21 Juli 2009

Penegakan Etika Jurnalistik Multitafsir

Salah satu problem kode etik jurnalistik adalah kemungkinannya ditafsirkan dari beberapa sisi. Dari penelitian terungkap, hanya sekitar 17 persen jurnalis Indonesia membaca kode etik jurnalistik, apalagi hukum pers.

Demikian terungkap dalam lokakarya di Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS), Jakarta, Selasa (21/7) di Gedung Dewan Pers, Jakarta, yang diadakan untuk memperingati Hari Ulang Tahun Ke-21 LPDS. Tampil dua narasumber, yaitu Atmakusumah Astraatmadja (mantan Direktur Eksekutif LPDS) dan Budiman Tanuredjo (Redaktur Pelaksana Harian Kompas). Direktur Pemberitaan TV One Karni Ilyas berhalangan hadir.

Budiman Tanuredjo mengutip hasil penelitian AJI mengatakan, persoalan real adalah minimnya wartawan membaca kode etik jurnalistik dan hukum pers. "Kode etik jurnalistik belum sampai pada perdebatan etis karena minim dibaca," ujarnya.

Atmakusumah mengatakan, ada empat kode etik yang sanksi moralnya absolut. Pertama, membuat berita dengan informasi yang sejak semula diketahui bohong. Kedua, menerima suap yang menyebabkannya memublikasikan atau tidak memublikasikan sesuatu informasi. Ketiga, melakukan plagiarisme, mengutip karya jurnalistik orang lain yang diaku sebagai karyanya sendiri. Dan keempat, mengungkapkan identitas narasumber anonim, konfidensial, atau rahasia yang menyebabkan narasumber tersebut serta anggota keluarganya mengalami ancaman jiwa. (NAL)

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/22/03372811/langkan

Tidak ada komentar: