31 Maret 2009

Sistem Arsip Film Masih Lemah

Jakarta, Kompas - Sistem dokumentasi atau pengarsipan film di Indonesia masih lemah karena terkendala biaya. Penyimpanan arsip film memerlukan biaya yang sangat besar, terutama untuk ruangan pendingin dengan temperatur 5-7 derajat Celsius dengan kelembaban 45-60 persen RH agar film tidak cepat rusak.

"Ruangan pendingin sudah kami miliki, tetapi kurang luas untuk menampung arsip film yang makin lama makin banyak. Selain itu, temperatur masih belum standar, masih naik turun temperaturnya, tetapi masih dalam batas-batas yang tidak membahayakan," kata Kepala Sinematek Indonesia Adi Pranajaya saat peluncuran website Dokumentasi Perfilman Indonesia di Gedung Pusat Perfilman H Usmar Ismail, Jakarta, Selasa (31/3).

Website Dokumentasi Perfilman Indonesia bisa diakses di http://perfilman.pnri.go.id. Bersamaan dengan itu juga diluncurkan dua website tokoh perfilman Indonesia, yakni Sjumandjaja http://perfilman.pnri.go. id/sjumandjaja dan Wim Umboh di http://perfilman.pnri.go.id/ wim.

Sejauh ini ada sekitar 4.000 judul film sejak tahun 1926-2008 yang disimpan di Sinematek Indonesia. Umumnya film-film tersebut 35 mm atau 16 mm dan belum didigitalisasi. "Kami ingin mendigitalisasi film-film tersebut karena perawatan film 35 mm sangat riskan dan mahal," kata Adi Pranajaya.

Namun mendigitalisasi film 16 mm atau 35 mm juga tidak murah. Untuk mendigitalisasi satu film diperlukan biaya Rp 15 juta. Jadi untuk sekitar 4.000 film, dana yang diperlukan sangat besar, mencapai Rp 60 miliar.

"Lebih murah kalau membeli mesin untuk mendigitalisasi, namanya telecine. Harganya dengan kurs sekarang sekitar Rp 15 miliar," ujar Adi Pranajaya.

Sinematek Indonesia

Sinematek Indonesia dirintis sejak tahun 1970 dan resmi berdiri 20 Oktober 1975. Sinematek Indonesia ini adalah lembaga arsip film pertama di Asia Tenggara. Sinematek Indonesia adalah lembaga swasta nonprofit yang disponsori pemerintah.

Berbeda dengan arsip film pada umumnya yang semata-mata hanya sebagai pelestarian karya bermutu, Sinematek Indonesia sengaja dijadikan juga sarana bagi perkembangan perfilman nasional. Maka, prioritas perhatiannya hanya pada film dalam negeri dan menghimpun semua data serta informasi yang berguna bagi tujuan tersebut.

Karena itu, jenis koleksi film dan koleksi dokumentasinya menjadi berbeda dengan arsip film pada umumnya di dunia. Sinematek Indonesia akan menyimpan semua film Indonesia tanpa seleksi. "Karena film sejelek apa pun ternyata mempunyai nilai sebagai bahan studi untuk kepentingan perfilman nasional," kata Adi Pranajaya.

Terkait ruangan pendingin Sinematek Indonesia, Direktur Jenderal Seni, Budaya, dan Film Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Cecep Suparman memandang perlu adanya ruangan baru yang lebih besar.

"Pekerja Sinematek Indonesia hanya 13 orang. Jumlah ini tentu kurang," kata Cecep Suparman.

Banyak pihak memberi perhatian kepada Sinematek Indonesia. Produser film Mira Lesmana dan sutradara Riri Riza kemarin menyerahkan bantuan Rp 20 juta unutk pembelian bahan kimia bagi perawatan film.

Ketua Umum Persatuan Perusahaan Film Indonesia Raam Punjabi menjanjikan bantuan untuk menyelamatkan arsip film. Firman Bintang dari Tim Kecil Panitia Hari Film Nasional ke-59 memberikan bantuan secara simbolis hasil penayangan tujuh film terlaris yang diputar di Cineplex 21 di Taman Ismail Marzuki, 23-29 Maret 2009. (LOK)

http://cetak.kompas.com/read/xml/2009/04/01/03320653/sistem.arsip.film.masih.lemah

Tidak ada komentar: