27 Februari 2009

Anak Haram Sejarah Penyiaran (Opini R Kristiawan)

Radio komunitas telah lama menjadi bagian penting dalam sejarah penyiaran di Indonesia. Bahkan, semangat radio komunitas menjadi cikal bakal berdirinya radio pertama di Indonesia lewat pembentukan Bataviasche Radio Vereniging tahun 1925.

Meski demikian, sepanjang sejarah, radio komunitas tidak pernah mendapat posisi yang semestinya. Kasus aktualnya adalah pemakaian frekuensi radio komunitas oleh radio nonkomunitas yang jelas-jelas melanggar hukum. Ironisnya, justru penegak hukum yang melakukannya. Radio Suara Metro FM, radio komersial yang didukung Polda Metro Jaya, memakai frekuensi 107,7 MHz yang, menurut Surat Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 15/2003, menjadi jatah radio komunitas. Radio yang didukung TNI Angkatan Laut pernah melakukan hal yang sama, tetapi sudah menghentikan siarannya.

Jika dirunut dalam sejarah penyiaran, "pencurian" frekuensi radio komunitas itu hanyalah salah satu dari rentetan kisah terpinggirkannya radio komunitas dibandingkan dengan radio publik dan radio komersial. Hal ini terjadi sejak zaman Belanda sampai penerapan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Polanya berupa penelikungan oleh kekuatan ekonomi dan kekuatan politik.

Sejarah regulasi

Sesudah Bataviasche Radio Vereniging mengudara, aktivitas radio muncul di Solo, Bandung, Garut, Cirebon, dan Yogyakarta, dengan melibatkan kelompok elite pribumi, Belanda, dan Tionghoa. Menghadapi gelombang itu, pemerintah segera membentuk radio resmi pemerintah kolonial bernama Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij (NIROM). Konsekuensi dari pendirian radio resmi adalah radio di luar NIROM menjadi tidak resmi. Pemerintah kolonial menaruh posisi curiga pada radio di luar NIROM. NIROM juga menjadi cikal bakal melekatnya praktik radio pada penguasa (Ashadi Siregar, 2001). Meski demikian, persoalan alokasi frekuensi belum menjadi masalah.

Pada zaman Jepang, pemerintah pendudukan Jepang sepenuhnya mengambil alih sejumlah radio yang ada dalam radio resmi bernama Hosokyoku. Jepang menyegel pesawat radio supaya hanya bisa menerima siaran Hosokyoku. Kebijakan yang diambil Jepang adalah menghapuskan materi siaran berbau Belanda dan mengakomodasi muatan lokal. Meski demikian, semangat komunitas dalam praktik radio menjadi hancur di tangan pemerintah pendudukan Jepang.

Seperti halnya karakter pemerintahan Presiden Soekarno yang monolitik, RRI yang lahir pada 11 September 1945 juga hadir sebagai kekuatan monolitik sepanjang Orde Lama. Tidak ada ekspresi penyiaran radio lain selain RRI. Baru pada 1966 kelompok pemuda dan mahasiswa mendirikan radio sebagai reaksi atas isu keterlibatan radio dalam G30S.

Pada awal Orde Baru, kebebasan berekspresi sempat hidup lewat radio berbasis hobi sampai diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1970 yang mewajibkan semua radio di luar radio pemerintah memiliki badan hukum berbentuk PT. Sekali lagi semangat komunitas dipenggal. Pemenggalan semangat komunitas itu bermotif mencegah tumbuhnya kembali organisasi akar rumput yang dikhawatirkan berafiliasi pada komunisme. Lewat bentuk badan hukum PT, praktik radio digiring pada aspek ekonomi. Radio-radio yang tumbuh di kampus-kampus sepanjang Orde Baru dikategorikan sebagai radio gelap.

Pascareformasi

Pergolakan penting terjadi tahun 1997-2002. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran yang dibuat Orde Baru tidak mengakomodasi bentuk penyiaran komunitas meskipun secara faktual banyak radio komunitas mulai bermunculan, terutama di kampus (A Darmanto, 2008). UU itu hanya mengakui lembaga penyiaran pemerintah, lembaga penyiaran swasta, dan lembaga penyiaran khusus.

Pascakejatuhan Soeharto merupakan musim tumbuhnya radio komunitas di sejumlah daerah. Pertumbuhan itu sangat signifikan dan merata di sejumlah daerah. Penggunaan istilah radio komunitas menjadi jamak dan menjadi bagian penting dalam wacana para aktivis proreformasi. Secara resmi, baru pada 2001 keberadaan lembaga penyiaran komunitas dimuat dalam draf RUU Penyiaran usulan inisiatif DPR. Namun, pengaturan lembaga penyiaran komunitas dalam RUU itu ditolak Menteri Perhubungan Agum Gumelar dengan alasan pemborosan spektrum frekuensi. Pada 2002 terbentuk Jaringan Radio Komunitas Indonesia sebagai upaya politik untuk mengegolkan diakuinya lembaga penyiaran komunitas dalam UU Penyiaran.

Upaya politik itu berhasil. UU No 32/2002 secara resmi mengakui keberadaan lembaga penyiaran komunitas selain penyiaran publik, swasta, dan berlangganan. Meski demikian, masalah belum berhenti. Semangat untuk menegasikan keberadaan lembaga penyiaran komunitas tetap muncul dalam berbagai aturan turunan UU. SK Menhub No 15/2003 hanya mengalokasikan tiga kanal (202, 203, 204) pada frekuensi 107,7; 107,8; 107,9 MHz untuk radio komunitas. Jika dibandingkan, alokasi itu hanyalah 1,5 persen dari semua spektrum frekuensi. Radio swasta memperoleh 78,5 persen, sedangkan radio publik memperoleh 20 persen.

Dari proporsi itu saja sudah tampak jelas ke mana keberpihakan pemerintah dalam penyiaran radio. Di negara mana pun, regulasi alokasi frekuensi penyiaran selalu menyeimbangkan alokasi frekuensi untuk penyiaran publik, komersial, dan komunitas karena akan sangat berpengaruh pada karakter dan kualitas ruang publik. Kalau informasi adalah oksigen demokrasi, oksigen di ruang publik Indonesia sangat berpihak pada kuasa ekonomi.

Strategi yang diambil pemerintah adalah membatasi gerak radio komunitas tanpa melanggar UU Penyiaran. Pengakuan radio komunitas dalam UU No 32/2002 disiasati oleh aturan turunan yang justru menekan radio komunitas. Posisi yang diambil pemerintah jauh dari mendukung keberadaan radio komunitas.

Pembatasan kanal tampaknya belum cukup bagi pemerintah untuk menekan radio komunitas. Tahun 2005 terbit PP nomor 51 yang membatasi jangkauan siaran sejauh 2,5 kilometer dengan kekuatan maksimal 50 watt. Di wilayah luas seperti Kalimantan dan Papua, apa gunanya membangun radio komunitas dengan jangkauan siar 2,5 km? Aturan lain dalam PP itu juga bersemangat menekan aspek kelembagaan radio komunitas.

Sekarang lengkap sudah penderitaan radio komunitas. Aspek kelembagaan ditekan, alokasi frekuensi dibatasi hanya sebesar 1,5 persen. Sudah begitu, frekuensi yang sempit itu pun masih dicuri. Pelakunya pun lembaga negara!


R Kristiawan Manajer Program Media dan Informasi, Yayasan Tifa, Jakarta; Mengajar di Unika Atma Jaya, Jakarta

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/02/28/00291197/anak.haram.sejarah.penyiaran

Tidak ada komentar: