16 Februari 2010

Protes Meluas di Dunia Maya

RPM Konten Multimedia Berpotensi Melanggar Kebebasan Pers

Jakarta, Kompas - Dunia maya belakangan ini diramaikan diskusi dan protes atas Rancangan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika tentang Konten Multimedia. Para aktivis dunia maya menilai isi rancangan peraturan menteri tersebut mengancam kebebasan berekspresi.

Kepala Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat Kementerian Komunikasi dan Informatika Gatot S Dewa Broto di Jakarta, Selasa (16/2), menjelaskan, Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Komunikasi dan Informatika tentang Konten Multimedia hanya akan menjerat penyelenggara jasa multimedia untuk meminimalkan dampak negatif teknologi informasi.

"Aturan itu tidak akan menjerat pengguna jasa, seperti pemilik situs berita online, pemilik blog, dan semacamnya," kata Gatot.

Namun, para aktivis dunia maya tetap saja khawatir. Sejak 12 Februari lalu, telah terjadi diskusi-diskusi tentang RPM Konten Multimedia ini. Semangat egaliter dan konsolidasi sosial terlihat semakin menguat dengan isu adanya kebebasan berekspresi yang akan dibatasi lewat RPM Konten Multimedia ini.

Lewat situs Twitter, tempat setiap orang bisa berkomentar, hampir setiap menit ada pihak yang berkomentar dengan kata kunci #rpmkonten atau #tolakrpmkonten.

Pesan-pesan dari masyarakat itu mereka sampaikan langsung pada akun yang mengatasnamakan Menkominfo Tifatul Sembiring di http://twitter.com/ tifsembiring.

Sayangnya, akun itu sama sekali tidak memberikan komentar tentang RPM Konten Multimedia ini. Pesannya terakhir tertanggal 15 Februari hanya menyebutkan, "Minister & CEO meeting, Barcelona: Bgmn tingkatkan ekonomi dg ICT tp tetap pertahankan budaya, selamatkan anak2 dr efek negatif internet". Saat ini Tifatul Sembiring memang sedang berada di luar negeri.

Gerakan massa

Di Twitter, komentar-komentar bervariasi, mulai dari pertanyaan sederhana, seperti apa itu RPM Konten Multimedia, hingga ajakan gerakan massa.

Gerakan massa itu digalang dengan cara mengirimkan e-mail penolakan RPM Konten Multimedia kepada gatot_b@postel.go.id, yang namanya tertera di situs postel.go.id, sebagai pihak yang menerima masukan dari masyarakat tentang RPM Konten Multimedia.

Komentar begitu meluas, termasuk mendiskusikan kontrol internal dari para pengguna internet, seperti dibahas dalam forum #internetsehat.

Di Facebook, muncul akun "SOS Internet Indonesia" dan grup "Tolak RPM Konten Multimedia", yang masing-masing anggotanya hingga Selasa malam mencapai 8.486 orang dan 1.909 orang. Kecepatan pertambahan pendukung isu ini mengingatkan pada gerakan mendukung Bibit-Chandra.

Diskusi-diskusi di Facebook lebih mendalam dengan hadirnya tulisan-tulisan yang dihubungkan (di-link) dari situs atau blog. Beberapa pakar multimedia, seperti Onno W Purbo, menyebarkan analisisnya di Facebook dan opensource Speedy.

Dalam tulisannya, Onno menyampaikan agar Kementerian Komunikasi dan Informatika merangkul komunitas yang sudah hampir belasan tahun berjuang membangun komunitas Internet Sehat dan Nawala Project agar konten di Indonesia sehat. Onno menggarisbawahi agar RPM Konten Multimedia ini ditinjau kembali karena akan membunuh perusahaan-perusahaan penyelenggara konten (content provider).

Kesalahan fatal RPM, tulis Onno, adalah penanggung jawab terletak pada logika bahwa penyelenggara konten menjadi penanggung jawab isi. Padahal, dalam dunia maya, penyelenggara konten tidak memiliki kekuasaan terhadap konten yang dibuat oleh penulis atau pengunggah (peng-upload).

Onno juga menyoroti keanehan bahwa pembuat web harus minta izin. "Aneh. SIUP (surat izin usaha penerbitan) dibuang, membuat web harus izin menteri," begitu tulisnya.

Hal senada disampaikan Bapak Blogger Indonesia Enda Nasution. Enda menyatakan, visi pemerintah untuk penyebaran internet di Indonesia belum dirumuskan. Padahal, hal itu jauh lebih mendasar dan komprehensif ketimbang RPM Konten Multimedia.

Enda mempertanyakan beberapa substansi dalam RPM Konten Multimedia, seperti adanya konten pornografi yang dilarang, tetapi tidak dirinci definisinya. Pembentukan Tim Konten Multimedia juga, menurut dia, berlebihan dan dapat menjadi sebuah superbody (lembaga yang sangat berkuasa) karena secara aktif mengawasi hingga memberikan sanksi. "Bayangkan, nanti mereka akan memberikan sanksi ke Facebook atau Kompasiana, misalnya, karena ada komentar dari seseorang," kata Enda.

Kebebasan pers

Ketua Aliansi Jurnalis Independen Nezar Patria berpendapat, aturan dalam RPM itu tumpang tindih dengan sejumlah undang-undang lain. Pengaduan tentang sebuah berita seharusnya diselesaikan melalui Dewan Pers dengan menggunakan Undang-Undang (UU) Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, bukan diselesaikan Tim Konten Multimedia bentukan Menkominfo.

Ketua Fraksi PDI-P DPR Tjahjo Kumolo bahkan mendesak RPM Konten Multimedia dibatalkan. Peraturan itu membahayakan kebebasan pers dan bertentangan dengan UU No 40/1999 tentang Pers Pasal 4 yang mengatur tidak ada sensor untuk pers. Protes serupa juga dikemukakan Kepala Divisi Non-Litigasi Lembaga Bantuan Pers Arief Ariyanto.

Terhadap silang pendapat ini, Gatot S Dewa Broto menjelaskan, RPM Konten Multimedia itu sebenarnya sudah disusun sejak tahun 2006. Akan tetapi, rancangan itu tidak segera dipublikasikan karena payung hukum yang digunakan belum kuat. Saat itu, Departemen Kominfo hanya menggunakan Pasal 21 UU Telekomunikasi sebagai dasar penyusunan RPM Konten Multimedia.

Oleh karena merasa kurang kuat, lanjut Gatot, pemerintah memutuskan menunggu payung hukum baru, yakni UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang disahkan pada tahun 2008. "Kenapa baru muncul sekarang, karena UU ITE yang menjadi acuan baru disahkan tahun 2008," kata Gatot.(edn/nwo/nta) http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/17/03192032/protes.meluas.di.dunia.maya

Tidak ada komentar: