung TPI Peduli yang membuka dan berpidato dalam khitanan massal itu, menjabat direktur.

Mereka mengumpulkan karyawan di ruang rapat lantai dua seraya mengulang maklumat yang ditempel itu. Mereka menyatakan mengambil alih manajemen TPI dari direksi lama yang mewakili PT Berkah Karya Bersama milik Hary Tanoesoedibjo, bos Global Mediacom. "Dasarnya apa?" Wijaya Kusuma, Sekretaris Perusahaan TPI, menyela. Suasana kian tegang.

Para anggota direksi itu menyodorkan surat yang diteken Rike Amarita, Pe laksana Harian Direktur Perdata Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, pada 8 Juni 2010. Surat itu menyatakan pemba talan rapat umum pemegang saham pada 18 Maret 2005 yang mengukuhkan direksi TPI versi Hary Tanoe pimpinan purnawirawan Mayor Jenderal TNI Sang Nyo man Su wisma.

Tutut menafsirkan pembatalan itu sebagai pengembalian 75 persen saham TPI yang sejak 2002 diakui Hary Tanoe sebagai miliknya. Kisruh kepemilikan saham TPI pun memasuki babak baru. Hary balik melaporkan Rike ke Kepolisian Daerah Metro Jaya sebagai pejabat yang membuat surat palsu. Pekan lalu, polisi memanggilnya untuk diperiksa, tapi dia tak datang dengan alasan tugas ke luar kota.

l l l

KISRUH kepemilikan saham TPI bermula pada 2002. Ketika itu, Tutut sedang rungsing dengan timbunan utang yang menjerat perusahaan-perusahaannya. Kri sis moneter 1997 menghancurkan bisnis-bisnisnya sehingga tak mampu membayar utang. Bank Yakin Makmur, juga PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk. yang sebelumnya digdaya membangun puluhan jalan tol, rontok dimakan utang. Beberapa perusahaan menjadi pesakitan Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Tutut lalu mengundang Hary Tanoe untuk berkongsi menyelesaikan utang yang jumlahnya mencapai Rp 1,2 triliun. Hary waktu itu sudah menjadi pemegang saham Bimantara Group, per usahaan yang didirikan adik Tutut, Bambang Trihatmodjo. Dipilihnya Hary tak lepas dari kehebatannya membeli dan mengakuisisi banyak perusahaan ketika pengusaha lain terje rat tumpukan utang.

Lewat Bhakti Investama, perusahaan investasi pasar modal, Hary antara lain tercatat pernah membeli Bentoel (US$ 30 juta), membeli utang (US$ 35 juta) Centralindo Panca Sakti-pemilik Met rosel-di Chase Manhattan Bank, saham Astra International (Rp 300 miliar), dan Salim Oleochemical (US$ 131 juta), menyuntikkan dana ke SCTV (US$ 20 juta), serta membeli Indomaret (Rp 162 miliar). Bhakti juga membeli AGIS (agen Sony) dari tangan Tomy Winata senilai US$ 30 juta.

Pendeknya, Hary orang yang tepat diajak kerja sama. Maka, pada 23 Agustus 2002, kedua pihak meneken surat perjanjian pembayaran utang-utang pribadi dan perusahaan Tutut, baik ke perusahaan lain maupun ke pemerintah. "Sejak awal, niat saya membantu," kata Hary Tanoe kepada Tempo.

Hary diwajibkan menyediakan US$ 55 juta. Tak semuanya tunai. Sebanyak US$ 25 juta dalam bentuk ekuitas dan sisanya pembiayaan kembali. Jika utang-utang itu sudah terbayar, Hary bakal mendapat 75 persen saham TPI. "Kalau masih ada utang tapi dana itu sudah habis, sisanya akan ditanggung Mbak Tutut," kata Hary. Singkat cerita, ia mengaku sudah menyelesaikan utang-utang Tutut, termasuk utang TPI yang membuat televisi ini "hidup susah mati pun ogah".

Sesuai dengan perjanjian, Tutut pun menyerahkan kuasa penuh kepada PT Berkah Karya Bersama untuk mengelola TPI. Menurut Hary, ketika ia masuk, TPI memang hancur-hancuran. Boro-boro membuat program baru, program lama saja tak terbayar. Ia membenahi TPI dengan melangsingkan struktur serta membuat program baru semacam Audisi Pelawak Indonesia dan Kontes Dangdut TPI. "Pokoknya, TPI jadi sehat lagi," katanya.

Namun Tutut rupanya tak sepenuhnya sreg dengan gerak cepat Hary. Terutama cara Hary menyelesaikan sisa utang TPI yang idle yang jumlahnya US$ 69 juta plus Rp 143 miliar. "Dia memakai arus kas untuk mencicil utang-utang itu," kata Harry Ponto, pengacara Tutut. Puncaknya, kata Ponto, Tutut tersinggung berat ketika Hary berencana menjual beberapa bidang tanah di Taman Mini.

Hary beralasan, daripada tanah-tanah itu menganggur, lebih baik dijual untuk membangun studio atau membuat program acara baru. Manajemen TPI, yang sebagian besar sudah diisi orang-orang PT Berkah, sudah setuju menjual tanah untuk memperoleh dana segar. "Tapi tak jadi karena Mbak Tutut tak setuju," katanya.

Tutut marah besar karena tanah-tanah itu wasiat almarhum ibunya, Tien Soeharto. Sebelum meninggal pada 1996, Tien berwasiat agar tanah-tanah di Taman Mini itu dialihkan ke pihak ketiga untuk dipakai demi kepentingan orang banyak. Buntut kemarah annya, pada 20 Desember 2004, Tutut mengirim surat akan membayar seluruh pengeluaran Hary saat menyelesaikan utang-utangnya.

Hary tak percaya Tutut mengusirnya semata karena kemarahan itu. Ia curiga Tutut ingin kembali menguasai TPI karena keuangan televisi ini sudah membaik. "Setahun setelah saya masuk, pangsa pemirsa dan audiensnya melampaui RCTI," kata Hary. Toh, ia setuju "menjual" pembayaran itu dengan mematok angka Rp 685 miliar. Tapi Tutut meminta ada audit dulu sampai ketemu angka yang diajukan. "Kami beri kesempatan audit selama sebulan," kata Harry Ponto.

Angka itu memang turun menjadi Rp 630 miliar, tapi Tutut mengklaim tak pernah menerima hasil auditnya. Menurut Ponto, tiba-tiba Hary mengirim tiga opsi penyelesaian transaksi dengan Tutut. Opsi itu adalah Tutut membayar pengeluaran Hary sebesar Rp 630 miliar, Tutut merelakan 25 persen sahamnya dibeli Hary senilai Rp 210 miliar, atau kerja sama diteruskan dengan pembagian saham tetap 75 : 25. "Kami tunggu jawabannya dalam rapat 18 Maret 2005," kata Hary.

Alih-alih memilih satu dari tiga opsi itu, Tutut membatalkan kuasa kepada PT Berkah pada 16 Maret 2005. Dengan pembatalan ini, Berkah tak lagi punya kuasa mengelola TPI. Menurut Ponto, kliennya tak mau memilih satu opsi karena undangan rapat ditujukan kepada PT Berkah sendiri tanpa mengundang enam pemegang saham lain. Juga audit yang menjadi syarat pembelian saham tak kunjung dibuat. Alhasil, Tutut menggelar rapat lain sehari sebelum RUPS yang digelar Hary.

Tutut mencatatkan diri sebagai pemilik 411,7 juta lembar saham TPI senilai Rp 205,8 miliar bersama lima pihak lain di bawah kendalinya (PT Citra Lamtoro Gung Persada, Yayasan Purna Bhakti Pertiwi, PT Tridan Satriaputra Indonesia, Mohamad Jarman, dan Niken Wijayanti). PT Berkah tak lagi tercatat sebagai pemegang saham. Notaris Buntario Tigris Darmawa Ng, yang mencatat rapat itu, mendaftarkannya ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Sial tak bisa ditangkal, jaringan Internet Sistem Administrasi Badan Hukum tiba-tiba error. Buntario tak bisa memasukkan akta susunan direksi baru TPI. Setiap kali ia mengaksesnya, selalu muncul peringatan di laman web agar ia mencari nama lain selain PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia sebelum memasukkan data. Berkali-kali dicoba, notifikasinya tetap sama.

Dandy Rukmana, anak sulung Tutut, yang ditunjuk menjadi Komisaris TPI, menyurati Kementerian Hu kum untuk mendaftarkan hasil RUPS itu secara manual. Direktur Jenderal Adminis trasi Hukum Umum Zulkarnain Yunus dalam suratnya tanggal 1 Februari 2006 menolak permintaan Dandy dan justru mengabulkan rapat yang digelar Hary Tanoe.

Rupanya, rapat pada 18 Maret 2005 tetap digelar meski tanpa kehadiran Tutut. Hary mengukuhkan direksi baru dan jumlah sahamnya di TPI. Dalam akta yang dibuat notaris Bambang Wiweko disebutkan PT Berkah memiliki 411,7 juta saham seri A dan 1,235 miliar lembar saham seri B dengan total no minal Rp 502,3 miliar. Untuk Bambang, Internet Sisminbakum lancar jaya menerima input data.

Belakangan muncul pengakuan Yohanes Waworuntu. Dia Direktur Utama PT Sarana Rekatama Dinamika, per usahaan yang mengelola Sisminbakum sejak 2001. Komisarisnya Hartono Tanoesoedibjo, kakak tertua Hary, dan pemilik sahamnya tak lain tak bukan PT Bhakti Investama. Yohanes mengaku, dua hari sebelum rapat yang digelar Tutut, ia dipanggil Hary Tanoe ke ruangannya di Menara Kebon Sirih, Jakarta Pusat, lantai 28.

Hary, menurut Yohanes, meminta nya memblokir Sisminbakum agar log in Buntario Tigris ketika mencatatkan RUPS TPI versi Tutut tak bisa mengaksesnya. Yohanes menurut karena akan dipecat jika menolak. "Saya mau karena ingat anak saya yang lima tahun sakit kanker darah," katanya dengan mata berkaca-kaca. Sebulan setelah blokir, anak itu wafat.

Sedangkan Hary Tanoe bisa memasukkan hasil rapatnya, menurut Yohanes, karena aksesnya diberikan seluas mungkin. Hary menyangkal pernah meminta Yohanes memblokir akses Tutut. Menurut dia, blokir tak perlu dilakukan karena RUPS yang digelar kubu Tutut ilegal. Ia menuding Yohanes se ngaja membuat pengakuan itu karena telah bergabung ke kubu Tutut.

Yohanes menjadi terhukum kasus korupsi Sisminbakum. Ia divonis lima tahun penjara dan diharuskan membayar Rp 378 miliar uang hasil pembayaran notaris ketika mencatatkan rapat-rapat perusahaan. Ia masygul menjadi korban sendirian karena dituding sebagai pemegang saham PT Sarana. Padahal, menurut dia, Hartono dan Hary Tanoe itulah yang menikmati uang Sisminbakum. Hary menepis. "Saya tersinggung dengan tuduhan ini," katanya.

l l l

PROTES-protes yang digencarkan Tutut ke Kementerian Hukum menuai hasil juga. Puluhan surat yang mempertanyakan mekanisme Sisminbakum membuat Patrialis Akbar, Menteri Hukum yang baru, panas kuping. Politikus Partai Amanat Nasional ini membentuk tim untuk menelisik klaim yang diajukan Tutut pada Januari lalu.

Hasilnya, pada 8 Juni 2010, ia menerbitkan surat yang membatalkan rapat yang digelar Hary Tanoe. "Ada kesalah an prosedur karena pengesahan PT CTPI tidak dilakukan oleh pejabat yang berwenang," kata Patrialis. Tim juga memastikan kebenaran cerita Yohanes Waworuntu soal blokir tanpa izin itu.

Kubu Tutut bersorak dengan keputusan itu. Mereka segera menggelar rapat untuk menunjuk direksi dan komisaris baru. Japto Soerjosoemarno, pemimpin Pemuda Pancasila, ditunjuk menjadi pengacara. Syamsir Siregar, bekas Kepala Badan Intelijen Negara, diampu sebagai komisaris. "Pak Japto itu kami anggap mewakili Keluarga Cendana dan Pak Syamsir, karena intel, tahu seluk-beluk kasus ini," kata Deny Kailimang, pengacara Tutut yang lain.

Lain Tutut, lain Hary Tanoe. Ia berang dan menuding surat itu palsu karena diteken Rike Amarita yang berstatus Pelaksana Harian Direktur Perdata Kementerian Hukum. Ia juga mengaku tak pernah dipanggil untuk dimintai konfirmasi saat penelisikan. Namun Patria lis menjamin surat itu asli dan sesuai dengan prosedur di lembaganya. "Kami sudah memanggil, yang datang pengacara," katanya. "Hary Tanoe mengirim surat akan menunggu di pengadilan."

Surat pembatalan rapat 18 Maret 2005 itu memang dibuat menggantung. Kendati membatalkan RUPS versi Hary Tanoe, Departemen Hukum tak otomatis menerima RUPS versi Tutut. Alhasil, kata Patrialis, siapa pemilik saham TPI yang sah, "Biar diputuskan pengadilan."

Bagja Hidayat, Erwin Dariyanto, Ramidi


Benang Kusut TPI

Siti Hardijanti Rukmana dan Hary Tanoesoe dibjo gagal berkongsi mengurus TPI karena tak sepaham soal pengeluaran membayar utang Rp 1,2 triliun. Putri sulung Soeharto itu tersinggung karena diminta menjual tanah warisan ibunya.

23 Agustus 2002
Siti Hardijanti alias Tutut dan Hary Tanoe meneken kerja sama investasi. Hary diwajibkan menyediakan US$ 55 juta untuk menyelesaikan seluruh utang Tutut yang berjumlah Rp 1,2 triliun. Kompensasinya, Hary, mela l ui PT Berkah Karya Bersama, akan mendapat 75 persen saham TPI.

3 Januari 2003
Perubahan direksi dan komisaris TPI.

21 Januari 2003
Pengakuan sisa utang TPI sebesar US$ 69 juta plus Rp 143 miliar ke Santoro Corporation, perusahaan di British Virgin Islands.

3 Juni 2003
Tutut memberikan kuasa kepada PT Berkah Karya Bersama untuk mengelola secara penuh TPI.

21 Juli 2003
Rapat umum pemegang saham luar biasa TPI dengan agenda penambahan modal.

2004
Tutut mulai tak sreg dengan cara-cara Hary mengelola TPI dan menyelesaikan sisa utang. Salah satunya rencana menjual tanah warisan Tien Soeharto di Taman Mini Indonesia Indah.

20 Desember 2004
Tutut menyurati PT Berkah menyatakan akan membayar pengeluaran Hary membereskan utang.

7 Januari 2005
PT Berkah menanggapi surat Tutut dan menyatakan total pengeluaran Rp 685 miliar.

19 Januari 2005
Tutut setuju membayar dengan syarat ada audit.

7 Maret 2005
Hary memberikan tiga opsi: Tutut membayar Rp 630 miliar; saham Tutut sebanyak 25 persen senilai Rp 210 miliar; atau meneruskan kongsi bisnis dengan rasio saham tetap 75 : 25 persen.

10 Maret 2005
Undangan RUPS luar biasa TPI kepada PT Tridan Satriaputra Indonesia milik Tutut, dengan alamat PT Berkah Karya sebagai penerima kuasa, untuk rapat pada 18 Maret 2005. Agendanya menyelesaikan trans aksi antara Tutut dan PT Berkah.

15 Maret 2005
Direktur Utama PT Sarana Rekatama Dinamika Yohanes Waworuntu mengaku diminta Hary memblokir jaringan Sistem Administrasi Badan Hukum jika Tutut mendaftarkan hasil RUPS TPI.

16 Maret 2005
Tutut mencabut kuasa kepada PT Berkah Karya Bersama.

17 Maret 2005
PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia menggelar RUPS dan menunjuk direksi dan komisaris yang dipilih Tutut sekaligus memberhentikan direksi dan komisaris versi Hary Tanoe. Hasil rapat terblokir di Sisminbakum Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia karena jaringan Internet error.

18 Maret 2005
Kubu Hary Tanoe menggelar RUPS luar biasa dan mengesahkan kepemilikan saham Hary sebanyak 75 persen serta sukses mendaftarkannya ke Departemen Hukum. Kubu Tutut memprotesnya.

1 Februari 2006
Departemen Hukum menolak surat protes Tutut yang minta pemerintah membatalkan RUPS versi Hary.

30 November 2009
Tutut masih memprotes kepemilikan saham Hary di TPI.

11 Januari 2010
Kubu Tutut menggugat kepemilikan saham TPI oleh Hary ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

8 Juni 2010
Kementerian Hukum membatalkan hasil RUPS pada 18 Maret 2005 yang menabalkan kepemilikan saham Hary.

Saham TPI

Versi Siti Hardijanti Rukmana       &nbspVersi Hary Tanoesoedibjo

NamaSaham (Lembar)(Rp Miliar) Persen
Siti Hardijanti Rukmana22.048.00011,0205,35
22.048.00011,02410,00
PT Citra Lamtoro Gung Persada1.576.0000,7880,38
1.576.0000,7880,10
Yayasan Purna Bhakti Pertiwi3.150.0001,5750,77
3.150.0001,575 0,20
PT Tridan Satriaputra Indonesia380.988.000190,50092,54
380.988.000190,490 23,00
Mohamad Jarman 788.000 0,394 0,19
788.0000,3940,005
Niken Wijayanti3.150.0001,5750,77
3.150.0001,575 0,20
PT Berkah---
1.235.100.000502,30075,00
Jumlah411.700.000205,852 100
1.646.800.000708,146 100

Utang Tutut untuk Hary (Rp Miliar)

Tahap I

Kreditor
PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk.41,40
Peregrine Fixed Income Ltd.46,40
Asian Venture Finance125,60
Pemegang Saham22,50
Bank Yakin Makmur (utang sindikasi di BPPN)89,90
Bank Yakin Makmur (utang modal kerja di BPPN28,82
Bank Bumi Daya10,45
Jumlah 365,07

Tahap II

Kreditor
Obligasi subordinasi686,70
Obligasi konversi-Indosat185,20
Jumlah871,90
Total1.236,97

http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2010/07/12/LU/mbm.20100712.LU134080.id.html

Tidak ada komentar: