30 April 2010

Publik Berhak Akses Informasi

Presiden: Tingkatkan Kualitas Badan Publik

Jakarta, Kompas - Sejak Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik diberlakukan resmi, Jumat (30/4), publik berhak mengakses informasi di badan publik. Tak ada alasan bagi pemerintah tidak siap membuka informasi.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun berharap pemberlakuan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) ini dapat meningkatkan kualitas tata kelola badan publik. Presiden juga berharap tidak terjadi penyalahgunaan dalam pelaksanaan UU ini.

"Dalam era keterbukaan dan kebebasan, suka ada ekses, fitnah, berita yang tidak jelas dasarnya, manipulasi, atas sesuatu yang tidak seperti itu. Marilah kita jaga bersama sehingga publik mengetahui betul apa yang dilakukan badan publik, tujuannya apa, prosesnya seperti apa, akuntabilitasnya seperti apa," tutur Presiden Yudhoyono saat menerima Komisi Informasi Pusat di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat.

UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik diundangkan pada 30 April 2008, tetapi baru diterapkan pada 30 April 2010 sesuai Pasal 64 Ayat (1) Ketentuan Penutup UU ini. Salah satu pertimbangan dibuatnya UU ini adalah perlunya pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan badan publik.

Badan publik yang dimaksud dalam UU ini adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lembaga yang mendapat dana dari APBN/APBD, sumbangan masyarakat, dan dana luar negeri.

Untuk menengahi sengketa antara pemohon informasi dan badan publik, dibentuklah Komisi Informasi yang berada di pusat dan daerah. Namun, hingga dua tahun, selain Komisi Informasi Pusat, komisi di daerah baru terbentuk di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

"Dalam pertemuan, kami mohon Presiden Yudhoyono agar meminta semua kepala daerah untuk segera mengupayakan terbentuknya Komisi Informasi tingkat provinsi," ujar Ketua Komisi Informasi Pusat Ahmad Alamsyah Saragih seusai bertemu Presiden, kemarin.

Pada awal pemberlakuan ini, Presiden Yudhoyono mengharapkan Komisi Informasi mengutamakan penyelesaian sengketa informasi dengan mediasi dan atau ajudikasi nonlitigasi.

Ahmad menjelaskan, pemberlakuan UU KIP secara konsisten cukup memadai meskipun Rancangan UU Rahasia Negara yang berkaitan dengan UU KIP belum diselesaikan. Hal itu karena UU KIP mencakup pula pengaturan informasi yang tidak dibolehkan untuk dibuka kepada publik.

Ahmad mencontohkan, informasi yang berkaitan dengan penanganan perkara yang masih dalam proses, informasi terkait kekuatan militer, serta informasi yang berkaitan dengan hak intelektual dan berpotensi mengganggu persaingan usaha juga tidak boleh dibuka untuk publik. "Semua badan publik harus melakukan uji konsekuensi apakah betul informasi yang ditutup itu sesuai ketentuan UU," katanya.

Tantangan

Penerapan UU KIP ini pun diprediksi tidak berjalan mulus dan menghadapi banyak penyangkalan dan penentangan. Dalam sebuah diskusi sehari sebelumnya, Alamsyah Saragih memperkirakan masa kritis penerapan UU KIP hingga bisa diterima di semua kalangan antara satu dan dua tahun.

Menurut Alamsyah, tantangan terbesar datang dari aparat lembaga publik dalam pemerintahan, terutama mereka yang memang merasa terganggu karena diharuskan bersikap terbuka kepada masyarakat tentang informasi di lingkungan instansinya.

Selama ini, aparat dan pejabat pemerintahan yang menentang tersebut diyakini sudah merasa sangat nyaman dan aman dengan kondisi dan kebijakan yang serba tertutup. Perilaku macam itulah yang diyakini menjadi salah satu penyebab munculnya resistensi.

Mereka yang menentang keterbukaan akan mencoba memanfaatkan atau menyalahgunakan isi Pasal 17 UU KIP tentang informasi yang memang diatur bisa dikecualikan untuk dibuka ke publik. Namun, Alamsyah mengingatkan penerapan pasal itu tidak bisa serampangan.

Kalaupun ada satu informasi dikategorikan harus dikecualikan, lewat sejumlah proses pengkajian, pertimbangan, dan masukan dari kalangan ahli, Komisi Informasi bukan tidak mungkin memutuskan membukanya jika informasi itu jauh lebih bermanfaat bagi masyarakat.

Sementara itu, Arief Mudatsir, Ketua Panitia Kerja DPR periode 2004-2009 yang membahas Rancangan UU KIP, menjelaskan, UU tersebut diperlukan untuk menjamin keterbukaan dan transparansi penyelenggaraan negara pasca-Reformasi.

Awalnya, DPR mengusulkan UU KIP langsung diterapkan begitu ditetapkan pada 30 April 2008, tetapi pemerintah meminta waktu lima tahun untuk persiapan. Setelah bernegosiasi, disepakati UU KIP diberlakukan setelah dua tahun diundangkan.

"Tak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak siap karena sudah dua tahun (persiapan). Kami sudah dua tahun berkeliling ke daerah-daerah dan mereka mengatakan siap," katanya dalam diskusi tentang UU KIP di ruang wartawan DPR, Jumat. Namun, menurut Agus Sunaryanto dari Indonesia Corruption Watch, baru tujuh badan publik yang siap melaksanakan UU KIP, di antaranya Polri, DPR, serta Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Anggota Komisi I DPR, Tantowi Yahya, berpendapat, UU KIP sangat bermanfaat memperkuat demokrasi di Indonesia sebab hakikat demokrasi adalah keterbukaan atau transparansi.

Penerapan UU KIP juga dinilai sebagai upaya untuk memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme. "Korupsi berawal dari ketidakjelasan. Kalau semua informasi sudah terbuka, korupsi bisa diminimalisasi," katanya.(DWA/NTA/DAY) - http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/01/05003018/publik.berhak.akses.informasi

Tidak ada komentar: