08 Februari 2010

Membangun Sekolah Jurnalisme di Indonesia

HARI PERS (1)

Wisnu Dewabrata :: Rabu siang pekan lalu, wajah tujuh mahasiswa semester akhir Jurusan Ilmu Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, yang baru saja mengikuti sidang komprehensif di kampus Jatinangor, Sumedang, Jawa Barat, tampak tegang dan tidak terlalu senang.

Raut muka tegang mereka sangat terlihat ketika memasuki ruang sidang tempat keempat dosen penguji, yang beberapa jam lalu "menyidang" mereka, sudah "duduk manis" menunggu. Seolah cuplikan film bergenre suspense, cuaca di luar saat itu pun terkesan sangat tidak bersahabat. Hujan deras mengguyur, diselingi kilatan dan bunyi petir bergantian.

Boleh jadi semua itu menjadi semacam firasat buruk, yang kemudian menjadi kenyataan. Keempat dosen penguji menyatakan mereka tidak lulus. Mereka dinilai tak menguasai teori-teori seputar ilmu komunikasi, terutama terkait bidang jurnalisme, alih-alih mampu mengikuti perkembangan termutakhir.

Keputusan untuk tidak meluluskan seperti itu diakui Ketua Jurusan Ilmu Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Fikom Unpad) Herlina Agustin sebagai upaya mereka menjaga standar kualitas kelulusan mereka. Apalagi selama ini tuntutan para perusahaan media massa sangat tinggi.

Tak cuma itu, pihak jurusan juga menggelar berbagai upaya perbaikan dan pembenahan. Beberapa mata kuliah "dipangkas", dari total sebelumnya 155 sistem kredit semester (SKS) menjadi hanya 146 SKS untuk jenjang strata I. Selain itu, porsi mata kuliah praktik dan jurusan ditambah bobotnya menjadi setidaknya 40 persen dari total SKS.

Untuk mendekatkan mahasiswa ke dunia kerja, mereka pun dibebani mata kuliah praktik kerja lapangan (job training) di media elektronik dan cetak.

Diakui memang ada banyak cara untuk meningkatkan standar kualitas dan kompetensi para calon jurnalis lulusan Jurusan Ilmu Jurnalistik Fikom Unpad. Namun, menurut Dekan Fikom Unpad Deddy Mulyana saat ditemui secara terpisah, semua langkah itu mensyaratkan banyak hal, mulai dari ketersediaan alokasi anggaran yang memadai hingga aturan kebijakan pendukung lain. Kalau memang mau serius, banyak perombakan harus dilakukan, tidak hanya di tingkat internal fakultas, tetapi juga sampai ke tingkat kebijakan pendidikan tinggi nasional.

Dengan begitu, mimpi untuk membangun Sekolah Jurnalisme (School of Journalism) andal dan profesional di tingkat nasional, seperti sudah lama ada di negara maju, bisa terwujud. Namun, sayangnya, perkembangan Sekolah Jurnalisme di Tanah Air diyakini masih terbilang tertinggal. Hal itu disampaikan Leo Batubara, mantan anggota Dewan Pers, saat ditemui secara terpisah.

Menurut Leo, India jauh lebih maju ketimbang Indonesia dalam hal itu. Perusahaan media massa di sana, menurut dia, tak perlu lagi repot merekrut dan mendidik para calon wartawan mereka, apa pun latar belakang keilmuan mereka, lantaran hal itu sudah selesai dilakukan di sekolah-sekolah jurnalisme yang ada. Mereka juga memiliki standar kompetensi tertentu, yang juga telah ditetapkan dan disepakati bersama. Tidak hanya itu, Pemerintah India pun dinilai Leo jauh lebih mendukung.

Sejak masih dijajah Belanda sampai sekarang Indonesia tidak pernah peduli untuk mendirikan sekolah jurnalisme yang baik. Sementara di India, ada ratusan sekolah yang setiap tahun melahirkan jurnalis yang memenuhi standar, mampu membuat berita yang mencerahkan dan mengkritik demi kepentingan masyarakat banyak. Di Indonesia, kebanyakan media massa mendirikan sendiri lembaga pendidikan dan pelatihan. Hal itu pun hanya bisa dilakukan terutama oleh perusahaan media yang mapan dan punya kemampuan finansial. "Sementara selebihnya, ya, tidak punya standar kompetensi wartawan," ujar Leo.

Menurut Leo, di Indonesia sebetulnya ada banyak potensi sekolah jurnalisme, mulai dari yang ada di perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, hingga berbagai lembaga pendidikan jurnalistik swasta semacam di Lembaga Pers Dr Sutomo (LPDS) Jakarta; Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y), dan juga beberapa organisasi profesi kewartawanan.

Wartawan "abal-abal"

Namun, sayang, setiap lembaga punya standardisasi sendiri. Akibatnya Indonesia kekurangan wartawan berkualitas yang punya standar kompetensi wartawan. Sementara di luar sana ada banyak wartawan abal-abal, wartawan amplop, dan pemeras yang merajalela. Akibatnya mereka yang merusak citra media massa benaran dan juga mencoreng kebebasan pers.

"Para wartawan amplop seperti itu bisa terus ada dan terpelihara karena para pejabat, pengusaha, dan aparat bermasalah lebih suka membayar mereka," gugat Leo.

Pendapat senada disampaikan mantan Ketua Dewan Pers Atmakusumah Astraatmadja. Menurut dia, reformasi berdampak memicu ledakan (booming) media massa, mulai dari media cetak, radio, hingga elektronik. Untuk media massa cetak, lonjakannya bahkan sampai empat kali lipat dari sebelumnya yang hanya 300 surat kabar, tabloid, dan majalah. Lonjakan terjadi karena surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) mudah sekali diberikan pemerintah setelah sebelumnya surat izin itu dipakai sebagai cara mengontrol pers oleh rezim Orde Baru.

"Ada yang serius, ada pula yang hanya mengandalkan berita sensasi tanpa peduli standar jurnalisme yang profesional," ujar Atmakusumah.

Atmakusumah lebih lanjut meminta adanya standardisasi dan perbaikan kurikulum lembaga-lembaga pendidikan jurnalistik, terutama yang ada di tingkat perguruan tinggi. Selama ini perguruan tinggi lebih memilih memfokuskan diri pada pengajaran teori ketimbang praktik. Beberapa kemampuan yang, menurut dia, harus dikembangkan dalam kurikulum pengajaran di sana adalah kemampuan menulis dan mengumpulkan berita, kemampuan melobi narasumber, penguasaan ilmu pengetahuan umum dan bahasa asing, serta pemahaman hukum dan kode etik jurnalistik. Dia juga menyarankan semua perguruan tinggi terkait duduk bersama membahas semua persoalan dan kendala yang ada, termasuk menetapkan standar kompetensi bersama.

Lebih lanjut, saat dihubungi secara terpisah, pengajar senior Program Sarjana Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Zulkarimein Nasution, mengatakan, upaya sinkronisasi standar kurikulum sebenarnya sudah dilakukan. Pada pertengahan April 2007 sedikitnya 30 lembaga pendidikan tinggi, yang menjalankan jurusan atau program studi ilmu jurnalistik, se-Indonesia berkumpul dan sepakat mendirikan Asosiasi Pendidikan Jurnalisme Indonesia (AP-J-Indonesia).

Menurut Zulkarimein, disepakati pula standar ukur (benchmark) yang diacu adalah model Curricula for Journalism Education dari Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO).

Dalam model itu disebutkan, pendidikan jurnalistik harus mengajarkan dasar-dasar jurnalisme seperti kemampuan berpikir kritis dan komprehensif, analitis, serta memiliki pemahaman dasar tentang metode pembuktian dan riset. Selain itu, harus diajarkan teknik penulisan komprehensif dan koheren, baik secara deskriptif maupun naratif, termasuk dengan menggunakan metode analisis.

Kurikulum pendidikan jurnalistik juga diharapkan mampu membuat orang menguasai berbagai macam pengetahuan, mulai dari politik, ekonomi, budaya, agama, hingga institusi sosial, baik dalam konteks nasional maupun internasional, dan juga pengetahuan tentang isu dan perkembangan aktual serta pengetahuan umum tentang sejarah dan geografi.

Lebih lanjut dalam peringatan Hari Pers Nasional tahun 2010 di Palembang, Sumatera Selatan, Dewan Pers, organisasi profesi wartawan, dan sejumlah pimpinan perusahaan pers yang akan hadir rencananya akan meratifikasi Piagam Palembang berisi empat kesepakatan. Selain berisi Standar Kompetensi Wartawan, Piagam Palembang juga berisi ketetapan Standar Perusahaan Pers, Standar Kode Etik Jurnalistik, dan Standar Perlindungan Profesi Wartawan.

Sejumlah kalangan meyakini keempat standar itu, terutama terkait Standar Kompetensi Wartawan, akan mampu menjawab berbagai pertanyaan dan gugatan terhadap kebebasan pers, yang selama ini kerap dituduh sudah kebablasan. Selain itu, diyakini pula, dengan kejelasan standar kompetensi tadi, profesi wartawan akan disetarakan dengan sejumlah profesi lain, seperti pengacara atau dokter, yang punya standar kerja dan bayaran yang terukur. - http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/09/03511571/membangun.sekolah.jurnalisme.di.indonesia

Tidak ada komentar: