08 Februari 2009

Mengapa Media Selalu Curiga? - Opini Suprawoto

Fakta sejarah di Indonesia menunjukkan bahwa setiap pemerintah yang berkuasa pada awalnya selalu memberikan janji kemerdekaan terhadap pers.

Namun,kemudian, dalam perjalanan selanjutnya menjadi berbeda.Bak sebuah ungkapan yang disampaikan seorang politikus Partai Demokrat Amerika Serikat Mario Cuomo, "Anda berkampanye dalam puisi indah,memerintah dalam prosa.

" Meski pada awalnya ada janji-janji untuk tidak membatasi kebebasan pers,pada kenyataannya berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dinilai buruk oleh pekerja media, cenderung membatasi kebebasan pers,bahkan mengancamnya. Hal ini bisa dirunut dari masa pemerintahan Presiden Soekarno.

Sebagai founding fathers Soekarno menjamin kebebasan pers dalam Pasal 28 UUD 1945. Menteri Penerangan waktu itu, Mr Amir Sjariffudin, pada Oktober 1945 menegaskan kembali melalui maklumatnya bahwa penyelenggaraan pemerintahan harus bersendikan asas pers merdeka.

Oleh karena itu,kebijakan komunikasi dan penerangan yang dianut pemerintah dijanjikan sebagai berikut: "Pikiran masyarakat umum (public opinions) itulah sendi dasar pemerintah yang berkedaulatan rakyat. Pers yang tak merdeka tidak mungkin menyatakan pikiran masyarakat,tetapi hanya pikiran beberapa orang yang berkuasa. Maka, asas kita ialah pers harus merdeka.

" Sejarah membuktikan, pers masa perjuangan waktu itu bahu-membahu mendukung pemerintah untuk berjuang mengusir penjajah. Akan tetapi,setelah Belanda pergi dan pers mulai kritis terhadap pemerintah, pembredelan mulai dilakukan.Tafsir pemerintah atas kemerdekaan pers hanya digunakan untuk memperkuat status quodibandingkan membangun keseimbangan sebagai kontrol publik terhadap pemerintah.

Surat kabar Indonesia Raya, Pedoman, dan Nusantaramenjadi saksi atas pengingkaran janji pemerintah di masa kepemimpinan Soekarno. Sinar Harapan pun sempat mengalami pembredelan oleh pihak penguasa pada awal Oktober 1965 ketika terjadi pemberontakan G30S/PKI.

Kelahiran Orde Baru di bawah pemimpinan Presiden Soeharto juga dihiasi dengan janji akan kebebasan pers.Sebagai koreksi atas Orde Lama yang mulai mengekang kebebasan pers,pemerintah menjamin kebebasan pers melalui undang-undang tentang pers.Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 Pasal 4 secara jelas dan tegas dinyatakan bahwa "pers bebas dari kontrol dan pembredelan".

Bahkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967, sebagai revisi atas undang-undang sebelumnya, hanya mengubah klausul yang berkaitan dengan media cetak, yaitu Jaksa Agung tidak memiliki wewenang untuk melakukan pembredelan. Bulan madu kebebasan berakhir seusai peristiwa Malari 1975. Upaya pemerintah melakukan pengekangan mulai muncul kembali.

Kontrol atas kebebasan pers makin mengerucut dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982 Pasal II butir 13 yang mengharuskan setiap penerbitan pers memiliki SIUPP. Kemudian hal itu dijabarkan dalam Peraturan Menteri Penerangan Nomor 01/Permenpen/ 1984 yang mengatur tentang prosedur dan persyaratan untuk memperoleh surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP).

Dalam peraturan ini, Menteri juga dapat mencabut SIUPP terhadap pers yang dipandang melanggar ketentuan. Dalih yang dimunculkan pemerintah atas keluarnya peraturan perundangan ini adalah mengedepankan konseptuasi kebebasan yang bertanggung jawab.Sejarah mencatat,pada masa Orde Baru banyak pembredelan dilakukan dan "budaya telepon"berkembang untuk mengekang kebebasan pers.

Musim Semi Era Reformasi

Pendulum sejarah berganti.Pemerintah era Reformasi di bawah pimpinan Presiden BJ Habibie lahir. Pemerintahan Habibie tercatat sebagai pemerintahan yang mengakomodasi kebebasan pers. Bahkan dalam masa awal pemerintahannya, janji kebebasan pers dituangkan langsung dalam undang-undang pertama yang disahkan, yaitu Undang-Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Pers tak perlu lagi izin dan sejenisnya dan malahan ada sanksi bagi yang menghambat kemerdekaan pers. Pemerintahan Habibie hanya sebentar digantikan oleh pemerintahan Abdurrahman Wahid.Sebagai jaminan untuk memastikan bahwa kontrol serta pembredelan terhadap pers tidak ada lagi,

Presiden Gus Dur langsung membubarkan Departemen Penerangan pada Oktober 1999 yang selama ini identik dengan lembaga yang membelenggu pers. Salah satu alasan Presiden Gus Dur membubarkan Departemen Penerangan karena informasi adalah urusan masyarakat,bukan lagi menjadi urusan pemerintah.

Pembubaran Departemen Penerangan menandai hilangnya kontrol negara, selanjutnya siapa mengontrol pers? Media Wacth,obmudsman tiap media, Dewan Pers,dan masyarakat tentunya. Namun polemik dalam dunia pers waktu itu tak bisa serta mudah selesai dengan mudah.

Dalam berurusan dengan pekerja pers yang mulai kritis, banyak orang kemudian mulai menafsirkan arti masyarakat secara sempit dengan idiom "pengerahan massa".Tentu ingatan kita tak akan lupa dari pendudukan kantor Jawa Pos oleh simpatisan Presiden Gus Dur untuk meminta klarifikasi atas pemberitaan dan pemuatan karikatural media yang mulai kritis.

Ketika pemerintahan berganti, Presiden Megawati Soekarnoputri kembali lagi menjanjikan kebebasan pers. Gaya pemerintahan Megawati memang berbeda dengan gaya pemerintahan Abdurrahman Wahid. Namun tatkala pers mulai kritis terhadap pemerintah, Presiden Megawati menyampaikan keluhannya terhadap pers yang selalu mengkritisi pemerintah dalam pidato di Hari Pers Nasional di Banjarmasin.

Akhirnya pada masa pemerintahannya, Megawati pernah menggugat media massa (kasus harian Rakyat Merdeka).Langkah itu diambil sebagai akumulasi pemberitaan yang menyerang secara terus-menerus dan tidak adil.Namun demikian,memang Presiden Megawati tidak pernah membredel media massa.

Dari rangkaian sejarah seperti tersebut di atas, tak mengherankan jika kemudian masih ada anggapan bahwa kebebasan pers selama ini masih mengalami ancaman dengan berbagai cara dan bentuknya.

Masa SBY-JK

Pada awal pemerintahan,Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menyampaikan dengan tegas komitmen pada demokrasi dan kebebasan pers.Selain menjamin tidak akan ada lagi pembredelan terhadap pers,Presiden SBY juga berjanji membuat pers terus berkembang dan mendapatkan peran dalam kebebasannya.

Sebagai wujud realisasi terhadap komitmen tersebut, dalam pidato pada Hari Pers Nasional Tahun 2008 lalu, Presiden SBY menyampaikan seandainya diminta memilih untuk memberikan kebebasan kepada pers atau mengatur pers, dengan tegas Presiden menyatakan akan memilih yang pertama yaitu memberikan kebebasan kepada pers.

Pada tanggal 30 April 2008 lalu, pemerintah telah mengesahkan Undang- Undang No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Kehadiran undang-undang ini akan dapat lebih memberikan jaminan atas keterbukaan informasi sekaligus merupakan penguat kemerdekaan pers sebagaimana amanat Undang- Undang No 40/1999 tentang Pers.

Mekarnya kebebasan pers itu telah kita nikmati.Tak berlebihan apabila kemudianalmarhumProf AffanGaffar dari UGM dalam pertemuan editor se- Asia Tenggara di Jakarta menyatakan bahwa Indonesia memiliki pers yang paling bebas di Asia Tenggara.

Namun, apakah kebebasan itu ada kemungkinan direnggut kembali? Tentunya kekhawatiran itu tidak perlu ada karena banyak lembaga yang mengawal kemerdekaan pers. Bahkanada Mahkamah Konstitusi yang menjadi garda pengawal apabila sebuah undang-undang bertentangan dengan amanat UUD 1945 atau mencederai hak konstitusi warga negara. Jadi mengapa kita masih harus curiga?

Akan lebih arif apabila kita memaknai kemerdekaan pers saat ini dengan kemerdekaan pers itu untuk siapa? Tentu jawabannya akan terpulang pada tema Hari Pers Nasional tahun ini yang tengah diusung temanteman media: "kemerdekaan pers dari dan untuk rakyat".(*)

Suprawoto, Kepala Badan Informasi Publik Depkominfo
http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/211992/

Tidak ada komentar: