08 Mei 2009

Pasal Iklan Rokok di UU Penyiaran Inkonsisten

5 Mei 2009 :: Pengujian Undang-Undang No. 32/2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran) dilanjutkan kembali oleh Mahkamah Konstitusi (MK), pekan lalu di Ruang Sidang Pleno MK, dengan agenda mendengarkan keterangan saksi/ahli dari pemerintah.

Perkara No. 6/PUU-VII/2009 ini dimohonkan Tim Litigasi untuk Pelarangan Iklan, Promosi dan Sponsorship Rokok sebagai kuasa hukum dan bertindak atas nama Komisi Perlindungan Anak, Lembaga Perlindungan Anak, dan perorangan, yaitu Alfi Sekar Nadia dan Faza Ibnu Ubaydillah.

Pasal 46 ayat (3) huruf c sepanjang frase "yang memperagakan wujud rokok" dianggap bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28B ayat (1), Pasal 28A, Pasal 28C ayat (1), Pasal 28F UUD 1945. Selain itu, pasal ini menurut Pemohon sebenarnya telah bertentangan dengan UU Penyiaran itu sendiri dalam Pasal 46 ayat (3) huruf b yang memuat norma bahwa rokok adalah zat adiktif dan minuman keras tidak boleh diiklankan. Mereka memandang kedua pasal tersebut inkonsisten.

Saksi pemerintah, Budayawan Butet Kartaredjasa mengatakan bahwa produsen rokok selama sekitar 30 tahun terakhir telah ikut membantu berlangsungnya proses pertunjukan seni budaya, tari, dan teater di Indonesia. "Kalau mau dihitung, antara pendapatan dan biaya produksi tidaklah sebanding. Karena itu, sponsorship adalah upaya untuk menggantikan peran pemerintah untuk tetap melestarikan kebudayaan kita," urainya.

"Rokok bukanlah bagian dari industri kreatif, atau dewa penyelamat seni kultural, tapi faktanya merekalah yang selama ini mendukung kami sebagai sponsor, meski tidak menutup semua biaya produksi. Kami tetap nombok, tapi setidaknya beban kami berkurang," lanjutnya.

Sementara itu, Prof. Dr. Suganda dari Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) mengatakan jika industri rokok dihentikan, sekitar 20 juta orang dari hulu ke hilir akan ikut terkena imbasnya. "Jika iklan rokok juga ikut dihentikan, maka orang kecil akan terkena dampaknya secara langsung. Ini disebabkan tingkat ketergantungan mereka terhadap industri rokok," tuturnya. Ia sebenarnya setuju jika merokok dibatasi di tempat-tempat umum dan fasilitas publik, tapi menurutnya tidak perlu membunuh industrinya.

Christian Hadinata, saksi pemerintah yang lain, ikut mengungkap fakta sekitar 450 klub sepakbola Indonesia dengan 1500 pemain profesional di dalamnya juga tergantung dari industri rokok. "Kerjasama Djarum dengan Liga Indonesia memiliki komitmen jangka panjang. Sponsor berkepentingan terhadap pengembangan sepakbola Indonesia. Nilai sponsorship perusahaan rokok di Indonesia sekitar 30 miliar pada tahun 2008-2009", ujarnya.

Sementara itu, Ahli Pemohon, Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI), Hasballah Tabrani, mengatakan bahwa iklan yang bebas tentang rokok akan mengakibatkan pola hidup tidak sehat dan tidak hemat. "Bahaya rokok begitu banyak karena mengandung insektisida, bahan batu baterai dan bahan cat. Setelah mengetahui seperti ini, apakah anak-anak kita dibiarkan saja dengan memahami rokok sebagai identitas macho dan gaul?" katanya dengan nada bertanya.

Hasballah juga menambahkan bahwa penyakit yang disebabkan oleh rokok terutama kanker akan menyebabkan biaya kesehatan yang lebih mahal. "Apakah ini akan kita promosikan kepada anak-anak dan generasi penerus kita?" tanyanya lagi, retoris.
Selain itu, menurut Hasballah, konsumsi rokok di Indonesia begitu kuat karena iklan juga kuat dan gencar. Hasil penelitian dari Fakultas Kedokteran UI menyatakan 25% remaja yang merokok, akan terus merokok. Ditemukan pula siswa kelas 5 dan 6 Sekolah Dasar sebanyak 12%-nya telah merokok. "Hal ini dikarenakan (rasa) solider dengan teman, juga karena iklan rokok," tandasnya.

Ahli Pemohon lainnya, Kartono Muhammad, juga menyatakan bahwa ada-tidaknya sponsor rokok di olahraga sepak bola, tidak serta merta meningkatkan prestasi atlitnya. "Sepak bola Indonesia di ASEAN tetap masih tidak bisa membuktikan prestasinya dibanding dengan Vietnam dan negara lain yang sudah tidak memakai iklan rokok dalam sepak bola," tuturnya.

Pemohon dalam sidang tersebut juga mengingatkan kembali bahwa tujuan permohonan bukanlah mematikan industri rokok, namun hanya menyoal iklan rokok. "Philip Morris sendiri mengaku bahwa rokok adalah zat yang berbahaya dan adiktif," ujar Kuasa Hukum Pemohon. Red dari berbagai sumber
http://www.kpi.go.id/

Tidak ada komentar: