28 Februari 2009

Bercermin dari Bangkrutnya Media Cetak AS

Fereshti ND
(Dosen MSDM dan Kewirausahaan di UMS Solo)

Berita tentang bangkrutnya sejumlah media cetak di AS tampaknya semakin membuka mata dunia industri media tentang ancaman atas perkembangan teknologi internet yang memungkinkan masyarakat tidak lagi membeli media cetak. Bahkan, berita terbaru, yaitu Hearst Co pemilik San Fransisco Chronicle, sebuah koran utama di Kota San Fransisco, pada Selasa 24 Februari 2009 lalu telah berniat untuk menjual. Sebelumnya, Tribune Co, sebagai salah satu group media terbesar di AS pemilik Los Angeles Times dan Chicago Tribune, pada Desember 2008 telah mengajukan perlindungan bangkrut ke pengadilan karena terus merugi akibat penurunan penjualan.

Secara umum para pengelola media hanya memandang bahwa gejala merosotnya jumlah pembaca dan perolehan iklan sebagai ancaman riil. Kemunculan media lain yang penuh warna dan lebih menghibur lalu menjadi tumpuan kesalahan. Ironisnya, kasus ini tidak hanya terjadi di negara industri maju, tapi juga di negara miskin berkembang. Dari fakta yang ada menunjukkan di Indonesia bahwa internet memang belum menjadi mainan bagi semua orang, tapi pengguna internet bertambah tiap tahun dan ini menjadi ancaman riil bagi industri media cetak, terutama terkait dengan edisi koran online.

Ancaman inovasi media
Perkembangan internet memang menjadi alasan logis di balik turunnya tiras media cetak di banyak negara, meski kasus di Indonesia tampaknya masih belum signifikan. Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia memprediksi, dengan asumsi pertumbuhan rata-rata 30 persen di tahun 2004 dan sampai akhir 2009 pengguna jasa internet mencapai 30 juta orang. Jumlah ini melebihi pangsa pasar media cetak selama ini. Perkembangan ini akan mendorong pertumbuhan jurnalisme digital dan juga menempatkan media cetak sebagai media yang mahal. Bisa jadi, ini adalah awal dari lonceng kematian media cetak.

Selain itu, fakta lain yang juga menjadi bukti, yaitu semakin menipisnya perolehan iklan karena direbut iklan internet. Salah satu temuan di Amerika, bukan di Indonesia bahwa ruang iklan di internet semakin laku. Menurut penelitian Interactive Advertising Bureau dan PricewaterhouseCoopers, seperti dikutip oleh Emarketer.com, belanja iklan online di Amerika mencapai 2,37 miliar dolar AS di kuartal kedua 2004 lalu.

Angka itu menunjukkan kenaikan 42,7 persen dari belanja tahun sebelumnya. Selama setengah tahun pertama pada 2004, pengeluaran untuk iklan online mencapai 4,6 miliar dolar AS, naik 39,7 persen dibanding dengan setengah tahun pertama pada 2003. Berdasarkan data dari TNS Media Intelligence/CMR, jumlah sebesar itu memang cuma 3 persen dari total belanja iklan AS di semua media yang mencapai 67,6 miliar dolar AS atau naik 9,1 persen dari tahun sebelumnya, tapi persentase belanja iklan online jauh di atas kenaikan belanja iklan seluruh media.

Secara eksplisit data yang ada menunjukkan dari sekian banyak ruang iklan di internet, iklan di mesin lacak terus menjadi pilihan yang populer. Tahun lalu, 29 persen iklan internet memenuhi mesin lacak, dan saat ini mengisi 40 persen dari pasar belanja iklan online, yakni sebesar 947 juta dolar AS. Sedangkan, iklan banner menempati posisi kedua dengan hasil 474 juta dolar AS atau 20 persen dari total pengeluaran iklan. Logika yang mendasarinya bahwa pertumbuhan dan popularitas mesin lacak disebabkan oleh fungsinya yang memang dibutuhkan pembaca, hasil akhir yang sederhana, dan juga karena format ini memungkinkan para pengiklan mengetahui tingkat respons pembaca iklan. Salah satu pengecualian adalah iklan e-mail, yaitu iklan yang ditempatkan dalam badan e-mail dengan subjek berbeda, bukan dalam e-mail yang dikirim secara spesifik sebagai alat pemasaran. Hal ini besar kemungkinan dirugikan dengan adanya perlawanan terhadap spam--pengiriman e-mail serentak secara massal, seperti yang dialami keseluruhan industri pemasaran!

Langkah strategis
Temuan yang juga menguatkan bahwa hasil riset Marketing & Media Snapshot: 2004 yang dilakukan Millward Brown, yang dipaparkan di pertemuan puncak 'Media Brand Summit' di Utah, AS, pertengahan September 2004 lalu, bahwa eksekutif melihat online sebagai medium yang paling efektif untuk mendapat dan mempertahankan pelanggan, serta efisien. Jalur-jalur pemasaran online seperti iklan banner, hasil lacakan di web, e-mail, promosi, semua itu diramalkan meningkat pesat dibanding media lain, termasuk media cetak tentunya. Dari hasil riset itu juga diketahui bahwa media online paling besar dipilih pemasar (54,1 persen) sebagai media yang paling tinggi kenaikan bujetnya. Televisi kabel di peringkat kedua (35,6 persen) diikuti dengan iklan pos langsung (34,2 persen), lalu juga jaringan televisi, majalah, koran, radio, dan terakhir iklan luar ruang.

Temuan di atas ada di Amerika dan terbukti sudah banyak media cetak AS yang akhirnya bangkrut. Ibaratnya, kalau iklan saja sudah kian menjauh dari media cetak, lonceng kematian terhadap media cetak tinggal menghitung waktu <I>countdown<I>. Artinya, sedini mungkin kita harus mewaspadainya agar tidak takut atau mencari kambing hitam terkait ancaman matinya media cetak nasional. Oleh karena itu, di satu sisi, tidak ada alasan lain kecuali industri media nasional harus cekatan menyusun strategi, baik secara gerilya atau frontal, mengantisipasi ancaman matinya media cetak nasional akibat tergerus fenomena media <I>online<I> yang secara pelan tapi pasti, akan mengubah perilaku baca masyarakat kita.

http://www.republika.co.id/koran/24/34459/Bercermin_dari_Bangkrutnya_Media_Cetak_AS

Tidak ada komentar: