28 November 2009

Berita Rasa "Infotainment"

Budi Suwarna

Televisi, belakangan ini, mengemas berita politik dengan gaya infotainment. Barangkali, inilah konsekuensi logis akibat masuknya politik ke tengah budaya hiburan yang salah satu pusatnya adalah televisi.

Politik pun lagi tidak lagi dipandang sebagai peristiwa semata, melainkan juga tontonan yang penuh drama, konflik, skandal, dan kadang dibumbui perselingkuhan. Perbincangan tentang politik—seperti perseteruan KPK-Polri—tak kalah heboh dibandingkan kasus kawin-cerai artis.

Tidak heran jika produser televisi dengan sadar mengemas berita politik sedemikian rupa demi mendongkrak rating. "Politik itu sekarang seperti gosip, sama-sama bisa dijual asalkan kita bisa mengemasnya," ujar Manager Produksi Berita MetroTV Dadi Sumaatmadja, Rabu (25/11).

Pertimbangan itulah yang antara lain mendorong MetroTV membuat Newsmakers, program berita politik dalam kemasan infotainment yang tayang setiap Rabu malam sejak tiga bulan lalu. Boleh dikata, acara ini meminjam hampir semua trik infotainment dalam menyedot pemirsa, mulai pemberitaan yang fokus pada orang sampai potongan gambar sensasional yang berseliweran cepat. Bahkan, cara membaca narasi juga terdengar dramatis seperti gaya bicara Feni Rose di acara gosip Silet.

Seperti halnya infotainment, Newsmakers memang mendayagunakan seluruh potensi audio-visual untuk mengonstruksi cerita, menggiring persepsi, hingga menjustifikasi "realita".

Tengoklah bagaimana acara ini menyajikan berita perseteruan KPK-Polri. Ketika gambar Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah—dua mantan pemimpin KPK—muncul, terdengar potongan syair lagu "cicak-cicak di dinding/ diam-diam merayap...".

Giliran gambar petinggi Polri Susno Duadji, diperdengarkanlah lagu dari duo Ratu, "Lelaki Buaya Darat", "...buaya darat/ busyet aku tertipu lagi/ huo huo o...."

Produser Newsmakers Suryansyah mengatakan, pihaknya sengaja menggunakan lagu sebagai musik latar (scoring) berita. "Biasanya kami memilih lagu yang liriknya nyambung dengan narasi berita ."

Narasi Newsmakers juga khas infotainment yang kerap menghadirkan pertanyaan besar tanpa jawaban di ujung kisah. Di episode 11 November, misalnya, acara itu melempar pertanyaan, "Adakah hubungan antara pertemuan Rani (Juliani) dan Antasari (Azhar) dengan pembunuhan Nasrudin Zulkarnain? Inilah misteri yang belum terjawab".

Meski diwarnai permainan tanda dan bahasa yang mirip infotainment, Suryansyah menolak jika Newsmakers disamakan dengan acara gosip. "Kami tetap bersandar pada fakta. Kami juga tidak membicarakan urusan pribadi orang. Kami memberitakan orang selama berkaitan dengan sebuah kasus. Inilah yang membedakan Newsmakers dengan infotainment benaran," katanya.

Godaan "infotainment"

Mengapa berita perlu dikemas seperti infotainment? Ini ada kaitannya dengan karakter industri televisi yang menuntut produser—termasuk produser program berita—membuat program menarik sekaligus laku dijual. Karena infotainment terbukti mampu menyedot banyak penonton, sebagian produser berita pun tergoda menjajal trik infotainment.

Dengan kemasan seperti itu, kata Suryansyah, Newsmakers meraih rating di atas dua pada pertengahan November. Ini hasil yang bagus untuk sebuah acara berita.

Selain Newsmakers, beberapa program berita lainnya juga meminjam sebagian trik infotainment. Lihat saja, setiap ada bencana besar, televisi menyajikan gambar dramatis yang berlebat cepat dengan iringan lagu Ebiet G Ade, "Untuk Kita Renungkan". Ketika Indonesia bersengketa dengan Malaysia soal Ambalat, televisi menyajikan beritanya dengan iringan "Maju Tak Gentar".

Berita dengan kemasan infotainment memang menarik sebagai sebuah tontonan, terutama bagi pemirsa Indonesia yang selama bertahun-tahun biasa disodori rumor dan gosip.

Namun, pendekatan ini membuat pemirsa sulit membedakan antara fakta, fiksi, realitas, simulakra, kebenaran, kepalsuan. Semuanya bercampur aduk dan tidak karu-karuan. -- http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/11/29/03365079/berita.rasa.infotainment

Tidak ada komentar: