07 Februari 2009

Perlawanan Pemirsa TV

KOMPAS/ARUM TRESNANINGTYAS DAYUPUTRI / Kompas Images
Kaus produksi Parental Advisory Clothing yang berisikan kampanye menentang tayangan televisi, khususnya sinetron.
Budi Suwarna

Apa saja yang disajikan televisi hiburan Tanah Air? Sebagian besar adalah gosip, klenik, humor "slapstick", sinetron murahan, cerita perselingkuhan, kekerasan, dan informasi remeh-temeh. Pantas saja, jika sekarang muncul orang-orang yang secara terang-terangan mengampanyekan gerakan antisinetron, bahkan antitelevisi.

Selama satu dekade terakhir sajian televisi nyaris tidak berubah. Pada waktu subuh televisi menyiarkan siaran dakwah yang antara lain mengingatkan orang agar tidak ber-ghibah atau bergunjing atau bergosip. Namun, beberapa jam kemudian stasiun televisi yang sama malah menyiarkan infotainment yang seluruhnya berisi gosip.

Lain waktu sebuah stasiun televisi menyajikan reality show yang berkisah tentang nasib orang miskin yang mengharu biru. Setelah itu stasiun tersebut menayangkan iklan panjang perusahaan properti yang menawarkan apartemen baru yang diklaim sebagai mahakarya anak bangsa.

Inilah yang membuat Idi Subandy, pengamat media dan gaya hidup, sering mengurut dada sambil bertanya, "Mau ke mana sebenarnya arah televisi kita?"

Sialnya, industri televisi tampaknya tidak ambil pusing dengan pertanyaan seperti itu. Bahkan, mereka tampak tidak peduli dengan kritik dan kecaman yang disampaikan sejumlah penonton melalui kotak pengaduan situs Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), kolom surat pembaca di koran, dan seminar-seminar. Mengapa? Karena acara semacam itulah yang, menurut pengelola televisi, bisa mendongkrak rating dan mendatangkan uang.

Maka, wajah sinetron kita pun tidak berubah selama lebih dari satu dekade. Cerita sinetron kita masih didominasi cerita cinta, intrik keluarga, dan perselingkuhan. Sekalinya masuk ke tema religi, pendekatannya teramat dangkal. Beberapa sinetron religi kerap menggambarkan orang jahat kalau meninggal, mayatnya akan ditolak Bumi. Berkali-kali dikuburkan, berkali-kali pula mayatnya mental ke udara.

Karakter tokoh sinetron tetap hitam-putih, yakni orang jahat sekali versus orang baik sekali. Adegan yang muncul masih seputar saling maki, saling tampar, dan saling jambak. Akting yang paling sering diperagakan adalah mata melotot dan mulut dimanyun-manyunkan.

Jualan utama infotainment tidak beranjak dari gosip percintaan, perselingkuhan, perceraian, dan kekerasan yang melibatkan selebriti. Fakta tidak terlalu penting karena infotainment cukup memprovokasi orang dengan pertanyaan-pertanyaan penuh prasangka, seperti "Ada apa di balik kematian mantan artis panas Suzanna? Apakah benar ada aroma pembunuhan di sana?"

"Siapakah orang ketiga di balik kisruh rumah tangga Pasha Ungu?" Pertanyaan-pertanyaan itu tidak dijawab infotainment. Penonton disuruh berprasangka sendiri.

Acara komedi sekarang ini pun mengalami kemunduran. Jika dulu ada acara lawak Bagito Show yang gaya lawaknya cerdas, sekarang semua acara komedi menyajikan humor vulgar. Para pemerannya banyak memancing tawa penonton dengan menghina kekurangan fisik orang lain.

Didin Sabarudin dari Bandung Spirit TV Watch, bahkan, menemukan banyak program berita yang menayangkan kekerasan secara rinci. "Lihat saja, televisi menayangkan bagaimana cara memerkosa secara detail. Bahkan—maaf—bagaimana (pemerkosa) memelorotkan celana pun ditayangkan meski ada keterangan adegan diperagakan model," kata Didin, Kamis (5/2).

Dengan corak tayangan seperti itu, kata Didin, jangan heran jika ada orang yang mengecap televisi sebagai "universitas kejahatan".

Namun, lanjut Didin, kebanyakan penonton di Indonesia adalah dominant reader yang mengikuti begitu saja arus media. Mereka mengonsumsi begitu saja kekerasan, klenik, hiburan, isu politik, hingga perselingkuhan artis.

Antisinetron

Meski masih sedikit, namun "perlawanan" terhadap tayangan televisi sudah dilakukan secara terang-terangan oleh sejumlah orang. Wahyu Aditya (29), desainer grafis dan pembuat film animasi di Jakarta, mengampanyekan gerakan antisinetron dengan media kaus dan situs internet.

"Saya membuat dan menjual kaus bertuliskan antisinetron sejak tahun 2007. Mengapa? Karena saya gelisah melihat kualitas sinetron kita," kata Wahyu yang pernah bekerja di salah satu stasiun televisi nasional.

Di dunia maya, dia membuat Najis Award yang dianugerahkan kepada sinetron yang editing-nya paling buruk dan ceritanya paling melecehkan logika. "Sekarang saya sedang eneg dengan reality show cinta-cintaan. Malu melihatnya," tambahnya.

Dari seabrek acara televisi, Wahyu hanya mau menonton program berita, film, dan musik.

Phaerly M Musadi alias Pei (33) di Bandung melakukan hal serupa. Dia membuat dan menjual kaus bertuliskan antara lain "Kill Sinetron-Sinetron Killed", "Fight for Your Fantasy-Shut Down Your TV", sebagai ungkapan protes atas tayangan televisi yang buruk.

Di rumah, Pei sempat "mengharamkan" kehadiran televisi sejak tahun 1997. Enam bulan lalu dia terpaksa membeli televisi yang digadaikan temannya. Namun, dia sangat membatasi anak dan istrinya untuk menonton televisi. Sampai-sampai istrinya harus ngumpet jika ingin menonton infotainment.

Perlawanan juga dilakukan Yayasan Pengembangan Media Anak (YPMA). Sejak 2006, yayasan ini mengampanyekan hari tanpa televisi menjelang atau setelah Hari Anak tanggal 23 Juli. Ketua YPMA Bobi Guntarto mengatakan, kampanye itu dilakukan untuk mengurangi ketergantungan anak kepada televisi.

Dengan cara lain, Yayasan SET dua tahun terakhir membuat rating kualitatif yang merupakan tandingan rating kuantitatif yang selama ini menjadi patokan pengelola televisi.

Pengamat media, Idi Subandy, melihat, gerakan antisinetron dan antitelevisi adalah respons penonton yang paling ekstrem. Ini mungkin bagian dari gejala sindrom posmodernitas berupa reaksi balik sekelompok masyarakat yang memandang televisi sebagai "kotak jahat".

"Kita tidak harus setuju dengan sikap anti seperti itu. Tapi, pesan mereka jelas: televisi bisa membuat masyarakat kurang atau bahkan tidak berbudaya," tegas Idi.

Oleh karena itu, jika tidak ingin ditinggalkan pemirsa, televisi harus memperbaiki tayangannya. (Lusiana Indriasari)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/08/0125035/perlawanan.pemirsa.tv

Tidak ada komentar: