16 April 2010

Simulasi Kebohongan Televisi

oleh: R Kristiawan

Salah satu masalah penting yang dihadapi masyarakat saat ini adalah mencari informasi yang mana yang benar-benar layak dipercaya. Informasi berseliweran saling mempertahankan validitasnya.

Belum kasus Bank Century terkuak, kita sudah menerima rentetan informasi beserta sayap-sayap konflik yang menyertainya. Publik bingung apakah Kapolri atau Susno Duadji yang bohong, Gayus Tambunan dan Sjahril Djohan makelar kasus pajak, dan masih banyak lagi.

Kognisi publik kelelahan mencerna informasi yang dibombardir media massa. Ribuan tanda (sign) menerpa kognisi publik setiap hari tanpa kerangka empirik yang jelas. Tanda-tanda itu melayang-layang saja tanpa makna (signified) yang jelas.

Dalam hiruk-pikuk lalu lintas tanda itu, ternyata televisi tidak sekadar berperan sebagai penyaji. Andris Ronaldi mengaku diminta TVOne menjadi narasumber palsu. Dia yang sebelumnya diminta sebagai narasumber terkait PJTKI dalam sebuah talk show tiba-tiba harus menjadi makelar kasus. Bicaranya pun dipandu melalui teks yang sudah disiapkan redaksi televisi (detiknews.com, Jumat, 9 April 2010). Televisi tidak lagi menampilkan opini Andris Ronaldi apa adanya, tetapi televisilah yang merekayasa dan menentukan Andris harus berperan sebagai makelar kasus. Reporter televisi sudah berubah menjadi sutradara realitas itu sendiri. Gila bukan?

Realitas dasar

Dalam pemahaman awam, tanda dianggap selalu berhubungan dengan realitas dasar. Kata-kata, gambar, dan suara yang diciptakan manusia merupakan cerminan realitas material. Berita televisi merupakan representasi kejadian sehari-hari dalam masyarakat. Kualitas kebermaknaan berita ditentukan oleh sejauh mana mampu merepresentasikan realitas dasar sehari-hari. Etika teknik jurnalistik menjadi pemandu kualitas itu.

Namun, rupanya pola itu sudah bergeser. Hasrat monolitik modernisme telah menyulap logika itu. Tanda-tanda direkayasa demi menampilkan makna yang diinginkan pembuatnya. Kode-kode iklan tidak lagi sekadar menceritakan produknya, tetapi merayu kognisi publik untuk mengonsumsi. Animasi-animasi telah membuai khayalan publik dengan menciptakan tanda yang tidak harus memiliki keterhubungan dengan realitas dasar. Tanda telah dicerabut dari realitas dasar.

Proses rekayasa tanda itu disebut simulasi. Simulasi itu bukan pura-pura sakit, tetapi menciptakan gejala sakit itu sendiri. Kerangka pikir simulasi adalah melilhat hubungan antara tanda dan realitas dasar.

Ada empat tahap simulasi. Pertama, tanda merupakan cerminan realitas dasar. Kedua, tanda merupakan topeng realitas dasar. Ketiga, tanda merupakan topeng ketiadaan realitas dasar. Keempat, tanda tidak memiliki hubungan sama sekali dengan realitas dasar. Tahap keempat ini disebut simulakra (simulacra) di mana tanda hanya mereproduksi tanda berikutnya tanpa perlu berhubungan dengan realitas dasar. Makna diciptakan dari proses tanda yang mereproduksi tanda yang lain. Disneyland merupakan contoh sempurna simulakra (Baudrillard, 1988). Batas antara kejujuran dan kebohongan bukannya tipis, tetapi tidak ada. Semuanya hanya bermain-main dalam simulasi tanda demi mengabdi kepentingan hasrat. Opini publik menjadi wilayah sangat lentur dalam dunia pemaknaan yang tanpa batas.

Pertarungan wacana yang sedang kita saksikan akhir-akhir ini berada dalam simulasi tahap kedua dan ketiga. Redaksi TV One diduga meminta Andris Ronaldi untuk menciptakan tanda yang tidak berhubungan dengan realitas dasarnya. Tanda itu menutupi realitas dasar bahwa dia bukan seorang makelar kasus. TV itu tidak mampu menghadirkan makelar kasus asli sehingga mereka membuat simulasi lewat produksi tanda berupa Andris Ronaldi.

Kasus Andris membuktikan bahwa ternyata televisi pun bisa terlibat dalam simulasi kebohongan. Televisi sebagai penyampai berita tidak peduli lagi pada kaidah representasi realitas dasar, tetapi merasa cukup hanya dengan bermain pada wilayah rekayasa tanda. Jika itu dilakukan pada program berita atau talk show, pada bahu siapakah opini publik kemudian disandarkan?

Di balik proses simulasi bersemayam keinginan memenuhi kehendak hasrat. Institusi-institusi dalam modernitas termasuk televisi pada dasarnya bekerja sebagai mesin hasrat (desiring machine, Felix Guattari & Gilles Deleuze, 1972) untuk memenuhi hasrat tertentu.

Hasrat terbesar televisi Indonesia saat ini adalah perolehan keuntungan sebesar-besarnya. Simulasi tanda dalam acara televisi merupakan keluaran struktur liberalisasi penyiaran yang menciptakan televisi yang serakah, tidak mau dikontrol, dan tak mau tahu kepentingan publik.

Sekarang publik benar-benar hidup dalam habitat kebingungan yang sempurna. Publik tidak hanya bingung mencari siapakah anggota DPR, jaksa, polisi, yang jujur atau bohong lewat tayangan televisi. Publik juga harus siap untuk bingung mencari manakah televisi yang jujur atau bohong. R Kristiawan Manajer Program Media dan Informasi, Yayasan Tifa, Jakarta - http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/17/04314958/simulasi.kebohongan.televisi

Tidak ada komentar: